Hampir dua pekan terakhir ini sejumlah petugas Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) membersihkan area yang terpapar zat radioaktif di lahan kompleks Perumahan Batan Indah Serpong Tangerang Selatan.
Kepolisian kini menyelidiki seorang pegawai Batan yang tinggal di perumahan itu yang diduga menyimpan zat radioaktif secara ilegal.
Petugas hampir selesai menggali dan memindahkan tanah yang terpapar zat radioaktif Cesium 137 (Cs-137), zat yang digunakan di dunia industri untuk mengukur ketebalan kertas dan plat baja dan radioterapi serta untuk radioterapi kanker prostat di dunia medis. Cesium 137 yang mereka temukan berbentuk serpihan dan bercampur dengan tanah.
Penemuan ini membuat waswas akan dampak paparan radiasi terhadap kesehatan.
Masyarakat mungkin teringat bencana kecelakaan reaktor nuklir di Chernobhyl, Uni Soviet pada 1986 atau Fukushima, Jepang pada 2011. Setelah kecelaan itu, radiasi di Chernobyl dikaitkan dengan kasus penyakit leukemia dan kanker tiroid yang menimpa penduduk sekitar.
Namun, potensi efek radiasi dari sumber radioaktif di Serpong tidak bisa kita bandingkan dengan bencana kecelakaan reaktor nuklir tersebut. Radiasi di Chernobhyl dan Fukushima terkait dengan pencemaran radioaktif akibat kecelakaan reaktor nuklir. Sedangkan radiasi di Serpong akibat kontaminasi sumber radioaktif, bukan dari kecelakaan reaktor.
Kasus di Serpong ini mirip kasus di Seoul, Korea Selatan pada 2011, ketika petugas survei lingkungan di sana menemukan paparan radioaktif di sebuah jalan raya sekitar pemukiman, dan Goiania, Brasil, pada 1987 ketika sepasang pencuri memindahkan sumber radiasi Cs-137 dari klinik radioterapi.
Sejumlah riset atas kasus di Korea Selatan dan Brasil menunjukkan paparan radiasi dari radioaktif dalam kadar rendah tidak membahayakan kesehatan orang-orang yang terpapar. Namun dibutuhkan monitoring lebih lanjut pada penduduk yang terpapar radiasi.
Belajar dari Korea dan Brasil
Dalam kasus Seoul pada 2011, terdapat paparan radiasi dengan laju dosis 2,5 mikrosievert per jam di sebuah jalan yang lebarnya 5-6 meter dan panjang 90-200 meter. Sievert adalah laju dosis per satuan waktu. Saat itu, seorang petugas survei lingkungan yang sedang membawa detektor radioaktif menemukan kasus paparan radiokatif ini.
Penelitian lebih lanjut atas kasus ini menunjukkan radiasi berasal dari kontaminasi Cesium 137 yang terkandung dalam aspal yang digunakan di jalan tersebut.
Sebuah riset dari kelompok ilmuwan Korea yang menyelidiki status kesehatan masyarakat di area penemuan paparan radiasi tidak menemukan peningkatan kasus penyakit yang terkait dengan dosis radiasi yang ditimbulkan. Hanya terjadi ketakutan dari kasus tersebut. Namun para peneliti Korea ini merekomendasikan perlunya monitoring lebih lanjut pada penduduk yang terpapar radiasi tersebut.
Adapun di Goiania, Brasil, sebanyak 96 gram Cesium 137 tercecer di daerah 3000 meter persegi. Pencuri mungkin tidak tahu bahwa materi yang mereka curi memuat bahan radioaktif.
Sekitar 30 tahun pengamatan pasca insiden di Brasil, riset terbaru Maria Paula Curado dan koleganya dari Universitas Negeri Rio de Janeiro menunjukkan tidak menemukan perbedaan tingkat kasus kanker pada korban kontaminasi radioaktif dibanding masyarakat yang tidak terpapar. Para peneliti tersebut mengamati lima kasus kanker: esophagus, prostat, kandung kemih, dan kanker payudara.
Mereka mengelompokkan subjek penelitian ini menjadi dua kategori. Orang-orang yang terpapar langsung radiasi dan menunjukkan sindrom radiasi akut dan luka lokal akibat radiasi masuk kategori pertama. Sementara, mereka yang tidak menunjukkan sindrom tersebut tapi menerima paparan radiasi masuk kategori dua.
Yang menarik, para peneliti tidak menemukan perbedaan yang mencolok tingkat insiden kanker pada dua kelompok populasi tersebut. Kanker yang mereka derita tidak terkait dengan radiasi dari kontaminasi radioaktif.
Radiasi di Serpong
Dalam kasus Serpong, Batan telah memeriksa sembilan warga kompleks Perumahan Batan yang diduga kuat terkontaminasi radioaktif dengan Whole Body Counting alias scan radioaktif seluruh tubuh. Dua orang terdeteksi positif terkontaminasi Cs-37.
