Pada usia negara yang masih sangat belia, tanggal 22 Februari 1953, Pemerintah Republik Indonesia sudah meluncurkan sayembara untuk mencari dan menentukan gagasan rancangan arsitektur masjid nasional – Istiqlal. Kehadiran masjid ini dirasakan begitu penting dan merupakan salah satu simbol kebangsaan yang begitu dibutuhkan dalam citra negara kesatuan yang belum lama bebas dari penjajahan. Masjid nasional dirasa penting sehingga ditentukan untuk menempati sudut istimewa di ujung timur laut lapangan Medan Merdeka, yang diproyeksikan menjadi alun-alun bagi Ibukota Jakarta.
Singkat kata, Friedrich Silaban memuncaki sayembara ini. Diumumkan pada tanggal 7 Desember 1954, rancangannya terpilih dari antara 27 (dua puluh tujuh) rancangan yang masuk sebagai rancangan yang terbaik dan yang akan dibangun. Rancangan Silaban dituangkan dalam 11 (sebelas) lembar gambar pra-rencana dengan tinta di atas kalkir. Sebagaimana gambar rancangan Silaban lain, garis-garisnya tegas dan digoreskan dengan detail dan rapi. Beberapa gambar perspektif diberikan dengan komposisi yang menarik dan seimbang.
Namun niat untuk mewujudkan berdirinya Masjid Istiqlal terbukti memakan waktu yang tidak sedikit. Karena skala dan bentukan bangunan yang sedemikian monumental, proyek ini terkendala oleh keterbatasan dana, banyaknya sumber daya material yang masih harus diimpor, terbatasnya ahli pengelolaan proyek, serta minimnya pengalaman teknis pembangunan berskala besar.
Proses perencanaan pasca sayembara juga tertunda-tunda karena berbagai ketidakjelasan penugasan. Silaban sempat dikecewakan karena rendahnya imbalan hadiah bagi para pemenang sayembara ini, serta ketidakjelasan status pekerjaannya dalam proyek ini. Ketidakjelasan ini berlarut-larut hingga pada akhirnya Presiden Soekarno memutuskan bahwa pembangunan harus segera berjalan dan tidak ditunda lagi. Pemancangan pertama tiang pondasi dilakukan pada 24 Agustus 1961.
Namun menariknya, meskipun pemancangan tiang sudah dilakukan, sebenarnya perencanaan proyek ini masih sangat tidak jelas. Pada akhir 1961 baru ditemukan kejadian bahwa gambar-gambar pra-rencana asli arsitektur Masjid Istiqlal karya Silaban yang diserahkan kepada panitia sayembara tahun 1954 ternyata hilang dan tidak dapat ditemukan kembali. Akhirnya, berdasarkan instruksi langsung dari Presiden Soekarno, Silaban terpaksa menggambar ulang pra-rencana arsitektur Masjid Istiqlal lengkap seperti aslinya, disertai nama sandi/ samaran peserta sayembara “Motto Ketuhanan”. Gambar ini selesai pada bulan Mei 1962 dengan disusul oleh beberapa perbaikan perencanaan dan penambahan gambar-gambar teknis yang dibutuhkan.
Setelah perang kemerdekaan Indonesia, mulai berkembang gagasan besar untuk mendirikan masjid nasional. Ide pembangunan masjid tercetus setelah empat tahun proklamasi kemerdekaan. Gagasan pembangunan masjid kenegaraan ini sejalan dengan tradisi bangsa Indonesia yang sejak zaman kerajaan purba pernah membangun bangunan monumental keagamaan yang melambangkan kejayaan negara. Misalnya pada zaman kerajaan Hindu-Buddha bangsa Indonesia telah berjaya membangun candi Borobudur dan Prambanan. Karena itulah pada masa kemerdekaan Indonesia terbit gagasan membangun masjid agung yang megah dan pantas menyandang predikat sebagai masjid negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Perencanaan
Pada tahun 1950, KH. Wahid Hasyim yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia dan H. Anwar Tjokroaminoto dari Partai Syarikat Islam mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh Islam di Deca Park, sebuah gedung pertemuan di jalan Merdeka Utara, tidak jauh dari Istana Merdeka. Pertemuan dipimpin oleh KH. Taufiqurrahman, yang membahas rencana pembangunan masjid. Gedung pertemuan yang bersebelahan dengan Istana Merdeka itu, kini tinggal sejarah. Deca Park dan beberapa gedung lainnya tergusur saat proyek pembangunan Monumen Nasional (Monas) dimulai.
Masjid tersebut disepakati akan diberi nama Istiqlal. Secara harfiah, kata Istiqlal berasal dari bahasa Arab yang berarti: kebebasan, lepas atau kemerdekaan, yang secara istilah menggambarkan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat berupa kemerdekaan bangsa.
Pada pertemuan di gedung Deca Park tersebut, secara mufakat disepakati H. Anwar Tjokroaminoto sebagai ketua Yayasan Masjid Istiqlal. Dia juga ditunjuk secara mufakat sebagai ketua panitia pembangunan Masjid Istiqlal meskipun dia terlambat hadir karena baru kembali ke tanah air setelah bertugas sebagai delegasi Indonesia ke Jepang membicarakan masalah pampasan perang saat itu.
