BAGIKAN
(Jusdevoyage/ Unsplash)

Ketika kita melihat data kasus-kasus kritis COVID-19 yang berhasil sembuh, terlihat bahwa ternyata pria lebih kurang beruntung dibandingkan wanita.

Sebuah laporan awal dari China mengungkap adanya bukti awal meningkatnya angka kematian pria akibat COVID-19. Dan menurut data dari Global Health 50/50 research Initiative, hampir di setiap negara dilaporkan peningkatan angka kematian pria secara signifikan dibandingkan wanita per 4 Juni lalu.

Padahal menurut data, tingkat infeksi untuk pria dan wanita adalah sama.

Dengan kata lain, ketika pria dan wanita terinfeksi COVID-19 dengan tingkat infeksi yang sama, pria secara signifikan kurang dapat bertahan dalam menghadapi penyakit ini dibandingkan wanita, dalam berbagai kelompok pada usia yang sama.

Dan mengapa angka kematian pria lebih tinggi daripada wanita karena COVID-19? Atau dapat dikatakan wanita dapat bertahan hidup dari penyakit ini dibandingkan pria?

Adam Moeser, seorang imunolog dari Michigan State University melakukan penelitian tentang bagaimana tingkat stress dan sex biologis dapat mempengaruhi tingkat kerentanan seseorang terhadap penyakit imun tingkat menengah. Mouser secara spesifik melakukan penelitian terhadap sel-sel imun yang diberi nama sel mast.



Sel-sel mast memainkan peranan penting dalam sistem imun manusia yang pertama kali memberikan respon ketika patogen masuk ke dalam tubuh. Dan mengatur respon imun lainnya untuk membantu berperang melawan patogen.

Dari penelitian tersebut, ditemukan bahwa sel-sel mast pada wanita mampu menginisiasi respon imun menjadi lebih aktif, diperkirakan hal ini yang menyebabkan wanita lebih kuat dalam menghadapi penyakit infeksi dibandingkan pria.

Tetapi sebagai gantinya, wanita ternyata lebih rentan terhadap penyakit-penyakit alergi dan radang. Bukti terbaru mengindikasikan sel-sel mast teraktivasi oleh virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.

Beberapa petunjuk tentang mengapa tingkat ketahanan hidup wanita lebih tinggi dari pria ditemukan dalam pemahaman terbaru dari perbedaan sistem imun antara wanita dan pria.

Apakah perbedaan gender berperan dalam sistem imun?

Secara umum, wanita memiliki respon imun yang lebih kuat daripada pria yang membantu wanita lebih tahan dalam menghadapi penyakit infeksi dibandingkan pria. Dan kondisi ini disebabkan oleh faktor genetik dan juga hormon sex seperti estrogen dan testosteron.

Secara biologis, wanita memiliki dua buah kromosom X, yang mengandung lebih banyak gen imun.

Kebanyakan dari gen-gen pada salah satu dari kromosom X dalam kondisi tidak aktif, tetapi beberapa gen imun berada dalam kondisi aktif, sehingga menambah jumlah gen-gen imun hingga dua kali lipat, dan juga melipat gandakan kuantitas protein imun tertentu dibandingkan dengan pria yang secara biologis hanya memiliki satu kromosom X.

Keberadaan hormon-hormon sex seperti estrogen dan testosterone juga berpengaruh terhadap respon imun. Dalam sebuah penelitian, para peneliti menemukan bahwa dengan mengaktifkan reseptor estrogen pada tikus betina, akan memberi perlindungan terhadap virus SARS-CoV-2. Dan para peneliti juga melakukan sebuah trial klinis yang mendapat persetujuan tentang pengaruh dari plester estrogen terhadap gejala-gejala COVID-19.



Dan yang menarik, dari data terbaru juga terlihat bahwa wanita memiliki tingkat ketahanan hidup lebih tinggi dibanding pria bahkan pada kelompok usia diatas 80 tahun, ketika level hormon dari kedua jenis kelamin dalam posisi seimbang.

