BAGIKAN
(Nazmi Zaim/Unsplash)

Eczema atau eksim atau dermatitis atopik adalah gangguan kulit kronis yang berlangsung dalam waktu lama, di mana kulit pengidapnya akan terasa gatal, tampak kering, pecah-pecah, dan merah. Terkadang keluar darah atau cairan dari sela-sela kulit yang pecah, dan permukaan kulit menjadi menebal dan mengeras. Hingga kini, belum ada obat yang dapat menyembuhkan kondisi ini secara total, yang ada hanyalah obat untuk meringankan gejala dan mencegah gejala menjadi semakin buruk.

Hingga kini, para ilmuwan telah mengetahui  berbagai proses pada kulit manusia yang menyebabkan terbentuknya kondisi tersebut, dan mungkin akan membantu kita untuk menemukan cara mengatasi penyakit kronis ini.

Pada tahun 2006, sebuah penelitian menemukan adanya keterkaitan yang kuat antara kekurangan protein tertentu pada kulit seseorang dengan resiko timbulnya eksim pada kulit. Dan pada tahun 2017, ilmuwan menemukan dengan pasti penyebab terbentuknya kondisi tersebut, dan hasil ini membawa kita semakin dekat dalam menemukan obat untuk kondisi kulit dengan eksim.

Eczema atau eksim adalah kondisi kulit yang umum yang menyerang hampit 20 persen anak-anak dan 3 persen orang dewasa di seluruh dunia. Selama beberapa dekade, para ilmuwan berusaha memahami dan menemukan bahwa eksim berkaitan dengan kekurangan filaggrin (filamen yang terdiri dari protein) pada kulit, yang terjadi karena faktor genetik. Protein ini membantu pembentukan sel-sel kulit dan memegang peranan penting pada fungsi pelindung pada kulit kita.

Jika seseorang mengalami mutasi genetik yang membuat kulitnya tidak dapat memproduksi filaggrin dengan baik, maka pada kulitnya akan terbentuk kondisi seperti eksim atau ichtyosis vulgaris dimana sel-sel kulit mati akan menumpuk hingga kulit terlihat bersisik atau seperti sisik ikan.

Dan hingga kini, para peneliti belum mengetahui dengan pasti bagaimana eksim terbentuk ketika kulit kekurangan asupan filaggrin.

Sebuah terobosan baru datang pada tahun 2016, ketika para ilmuwan dari Newcastle university di Inggris yang berkolaborasi dengan perusahaan farmasi GSK Stiefel berhasil melacak protein dan jejak molekuler yang menyebabkan terbentuknya masalah pada kulit.

Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam Journal of Allergy and Clinical Immunology

“Kami berhasil menemukan untuk pertama kalinya bahwa kehilangan protein filaggrin akan menyebabkan perubahan pada protein dan faktor-faktor lainnya yang memicu terjadinya eksim pada kulit,” kata peneliti utama Nick Reynolds dari Newcastle University.

Mereka menemukan bahwa defisiensi protein filaggrin dapat memicu perubahan molekuler dalam sebuah mekanisme penting pada sistem pengaturan di kulit. Dan kondisi ini mempengaruhi struktur sel, fungsi pelindung kulit dan bahwa mempengaruhi bagaimana terjadinya pembengkakan pada kulit dan respon kulit terhadap stress.

Para peneliti menyatakan bahwa penemuan awal mereka dihasilkan dengan menganalisa protein pada sampel kulit manusia dan membandingkan hasil analisa dari sampel kulit partisipan yang sehat yang mengidap eksim.

Mereka menemukan bahwa ada 17 jenis protein yang berhasil teridentifikasi, dan semuanya adalah protein yang mengalami perubahan karena eksim, sama seperti yang ditunjukkan pada model di lab.

Jika nanti para ilmuwan berhasil mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada kulit yang kekurangan gen filaggrin, mereka dapat memulai mencari obat yang dapat menghentikan terbentuknya eksim pada kulit.

“Penelitian seperti ini membantu para ilmuwan dalam mengembangkan pengobatan yang menargetkan akar masalah dari penyakit ini, tidak sekedar menangani gejala yang timbul,” kata Nina Goad dari British Association of Dermatologists.