Dosis radiasi yang mengenai mereka adalah 0,05 dan 0,12 milisievert per tahun. Dosis ini lebih rendah dibanding dosis maksimal paparan nuklir yang dianggap aman bagi manusia yang ditetapkan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) sebesar 1 milisievert per tahun, sesuai dengan aturan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Cesium 137 memancarkan radiasi gamma dan beta. Gamma daya tembusnya besar tapi daya rusaknya kecil pada jaringan biologis. Sementara, beta daya tembusnya kecil tapi daya rusaknya besar. Di Serpong, Cesium itu memancarkan dua radiasi ini.
Cs-137 memiliki waktu paruh 30 tahun. Ini berarti zat radioaktif ini butuh waktu 30 tahun untuk meluruh hingga aktivitasnya menjadi setengah dari aktivitas mula-mula. Zat ini tidak diperjualbelikan secara bebas.
Dalam kasus di Serpong, belum dapat dipastikan kapan mulai adanya sumber radiasi tersebut berada di kawasan perumahan. Satu hal yang pasti bahwa paparan radiasi ini diketahui oleh petugas BAPETEN saat memantau radiasi pada 30-31 Januari 2020. Saat ditemukan Cesium 137 ini sudah bercampur dengan tanah, tidak berbentuk cairan atau lempeng, sehingga sulit diketahui berapa banyak sebenarnya Cesium yang dibuang atau tercecer di lokasi tersebut.
Radiasi eksternal dan internal
Ada dua jenis paparan radiasi radioaktif: radiasi eksternal dan internal.
Radiasi eksternal bersumber dari luar tubuh manusia seperti secara sengaja pada orang yang dipotret dengan rontgen sinar X atau secara tidak sengaja ada orang yang melewati zona paparan radiasi seperti kasus Serpong saat ini.
Sedangkan paparan radiasi internal atau kontaminasi internal bersumber dari radioaktif yang masuk ke dalam tubuh manusia. Misalnya pada orang mengkomsumsi air, makanan, dan buah-buahan yang mengandung radio aktif.
Paparan zat radioaktif Cesium 137 di atas ambang batas dan dalam jangka lama dapat menyebabkan kanker. Mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi radioaktif sangat berbahaya. Jika seseorang mengkonsumsi bahan yang mengandung Cesium 137, radioaktifnya dapat terkumpul di otot dan berpeluang menimbulkan kanker.
Dalam kasus di Serpong, paparan radiasi yang dapat terjadi adalah paparan eksternal bagi penduduk yang melewati area ditemukannya sumber radioaktif Cs-137. Juga ada kemungkinan kontaminasi internal bagi warga yang mengkonsumsi air atau sayuran yang tumbuh pada area yang terkontaminasi tersebut.
Menurut data laju dosis setelah pembersihan tanah hingga 19 Februari 2020, jika warga berada satu meter dari zona yang diberi garis polisi ia bisa terpapar radiasi dengan laju dosis penyerapan radiasi 1 mikrosievert per jam.
Bagi orang yang berada di titik laju dosis tertinggi selama satu jam pada 16 Februari ia akan mendapat paparan radiasi eksternal setara 9 mikrosievert (0,09 millisievert). Jika dikonversikan setahun setara 78,894 milisievert.
Jika terus dibersihkan, dosis paparan di lokasi tersebut akan terus berkurang sehingga paparan radiasi eksternal yang diterima warga juga akan menurun.
Orang yang terpapar radiasi dosis tinggi secara eksternal dapat dimonitor dengan alat dosimeter fisika atau dosimeter biologi dengan mengamati kerusakan kromosom tertentu pada darah orang untuk mengetahui level dosisnya.
Ada juga radiasi dari alam
Selain radiasi akibat manusia, ada beberapa lokasi di dunia yang terkena paparan radiasi alam dari permukaan atau kulit Bumi. Hal ini bisa terjadi karena lokasinya mengandung radioaktif yang berasal dari pancaran kulit Bumi.
Penduduk yang tinggal di Kerala dan Madras, India, menerima paparan radiasi alam sebesar 15 milisievert per tahun. Lalu sebagian penduduk di Brasil dan Sudan terkena radiasi alam hingga 40 milisievert per tahun. Sedangkan rata rata dosis paparan radiasi alam adalah 2 milisievert per tahun.
Sampai saat ini pada penduduk yang tinggal di daerah yang terkena radiasi alam tinggi ini, menurut penelitian, belum ditemukan kasus kanker yang signifikan dibanding dengan kasus yang sama dengan masyarakat umum yang tidak terkena radiasi alam.
Hasil riset terbaru dari para ilmuwan Cina di kawasan terkena radiasi alam di Yangjiang Cina menunjukkan, walau ditemukan sejumlah parameter biologis pertanda terkena paparan radiasi alam seperti perubahan kromosom, tubuh manusia ternyata mampu beradaptasi terhadap paparan radiasi dosis tertentu ini.
Jika kita merujuk pada kasus yang hampir identik dengan kejadian di Korea Selatan dan Brasil, kita boleh agak lega bahwa tidak ada perbedaan signifikan atas potensi potensi kanker yang mungkin timbul pada masyarakat yang terkena paparan radiasi.
Iin Kurnia, Peneliti Biologi Radiasi di Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional