BAGIKAN
(Credit : Amy Cao)

Terlepas dari segala kontroversiya, di dalam ganja terdapat dua jenis zat aktif sebagai bahan utamanya yang dapat dimanfaatkan, yaitu THC (tetrahidrokanabinol) yang dapat memabukkan dan CBD (cannabidiol) yang tidak memabukkan. Para ilmuwan telah merekayasa ragi bir untuk menghasilkan bahan-bahan ini, terlebih kanabinoid baru (THC) yang tidak ditemukan pada tanaman aslinya.

Obat-obatan yang mengandung THC telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk mengurangi rasa mual setelah menjalani kemoterapi dan untuk meningkatkan nafsu makan bagi para penderita AIDS.

CBD, atau cannabidiol, semakin banyak digunakan dalam kosmetik dan telah disetujui sebagai pengobatan untuk epilepsi pada masa kanak-kanak. Penyelidikan masih terus berlangsung terkait bahan ini sebagai terapi untuk berbagai kondisi, termasuk kecemasan, penyakit Parkinson dan nyeri kronis.



Namun, penelitian medis terhadap lebih dari 100 bahan kimia lainnya di dalam ganja terlampau sulit untuk dilakukan karena bahan-bahan kimia tersebut terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit, sehingga sulit untuk diekstrak dari tanaman asli. Para ahli biologi sintetis dari UC Berkeley telah mengembangkan berbagai sumber yang lebih murah dan lebih murni seperti ragi sehingga bisa membuat studi terhadap bahan-bahan ini lebih mudah untuk dilakukan.

Ragi, yang pada prosesnya hanya dengan menambahkan gula merupakan cara yang mudah dan murah untuk menghasilkan kanabinoid murni yang saat ini mahal untuk diekstrak dari tunas tanaman ganja, Cannabis sativa.

“Bagi para konsumen, mendapatkan keuntungan dari CBD dan THC berkualitas tinggi yang murah: Anda mendapatkan apa yang Anda inginkan dari ragi,” kata Jay Keasling, darir UC Berkeley. “Ini adalah cara yang lebih aman, lebih ramah lingkungan untuk memproduksi kanabinoid .”

Selain itu, ia menambahkan, ada “kemungkinan terapi lainnya berdasarkan kanabinoid baru: yang langka dan hampir mustahil untuk didapatkan dari tanamannya, atau yang tidak alami, yang tidak mungkin didapat dari tanaman.”

Keasling, Ketua Yayasan Philomathia dalam Energi Alternatif di Berkeley, dan rekan-rekannya melaporkan hasilnya dalam jurnal Nature.



Kanabinoid bergabung dengan banyak bahan kimia dan obat lain yang sekarang diproduksi dalam ragi, termasuk hormon pertumbuhan manusia, insulin, faktor pembekuan darah dan baru-baru ini, tetapi belum ada di pasaran, morfin dan opiat lainnya.

Keasling telah lama berupaya untuk mengeksploitasi ragi dan bakteri sebagai pabrik obat “hijau”, menghilangkan proses sintetik atau ekstraktif yang mahal yang umum dalam industri kimia dan produk sampingan kimia yang kerap beracun atau merusak lingkungan.

Oleh karena itu, menimbulkan minat bagi Keasling untuk menemukan cara “hijau” untuk memproduksi bahan kimia aktif dalam ganja.

“Itu adalah tantangan ilmiah yang menarik,” akunya, yang mirip dengan tantangan lain yang berhasil dia dan timnya atasi dalam ragi: memproduksi obat antimalaria, artemisinin; mengubah limbah tanaman menjadi biofuel; mensintesis rasa dan aroma untuk industri makanan dan kosmetik dan zat kimia untuk membuat bahan baru.

Dengan persetujuan dan pengawasan oleh Badan Penegakan Narkoba AS — kanabis masih ilegal menurut hukum federal — Xiaozhou Luo dan Michael Reiter, yang memimpin proyek itu, mulai melakukan penelitian terhadap ragi serangkaian langkah-langkah kimiawi untuk menghasilkan, pada awalnya, induk dari semua kanabinoid, CBGA (cannabigerolic acid). Baik dalam ganja maupun ragi, reaksi kimia melibatkan sebentuk asam dari senyawa: CBGA dan turunannya, THCA dan CBDA. Semua bahan ini siap untuk dikonversi menjadi CBG, THC dan CBD ketika terkena cahaya dan panas.

Mengubah ragi menjadi sebuah pabrik kimia melibatkan kooptasi metabolismenya sehingga, alih-alih mengubah gula menjadi alkohol, misalnya, ragi mengubah gula menjadi bahan kimia lain yang kemudian dimodifikasi dengan menambahkan enzim untuk menghasilkan produk baru, seperti THC, di mana ragi mensekresikannya terhadap cairan yang meliputinya. Para peneliti akhirnya memasukkan lebih dari selusin gen ke dalam ragi, banyak di antaranya salinan gen yang digunakan oleh tanaman ganja untuk mensintesis kanabinoid.

Namun, satu langkah terbukti menjadi penghalang bagi kelompok Keasling dan lainnya adalah enzim yang melakukan langkah kunci secara kimia dalam membuat CBGA pada tanaman ganja tidak bekerja pada ragi.

Daripada merekayasa jalur sintetik yang berbeda, Leo d’Espaux dan Jeff Wong dari UC Berkeley mengisolasi enzim kedua dari tanaman ganja, prenyl transferase, yang dapat melakukan hal yang sama, dan memasukkannya ke dalam ragi.




Begitu mereka memiliki CBGA yang dihasilkan ragi, mereka menambahkan enzim lain untuk mengubah CBGA menjadi THCA dan enzim lain untuk membuat jalur menuju CBDA. Meskipun produk yang dihasilkan ragi sebagian besar adalah THC atau CBD, Keasling mengatakan, masing-masing masih harus dipisahkan dari bahan kimia lainnya meski hadir dalam jumlah kecil.

Keasling kemudian mendirikan sebuah perusahaan Emeryville, California, Demetrix Inc., yang kemudian bergabung dengan d’Espaux dan Wong, yang melisensikan teknologi dari UC Berkeley ini untuk menggunakan fermentasi ragi dalam pembuatan kanabinoid.

“Secara ekonomi terlihat sangat bagus,” kata Keasling. “Biayanya kompetitif atau lebih baik dari kanabinoid yang berasal dari tanaman. Dan produsen tidak perlu khawatir tentang kontaminasi — misalnya, THC di CBD — sehingga akan membuat Anda terbang.”