BAGIKAN
Photo by Jared Sanders on Unsplash

Reservoir di jantung kota Maya kuno sangat tercemar oleh merkuri dan ganggang sehingga kemungkinan besar airnya tidak bisa diminum.

Periode Klasik Suku Maya (250 SM – 800 M) ditandai oleh pembangunan berbagai arsitektur monumental, perkembangan intelektual dan artistik, dan pertumbuhan negara-kota besar. Namun, pada abad ke 9, kota-kota batu kapur mereka yang terkenal ditinggalkan dan dinasti-dinasti berakhir, kekuatan politik dan ekonomi mereka pun akhirnya musnah.

Ada beberapa teori tentang apa yang menyebabkan runtuhnya peradaban Maya, seperti invasi, perang, degradasi lingkungan, dan runtuhnya rute perdagangan. Namun, pada 1990-an, para peneliti mampu mengumpulkan catatan iklim untuk periode jatuhnya Maya dan menemukan bahwa hal tersebut berkorelasi dengan periode kekeringan ekstrem yang panjang.

Sekarang, para peneliti dari Universitas Cincinnati (UC) menemukan bahwa telah terjadi polusi beracun di dua buah waduk pusat di Tikal, sebuah kota Maya kuno yang berasal dari abad ketiga SM, di mana sekarang adalah Guatemala utara.

Temuan UC menunjukkan bahwa kekeringan yang terjadi di abad kesembilan tersebut, kemungkinan ikut berkontribusi pada penurunan jumlah penduduk dan akhirnya kota ini ditinggalkan.

Tikal dan Kuil Jaguar-nya, seperti yang ada sekarang. (Jimmy Baum / Unsplash)

“Konversi dari waduk sentral di Tikal, dari sebuah tempat yang menopang kehidupan menjadi tempat yang sakit, secara praktis dan simbolis dapat membantu untuk menyebabkan ditinggalkannya kota yang luar biasa ini,” penelitian menyimpulkan.



Sebuah analisis geokimia menemukan bahwa dua waduk terdekat istana kota dan kuil, mengandung merkuri dengan kadar yang beracun. Ini didapatkan oleh para peneliti melalui penelusuran terhadap sebuah pigmen yang digunakan suku Maya untuk menghiasi bangunan, tanah liat dan barang-barang lainnya. Selama hujan badai, merkuri dalam pigmen terlarut ke dalam waduk di mana mengendap di lapisan sedimen selama bertahun-tahun.

Tetapi orang-orang yang meninggalkan kota yang terkenal dengan kuil-kuil dan arsitektur batu yang menjulang ini, memiliki banyak air yang dapat diminum dari waduk terdekat yang belum terkontaminasi, para peneliti UC menemukan.

Studi ini diterbitkan dalam jurnal Nature Scientific Reports.

Para penliri memeriksa lapisan sedimen yang berasal dari abad kesembilan ketika Tikal adalah kota yang berkembang. Sampel-sampel sedimen dari 10 waduk di dalam kota dan melakukan analisis terhadap DNA purba yang ditemukan di empat lapisan tanah bertingkat.

Sebelumnya, para peneliti UC menemukan bahwa tanah di sekitar Tikal selama abad kesembilan sangat subur dan terlacak sumbernya berasal dari letusan gunung berapi yang pada umumnya dapat memperkaya tanah Semenanjung Yucatan.

Sebuah model yang mengungkapkan tata letak Tikal di zaman kuno.(Nicholas Dunning / UC)

“Para arkeolog dan antropolog telah mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada Maya selama 100 tahun,” kata David Lentz, seorang profesor ilmu biologi UC dan penulis utama studi ini.

Sedimen dari waduk terdekat dengan pusat kuil Tikal dan istana menunjukkan bukti adanya alga beracun yang disebut cyanobacteria. Mengkonsumsi air ini, terutama selama kekeringan, akan membuat orang sakit walaupun airnya direbus, kata Lentz.

“Kami menemukan dua jenis ganggang biru-hijau yang menghasilkan bahan kimia beracun. Hal buruk tentang ini adalah mereka tahan terhadap perebusan. Itu membuat air di waduk ini beracun untuk diminum,” kata Lentz.

Peneliti UC mengatakan jika itu mungkin saja, tetapi orang-orang Maya tidak mungkin menggunakan waduk ini untuk minum, memasak atau irigasi.

“Airnya akan terlihat buruk. Rasanya juga tidak enak,” kata Kenneth Tankersley, seorang profesor antropologi di College of Arts and Sciences UC. “Dimana ditemukan ganggang ini dalam jumlah besar. Maka tidak akan ada yang ingin meminum airnya.”



