Beranda Lingkungan Para Ilmuwan Menemukan Petunjuk Untuk Pemulihan dari Kepunahan Massal

Para Ilmuwan Menemukan Petunjuk Untuk Pemulihan dari Kepunahan Massal

BAGIKAN
Situs pengumpulan untuk sedimen yang digunakan dalam penelitian ini, terletak di dekat desa Zal di Provinsi Azerbaijan Timur, Iran. Kredit: Sylvain Richoz

Sekitar 252 juta tahun yang lalu, lebih dari 90 persen dari semua kehidupan binatang di Bumi punah. Peristiwa ini, yang disebut “kepunahan massal Permian-Triasic,” merupakan bencana terbesar dalam sejarah kehidupan di Bumi. Memerlukan waktu hampir lima juta tahun bagi ekosistem untuk pulih dan banyak aspek dari peristiwa itu yang tetap menjadi misteri.

Sebuah tim peneliti, yang dipimpin oleh para ilmuwan dari Arizona State University dan didanai oleh NASA dan National Science Foundation, membantu memahami mengapa peristiwa kepunahan ini terjadi dan mengapa butuh waktu begitu lama untuk pulih. Penelitian, yang diterbitkan dalam Science Advances, yang dipimpin oleh ASU School of Earth dan mahasiswa Eksplorasi Luar Angkasa Feifei Zhang, dengan arahan dari staf pengajar sekolah, Ariel Anbar.

Kepunahan massal ekosistem laut

Untuk penelitian ini, tim peneliti berfokus pada ekosistem laut, yang hancur selama masa kepunahan massal Permian-Triassic. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hilangnya oksigen terlarut di lautan Bumi, suatu efek yang disebut “anoksia laut,” memainkan peran penting dalam peristiwa kepunahan massal. Tim ingin mencari tahu kapan anoksia terjadi, seberapa luas penyebarannya, dan berapa lama ia bertahan setelah peristiwa kepunahan tersebut

Secara khusus, tim ingin melihat apakah episode – episode kepunahan tersendiri yang terjadi selama periode panjang masa pemulihan didorong oleh episode anoksia laut dan perubahan lingkungan lainnya.

Merintis teknik baru

Biasanya, para ilmuwan menentukan tingkat anoksia laut dengan melihat kelimpahan pyrite yang umumnya dikenal sebagai “fool’s gold,” dan unsur-unsur mineral lain di bebatuan lumpur purba. Namun, bebatuan lumpur hanya memberikan petunjuk tentang apa yang mungkin terjadi di satu lokasi. Para ilmuwan perlu mengambil sampel puluhan situs di seluruh dunia untuk menyimpulkan gambaran besar dari bebatuan lumpur.

Untuk mengatasi hal ini, tim memelopori suatu cara pendekatan baru dan lebih efisien. Dengan mempelajari variasi isotop uranium yang tercatat dalam karbonat, tim mampu menyimpulkan anoksia global yang terjadi di seluruh lautan menggunakan sampel dari singkapan tunggal. Sedimen-sedimen ini, yang dikumpulkan di Iran modern, tersimpan 252-246 juta tahun yang lalu di laut tropis yang relatif dangkal di dekat khatulistiwa.

Variasi yang dihasilkan dari isotop uranium memberi tim jawaban yang mereka cari. Mereka mampu menunjukkan bahwa episode kepunahan bertepatan dengan pulsa anoksia laut, didorong oleh perubahan sirkulasi laut dan tingkat nutrisi.

“Temuan ini,” kata Zhang, “memberikan wawasan penting ke dalam pola perubahan lingkungan samudera dan penyebab yang mendasarinya, yang pada akhirnya terkait dengan pemanasan iklim yang intens selama zaman Triassic Awal.”

Perubahan iklim – dulu dan sekarang

Penemuan tim ini juga memunculkan perhatian pada efek efek yang mungkin terjadi dari perubahan iklim modern, karena pemanasan global adalah pendorong utama anoksia laut pada periode Triassic Awal.

“Salah satu hal yang paling menarik dan mengkhawatirkan tentang kepunahan Permian-Triassic adalah seberapa mirip peristiwa tersebut dengan apa yang terjadi hari ini,” kata rekan penulis Stephen Romaniello. “Mirip dengan apa yang terjadi selama periode Permian, lautan Bumi masa kini menghadapi pemanasan iklim yang cepat dan peningkatan aliran nutrisi.”

Faktanya para ilmuwan telah menemukan lebih dari 400 zona laut mati ( marine dead zone) di samudera modern. Ini sebagian besar terkait dengan peningkatan fluks nutrisi di wilayah pesisir, dan pemanasan global kemungkinan akan menyebabkan zona ini berkembang secara dramatis di masa depan.

“Hasil kerja kami menunjukkan bahwa jika kita melanjutkan alur kita tetap seperti sekarang, ada peluang besar bahwasanya penipisan oksigen akan memperburuk tantangan organisme laut yang sudah dan sedang kita hadapi,” kata rekan penulis Thomas Algeo.