Penemuan ini menunjukkan adanya faktor lainnya selain tingkat sex hormon yang berkontribusi pada perbedaan angka kematian COVID-19 berdasarkan jenis kelamin.

Androgen, sebuah kelompok hormon – termasuk didalamnya testosteron- adalah hormon yang mampu menstimulasi perkembangan karakteristik pria dan juga menjadi penyebab kebotakan pada pria, merupakan salah satu faktor yang meningkatkan resiko terhadap COVID-19 pada pria. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Italia, diagnosis kanker prostat meningkatkan resiko terhadap COVID-19.

Dan pada pasien-pasien kanker prostat yang menerima terapi deprivasi androgen (ADT) atau terapi pengurangan hormon androgen yang memicu tumbuhnya sel-sel kanker prostat pada pria, secara signifikan menurunkan resiko dari infeksi SARS-CoV-2. Dan dengan menurunkan jumlah hormon androgen pada pria, akan melindungi mereka dari infeksi virus SARS-CoV-2.

Masih belum diketahui bagaimana ADT bekerja hingga dapat menurunkan tingkat infeksi virus pada pria. Dan apakah kondisi ini juga berlaku di negara-negara lainnya, belum bisa diketahui dengan pasti.

Testosteron, yang merupakan bagian dari hormon androgen memiliki efek menekan sistem imun, jadi bisa jadi karakteristik ini dapat menambah kekuatan sistem imun dalam melawan infeksi SARS-CoV-2.

Dan ditemukan pula bukti bahwa terdapat perbedaan kuantitas dari reseptor tertentu pada pria dan wanita dalam mengenali patogen, yang berfungsi sebagai titik invasi untuk virus-virus seperti SARS-Cov-2.

Salah satu contoh adalah kuantitas dari reseptor angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) yang menjadi tempat virus SARS-CoV-2 mengikatkan diri ketika akan menginfeksi sel. Dan walaupun belum ditemukan bukti kuat akan peran reseptor ACE2 pada jenis kelamin yang berbeda dan pada tingkat keparahan penyakit COVID-19, tetapi keberadaannya masih merupakan faktor yang potensial.

Gender, sex dan resiko COVID-19

Ada banyak faktor yang berhubungan dengan sex biologis terhadap peningkatan atau penurunan kerentanan seseorang terhadap COVID-19.

Faktor penting lainnya dalam gender, yang berkaitan dengan perilaku sosial atau norma budaya yang dianggap pantas oleh masyarakat.

Pria mungkin memiliki kecenderungan resiko tinggi terhadap penyakit akut, karena pada umumnya, mereka memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol, tidak rutin mencuci tangan dan seringkali menunda pergi ke dokter ketika sakit.

Dan semua perilaku spesifik gender ini menempatkan pria pada resiko tinggi terhadap penyakit. Tetapi belum ada data terbaru tentang pengaruh gender terhadap penyakit COVID-19. 

Usia, tingkat stres psikologis, kondisi kesehatan saat ini seperti obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskuler juga berhubungan dengan sex biologis yang dapat meningkatkan resiko terkena penyakit.

Mungkin anda bertanya-tanya, jika memang sex biologis begitu penting, mengapa kita tidak mengetahui apa yang menyebabkan terbentuknya disparitas pada prevalensi penyakit antar jenis kelamin dan mengapa tidak ada perbedaan cara pengobatan menurut jenis kelamin?

Salah satu alasan utama adalah sebagian besar penelitian ilmiah yang dilakukan selama ini berfokus pada pria.

Dan untuk penelitian di masa mendatang, baik pada hewan maupun trial klinis pada manusia, harus pula dipertimbangkan faktor-faktor sex biologis dan interaksi gender sebagai sebuah variabel yang harus diperhitungkan.


The Conversation