Tetapi para peneliti tidak menemukan bukti polutan yang sama dalam sedimen dari waduk yang lokasinya lebih jauh yang disebut Perdido dan Corriental. Tempat-tempat ini kemungkinannya telah menyediakan air minum bagi penduduk kota selama abad kesembilan.

Saat ini, Tikal adalah taman nasional dan situs Warisan Dunia UNESCO. Para peneliti percaya kombinasi faktor ekonomi, politik dan sosial mendorong orang untuk meninggalkan kota dan area pertanian di sekitarnya. Tetapi perubahan iklim juga tidak diragukan lagi memainkan peranannya, kata Lentz.

“Mereka memiliki musim kemarau yang berkepanjangan. Untuk sebagian tahun, hujan dan basah. Selebihnya, benar-benar kering dengan hampir tidak ada curah hujan. Jadi mereka kesulitan menemukan air,” kata Lentz.

“Biasanya, ketika kita melihat banyak cyanobacteria di air tawar, kita berpikir tentang ganggang berbahaya yang berdampak pada kualitas air,” kata rekan penulis Trinity Hamilton dari University of Minnesota.

Menemukan beberapa waduk yang tercemar sementara yang lainnya tidak, menunjukkan bahwa suku Maya kuno menggunakannya untuk tujuan yang berbeda, katanya.

Waduk di dekat kuil dan istana kemungkinan akan menjadi landmark yang mengesankan.

“Ini akan menjadi pemandangan yang luar biasa untuk melihat bangunan-bangunan yang dicat berwarna cerah terpantul dari permukaan air waduknya,” kata rekan penulis Nicholas Dunning, kepala geografi di UCF.

“Para penguasa suku Maya berunding untuk kepentingan diri mereka, antara lain, berbagai atribut yang mampu mengendalikan air. Mereka memiliki hubungan khusus dengan para dewa hujan,” kata Dunning. “Jadi waduk akan menjadi simbol yang cukup kuat.”

Tankersley UC mengatakan salah satu pigmen terpopuler yang digunakan pada dinding plester dan penguburan seremonial berasal dari cinnabar, suatu mineral berwarna merah yang terdiri dari merkuri sulfida, yang ditambang oleh suku Maya dari fitur vulkanik terdekat yang dikenal sebagai Formasi Todos Santos.

Pemeriksaan yang cermat terhadap sedimen waduk menggunakan ‘Spektroskopi Fluoresensi Sinar X Energi Dispersif’ menemukan bahwa merkuri yang terlarut dalam air bukan dari batuan dasar. Demikian juga, kata Tankersley, UC mengesampingkan sumber merkuri potensial lainnya – abu vulkanik yang jatuh di seluruh Amerika Tengah selama letusan yang sering terjadi. Tidak adanya merkuri di waduk terdekat lainnya di mana abu akan jatuh, mengesampingkan jika gunung berapi sebagai biang keladinya.

Sebaliknya, kata Tankersley, orang-orang yang harus disalahkan.

“Itu artinya bahwa merkuri dipastikan bersifat antropogenik – faktor manusia,” kata Tankersley.

Brian Lane di reservoir Perdido. (Nicholas Dunning / UC)

Dengan warna merah cerah, cinnabar umumnya digunakan sebagai sebuah cat atau pigmen di seluruh Amerika Tengah pada saat itu.

“Warna merupakan hal penting di dunia suku Maya kuno. Mereka menggunakannya dalam mural mereka. Mereka mengecat plester dengan warna merah. Mereka menggunakannya dalam pemakaman dan menggabungkannya dengan oksida besi untuk mendapatkan warna yang berbeda,” kata Tankersley.

“Kami dapat menemukan berbagai sidik jari mineral yang menunjukkan dengan tanpa keraguan, bahwa merkuri yang terdapat dalam air berasal dari cinnabar,” katanya.

Tankersley mengatakan kota-kota Maya kuno seperti Tikal masih terus memikat para peneliti karena kecerdikan, kerja sama, dan kecanggihan yang dibutuhkan untuk berkembang di tanah tropis yang ekstrem ini.

“Ketika saya melihat Maya kuno, saya melihat orang yang sangat canggih dengan budaya yang sangat kaya,” kata Tankersley.

Tim UC berencana untuk kembali ke Semenanjung Yucatan untuk mendapatkan lebih banyak jawaban tentang periode peradaban manusia yang luar biasa ini.