BAGIKAN
(Alexander Mils/Unsplash)

Madu nampaknya adalah obat yang lebih baik untuk mengatasi gejala pilek dibandingkan dengan antibiotik dan obat-obatan yang dijual bebas. Fakta ini ditemukan dari hasil sebuah riset terbaru, yang secara sistematis melihat kembali (review) hasil 14 penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. 

“Madu secara berkala digunakan sebagai obat dan juga diketahui dengan baik oleh para pasien,” para peneliti dari University of Oxford menuliskan dalam laporan mereka. “Selain itu madu juga murah, mudah didapatkan dan cukup aman bagi manusia.”

Yang menarik perhatian para peneliti adalah perbandingan antara antibiotik dan madu. Dengan adanya resiko efek samping dari antibiotik dan meningkatnya kasus resistensi terhadap antibiotik, menjadi nilai tambah bagi madu sebagai sebuah obat alternatif, para peneliti menekankan dalam laporan mereka.

Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam BMJ Evidence-Based Medicine.

“Karena mayoritas penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) disebabkan oleh virus, pemberian obat antibiotik oleh dokter dinilai tidak efektif dan juga tidak tepat,” kata para peneliti. “Namun, dengan tidak ada alternatif obat yang efektif ditambah keinginan dokter untuk menjaga hubungan baik dengan pasien, berkontribusi pada kasus pemberian obat yang tidak tepat.”

Madu telah lama digunakan oleh banyak orang untuk membantu mengatasi gejala pilek seperti batuk dan demam. Tetapi, hingga kini belum ada penelitian tentang efikasi dari bahan alami ini secara tuntas, meninggalkan keraguan tentang seberapa baik kemampuannya dalam meredakan gejala pilek pada beberapa kelompok usia, dibandingkan dengan pilihan obat lainnya.

Kesimpulan penelitian ini didapatkan dari hasil review pada 14 penelitian yang melibatkan 1.761 individual dimana diungkapkan bahwa madu efektif untuk mengatasi gejala dari infeksi saluran pernafasan atas, yaitu sakit tenggorokan, hidung tersumbat dan batuk. Namun walaupun hasil penelitian tersebut terlihat menjanjikan, tetapi nampaknya penelitian-penelitian yang tercakup dalam review tersebut malah menjadi isu yang mempengaruhi hasil secara keseluruhan.

“Dengan menggunakan metode meta analisis (analisis statistik yang mengabungkan dua atau lebih hasil penelitian sejenis hingga diperoleh paduan data secara kuantitatif), hasil akhir meliputi data yang tercakup di dalam 14 penelitian tersebut. Jika sumber literatur penelitian anda tidak begitu baik, anda tidak dapat berkata lebih tentang subjek penelitian anda sebelum anda melakukan penelitian lebih jauh,” kata Gideon Meyerowitz, seorang epidemiolog dari University of Wollongong, Australia, yang tidak terlibat langsung dalam penelitian ini.

“Dalam review ini, hampir keseluruhan data hasil penelitian yang tercakup di dalamnya ditemukan adanya inkonsistensi dan beberapa kesalahan, yang artinya kita harus lebih berhati-hati dalam memberikan kesimpulan akhir.”

Dan siapapun yang pernah mengalami sakit pilek pasti mengetahui, cara pengobatan dan terapi yang telah ada seringkali menghasilkan sedikit perubahan dari keseluruhan gejala yang timbul; dengan mengkonsumsi madu, mungkin kita telah merasa melakukan sesuatu – dan para peneliti mengatakan bahwa seharusnya dilanjutkan dengan trial yang besar, berkualitas, dan disertai dengan kontrol plasebo.

“Meta analisis ini sebenarnya dilakukan dengan baik, tetapi kualitas hasil penelitian tentang madu pada gejala ISPA atau batuk sangat rendah. Artinya kita tidak bisa hanya mengatakan bahwa kita tidak begitu yakin bahwa madu cukup membantu mengatasi gejala penyakit, karena penelitian ini tidak dilakukan dengan tuntas,” kata Meyerowitz-Katz.

Sementara itu, penelitian dilanjutkan untuk melihat manfaat madu yang berpotensi sebagai material anti bakteri, dan bagaimana madu dapat dimanfaatkan untuk mengatasi penyakit lainnya selain batuk dan pilek. Kadangkala, obat terbaik adalah yang telah disediakan oleh alam, tetapi penelitian lebih lanjut harus masih harus dibutuhkan untuk membuktikannya.