Pada tahun 1953, Panita Pembangunan Masjid Istiqlal, melaporkan rencana pembangunan masjid itu kepada kepala negara. Presiden Soekarno menyambut baik rencana tersebut, bahkan akan membantu sepenuhnya pembangunan Masjid Istiqlal. Kemudian Yayasan Masjid Istiqlal disahkan dihadapan notaris Elisa Pondag pada tanggal 7 Desember 1954.
Presiden Soekarno mulai aktif dalam proyek pembangunan Masjid Istiqlal sejak dia ditunjuk sebagai Ketua Dewan Juri dalam Sayembara maket Masjid Istiqlal yang diumumkan melalui surat kabar dan media lainnya pada tanggal 22 Februari 1955. Melalui pengumuman tersebut, para arsitek baik perorangan maupun kelembagaan diundang untuk turut serta dalam sayembara itu.
Terjadi perbedaan pendapat mengenai rencana lokasi pembangunan Masjid Istiqlal. Ir. H. Mohammad Hatta (Wakil Presiden RI) berpendapat bahwa lokasi yang paling tepat untuk pembangunan Masjid Istiqlal tersebut adalah di Jl. Moh. Husni Thamrin yang kini menjadi lokasi Hotel Indonesia. Dengan pertimbangan lokasi tersebut berada di lingkungan masyarakat Muslim dan waktu itu belum ada bangunan di atasnya.
Sementara itu, Ir. Soekarno (Presiden RI saat) mengusulkan lokasi pembangunan Masjid Istiqlal di Taman Wilhelmina, yang di dalamnya terdapat reruntuhan benteng Belanda dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan pemerintah dan pusat-pusat perdagangan serta dekat dengan Istana Merdeka. Hal ini sesuai dengan simbol kekuasaan kraton di Jawa dan daerah-daerah di Indonesia bahwa masjid harus selalu berdekatan dengan kraton atau dekat dengan alun-alun,[1] dan Taman Medan Merdeka dianggap sebagai alun-alun Ibu Kota Jakarta. Selain itu Soekarno juga menghendaki masjid negara Indonesia ini berdampingan dengan Gereja Katedral Jakarta untuk melambangkan semangat persaudaraan, persatuan dan toleransi beragama sesuai Pancasila.
Pendapat H. Moh. Hatta tersebut akan lebih hemat karena tidak akan mengeluarkan biaya untuk penggusuran bangunan-bangunan yang ada di atas dan di sekitar lokasi. Namun, setelah dilakukan musyawarah, akhirnya ditetapkan lokasi pembangunan Masjid Istiqlal di Taman Wilhelmina. Untuk memberi tempat bagi masjid ini, bekas benteng Belanda yaitu benteng Prins Frederick yang dibangun pada tahun 1837 dibongkar.[5]
Sayembara rancang bangun masjid
Dewan Juri sayembara rancang bangun Masjid Istiqlal, terdiri dari para Arsitek dan Ulama terkenal. Susunan Dewan Juri adalah Presiden Soekarno sebagai ketua, dengan anggotanya Ir. Roosseno Soerjohadikoesoemo, Ir. Djoeanda Kartawidjaja, Ir. Suwardi, Ir. R. Ukar Bratakusumah, Rd. Soeratmoko, H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), H. Aboebakar Atjeh, dan Oemar Husein Amin.
Sayembara berlangsung mulai tanggal 22 Februari 1955 sampai dengan 30 Mei 1955. Sambutan masyarakat sangat menggembirakan, tergambar dari banyaknya peminat hingga mencapai 30 peserta. Dari jumlah tersebut, terdapat 27 peserta yang menyerahkan sketsa dan maketnya, dan hanya 22 peserta yang memenuhi persyaratan lomba.
Setelah dewan juri menilai dan mengevaluasi, akhirnya ditetapkanlah 5 (lima) peserta sebagai nominator. Lima peserta tersebut adalah:
- Pemenang Pertama: Fredrerich Silaban dengan disain bersandi Ketuhanan
- Pemenang Kedua: R. Utoyo dengan disain bersandi Istighfar
- Pemenang Ketiga: Hans Gronewegen dengan disain bersandi Salam
- Pemenang Keempat: 5 orang mahasiswa ITB dengan disain bersandi Ilham
- Pemenang Kelima: adalah 3 orang mahasiswa ITB dengan disain bersandi Khatulistiwa dan NV. Associatie dengan sandi Lima Arab
Pada tanggal 5 Juli 1955, Dewan Juri menetapkan F. Silaban sebagai pemenang pertama. Penetapan tersebut dilakukan di Istana Merdeka, sekaligus menganugerahkan sebuah medali emas 75 gram dan uang Rp. 25.000. Pemenang kedua, ketiga, dan keempat diberikan hadiah. Dan seluruh peserta mendapat sertifikat penghargaan. (wikipedia)