BAGIKAN
Neanderthal di sebuah museum di Kroasia © Reuters

Berdasarkan penggalian arkeologis yang dilakukan di di sebuah gua bernama Sima de los Huesos di Atapuerca, Spanyol,  disimpulkan bahwa mungkin manusia purba pernah melakukan hibernasi. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal L’Anthropologie.

Dalam dunia hewan, hibernasi merupakan salah satu strategi yang paling umum untuk bertahan hidup selama musim dingin. Di mana sumber makanan dan energinya sangat terbatas. Mereka mengalami penurunan fungsi tubuh dan menggunakan cadangan lemak dalam tubuh sebagai energi. Beruang, landak, tikus dan burung kolibri adalah beberapa contoh hewan yang melakukannya.

Para arkeolog telah menemukan ribuan sisa-sisa kerangka yang kemungkinan besar Neanderthal, berusia sekitar 430.000 tahun. Dari pengamatan yang dilakukan, ditemukan adanya kesamaan dengan tulang-belulang bermasalah dari hewan yang berhibernasi. Yaitu, pada berbagai pola kerusakan jaringannya. Mungkin saja mereka telah mengatasi suhu dingin yang ekstrem dengan tidur panjang. Di mana saat itu bertepatan dengan zaman es.

Selama hidupnya dimungkinkan mereka menderita berbagai penyakit yang terkait dengan ginjal. Beberapa kerusakan pada tulang ini disebabkan oleh hibernasi yang tidak dapat ditoleransi dengan baik akibat kekurangan paparan sinar matahari.

Karena berada terus dalam kegelapan, akibatnya kekurangan vitamin D. Ini terbukti dari cacat tulang yang ditemukan seperti renal osteodystrophy. Yaitu, kelainan metabolisme tulang yang terjadi sekunder terhadap gagal ginjal akibat kelainan fungsi ekskresi dan endokrin.

“Hibernator mungkin menderita rakhitis, hiperparatiroidisme, dan osteitis fibrosa jika mereka tidak memiliki cadangan lemak yang cukup. Semua penyakit ini merupakan ekspresi osteodistrofi ginjal yang konsisten dengan penyakit ginjal kronis.”

“Kami percaya bahwa gangguan ini adalah hasil hibernasi di gua-gua yang gelap. Hal ini terutama dibuktikan dengan adanya plak tulang reyot yang tersebar pada beberapa remaja, dan luka parut terutama pada orang dewasa. Lapisan bawah pada plak tulang rapuh menunjukkan suatu episode dari aktivitas berlebihan yang terkait dengan hibernasi” tulis para peneliti.

Pola lesi pada tulang manusia di Gua Sima sesuai dengan lesi yang ditemukan pada tulang mamalia yang berhibernasi, termasuk beruang gua. “Strategi hibernasi akan menjadi satu-satunya solusi bagi mereka untuk bertahan hidup karena harus menghabiskan berbulan-bulan di dalam gua karena kondisi yang sangat dingin,” kata penulis.

Para peneliti juga menunjukkan fakta bahwa sisa-sisa beruang gua yang berhibernasi juga telah ditemukan di lubang Sima sehingga lebih dapat dipercaya untuk menunjukkan bahwa manusia melakukan hal yang sama “untuk bertahan hidup dalam kondisi dingin dan kelangkaan makanan seperti yang terjadi pada beruang gua”.

Sementara itu ilmuwan lain sebelumnya telah berpendapat bahwa sebenarnya kondisi hibernasi bisa berpengaruh pada otak manusia – jika itu bisa dilakukannya. Hibernasi tidak sepenuhnya dalam keadaan tertidur pulas. Pola gelombang otak hewan saat hibernasi mirip dengan pola saat kurang tidur. Ini bisa terjadi karena metabolisme dan suhu tubuh yang rendah dalam kondisi hibernasi.

“Ini adalah argumen yang sangat menarik dan pasti akan memicu perdebatan,” kata antropolog forensik Patrick Randolph-Quinney dari Universitas Northumbria di Newcastle kepada The Guardian. “Namun, ada penjelasan lain untuk variasi yang terlihat pada tulang yang ditemukan di Sima dan ini harus ditangani sepenuhnya sebelum kita dapat mengambil kesimpulan yang realistis. Itu belum selesai, saya yakin.”

Jika hibernasi bisa dilakukan pada manusia, maka akan membantu dalam perjalanan panjang ruang angkasa. Hibernasi jangka panjang membuat jarak tersebut tidak terlalu melelahkan bagi para astronot. Selain itu, bisa menghemat sumber daya yang penting.

“Namun, untuk memahami sepenuhnya cara melakukan hibernasi pada manusia yang aman, kita mungkin perlu membedah sirkuit utama otak dan mengidentifikasi jalur molekul utama yang mengatur tidur kita” kata Vladyslav Vyazovskiy dari University of Oxford.