BAGIKAN
[Credit: Lisa J. Lucero, VOPA]

Hewan kungkang yang kita kenal sekarang adalah hewan yang menampakkan kemalasan, bergerak begitu lamban hanya menggelantung pada dedahanan pohon. Namun, nenek moyang kungkang (Eremotherium laurillardi) umumnya tinggal di daratan ketimbang sekadar bergelantungan dan ukurannya pun bisa jauh lebih besar.

Sekelompok penyelam di tahun 2014 secara tidak sengaja menemukan berbagai sisa-sisa dari tulang kungkang purba yang meliputi gigi, tulang lengan dan tulang paha, saat mereka melakukan pencarian artefak suku Maya kuno pada sebuah kolam, di Cara Blanca, Belize.

Kolam tempat gigi kungkang kuno ditemukan. 
Foto drone oleh Jeannie Larmon, Valley of Peace Archaeological (VOPA)

Diperkirakan kungkang ini berasal dari 27.000 tahun yang lalu. Saat itu hewan ini berukuran raksasa yang bisa mencapai 6 meter tingginya. Kemungkinannya ia tengah kehausan dan mencari air untuk melegakan tenggorokannya, namun ia terjatuh pada sebuah kolam hingga tenggelam dan akhirnya ditemukan sisa-sisanya oleh para penyelam tersebut.

Saat itu, Belize merupakan wilayah yang gersang tidak seperti saat ini yang ditumbuhi oleh pepohonan yang hijau. Glasial Maksimum Terakhir, periode terakhir dalam sejarah Bumi ketika lapisan es mencapai jangkauan terluasnya, telah mengunci kelembapan Bumi dalam lapisan es dan gletser kutub. Sehingga daerah ini hanya memiliki sedikit persediaan air pada permukaan tanahnya.

Meskipun fosil yang ditemukan hanya sebagiannya saja, namun gigi yang masih tersisa terdapat cukup jaringan yang masih utuh untuk dilakukan analisis isotop karbon dan oksigen yang stabil, yang memberikan petunjuk tentang apa yang telah dimakan kungkang di akhir kehidupannya. Hal tersebut pada akhirnya, banyak mengungkapkan tentang iklim dan lingkungan lokal di wilayah tersebut pada saat itu. Temuan ini, yang dilaporkan dalam jurnal Science Advances, akan membantu studi terkait fosil serupa di masa depan, kata para peneliti.

“Kami memulai penelitian kami dengan harapan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang lanskap tempat mamalia besar punah dan kehadiran manusia di Belize tengah,” kata Jean T. Larmon dari University of Illinois, yang memimpin penelitian bersama dengan Lisa Lucero dan Stanley Ambrose . “Dalam prosesnya, kami menemukan bagian dari gigi yang paling baik dalam mempertahankan integritasnya untuk dianalisis. Dan kami menyempurnakan metode untuk mempelajari spesimen serupa di masa depan.”

Temuan baru “menambah bukti bahwa banyak faktor, selain perubahan iklim, berkontribusi terhadap kepunahan megafauna di Amerika,” kata Lucero, yang mempelajari Maya kuno di Belize tengah. “Salah satu faktor potensial itu adalah kedatangan manusia di tempat kejadian 12.000 hingga 13.000 tahun yang lalu.”

(Julie McMahon/University of Illinois at Urbana-Champaign)

Gigi kungkang raksasa seperti yang ditemukan di Belize, berbeda dari mamalia besar lainnya, seperti mamut, yang punah antara 14.000 dan 10.000 tahun yang lalu, kata Larmon.

Faktor-faktor lain telah membatasi kemampuan ilmuwan untuk mempelajari gigi kungkang purba. Karena sebagian besar dari fosil, baik dari sebagian atau keseluruhan jaringan dan tulang aslinya telah tergantikan oleh mineral.

Dengan menggunakan mikroskop cathodoluminescence, suatu teknik yang menyebabkan mineral bersinar dan dapat mendeteksi tingkat mineralisasi dalam fosil, para peneliti menemukan bahwa satu jenis jaringan gigi, ortodentin padat, sebagian besar masih utuh.

Larmon mengebor 20 sampel ortodentin untuk analisis isotop sepanjang fragmen gigi sepanjang 10 sentimeter, yang mencakup lebih dari satu tahun pertumbuhan gigi.

Gigi kungkang (Stan Ambrose/Valley of Peace Archaeology / VOPA)

“Ini memungkinkan kami untuk melacak perubahan bulanan dan musiman dalam pola makan dan iklim kungkang untuk pertama kalinya, dan juga untuk memilih bagian terbaik dari gigi untuk penanggalan radiokarbon yang dapat di andalkan” kata Ambrose.

Analisis isotop mengungkapkan bahwa kungkang raksasa itu telah hidup melewati musim kemarau panjang, yang berlangsung sekitar tujuh bulan, terhimpit di antara dua musim hujan pendek. Analisis itu juga mengungkapkan bahwa makhluk itu hidup di sabana, bukan di hutan, dan mengonsumsi beragam tanaman yang berbeda antara musim hujan hingga musim kemarau.

“Kami dapat melihat bahwa makhluk sosial yang sangat besar ini mampu beradaptasi dengan mudah pada iklim kering, menggeser penghidupannya untuk mengandalkan apa yang lebih tersedia atau enak,” kata Larmon.

“Ini mendukung gagasan bahwa kungkan memiliki makanan yang beragam,” kata Lucero. “Itu membantu menjelaskan mengapa mereka begitu tersebar luas dan mengapa mereka bertahan begitu lama. Mungkin karena mereka sangat mudah dalam beradaptasi.”