BAGIKAN
Kerangka yang sedang digali. (Sofia Tereso)

Sekelompok peneliti internasional telah menemukan bukti sindrom Klinefelter tertua hingga saat ini. Di mana berasal dari kerangka berusia 1.000 tahun yang ditemukan di Portugal.

Para peneliti mengatakan temuan ini akan membantu membuat catatan sejarah untuk sindrom Klinefelter, serta meningkatkan pemahaman tentang prevalensinya sepanjang sejarah manusia.

Sindrom Klinefelter adalah salah satu kondisi genetik yang langka, di mana seorang laki-laki memiliki kromosom X tambahan. Akibatnya, laki-laki yang memiliki kondisi ini, bisa mendapat berbagai kelainan kesehatan yang tidak normal. Di antaranya, laki-laki tersebut cenderung memilki karakteristik seorang perempuan.

Kelebihan kromosom X ini, membawa salinan gen ekstra yang mengganggu perkembangan testis, sehingga menghasilkan lebih sedikit testosteron (hormon seks pria) dari biasanya. Meskipun kromosom X bukanlah kromosom “perempuan” dan ada pada setiap orang. Kehadiran kromosom Y, menunjukkan jenis kelamin laki-laki.

Kerangka manusia yang ditemukan di timur laut Portugal ini, setelah ditentukan usianya dengan radiokarbon, berasal ari abad ke-11. Kemungkinan milik seorang pria berusia lebih dari 25 tahun pada saat kematiannya, yang tingginya sekitar 180 sentimeter.

“Penelitian kami menunjukkan potensi yang sangat besar untuk menggabungkan berbagai bukti untuk mempelajari masa lalu manusia, dan frekuensi kondisi kesehatan yang berbeda sepanjang waktu,” kata Dr. João Teixeira, ARC DECRA Fellow di The Australian National University (ANU) dalam sebuah pernyataan.

“Namun, DNA purba sering terdegradasi dan berkualitas rendah dan berlimpah, yang berarti kami awalnya berhati-hati.”

“Mengingat keadaan DNA yang rapuh, kami mengembangkan metode statistik baru yang dapat mempertimbangkan karakteristik DNA purba dan pengamatan kami untuk mengonfirmasi diagnosis,” kata Teixeira.

Penelitian ini juga mengungkapkan karakteristik yang sesuai dengan ciri-ciri dari Sindrom Klinefelter. Di antaranya adalah tinggi badan yang jauh lebih tinggi dari rata-rata, pinggul yang lebih lebar, serta ketidaksejajaran rahang dan gigi.

“Dalam beberapa tahun terakhir, DNA purba membantu menulis ulang sejarah populasi manusia di seluruh dunia,” kata ahli paleogenetik Bastien Llamas dari University of Adelaide di Australia.

“Studi kami menunjukkan bahwa itu sekarang menjadi sumber yang berharga untuk penelitian biomedis dan bidang kedokteran evolusi yang berkembang.”

Penelitian ini telah dipublikasikan di The Lancet.