BAGIKAN
Credit: Christopher DelRe, UC Berkeley

Para ilmuwan kini telah menemukan cara untuk membuat plastik yang lebih mudah terurai, hanya dengan panas dan air dalam beberapa minggu.

Kebanyakan plastik yang dirancang untuk dapat terurai secara hayati, terutama terbuat dari poliester yang dikenal sebagai asam polilaktat (PLA). Asam polilaktat adalah polimer dari asam laktat yang bersifat biodegradable dan dapat diproses menjadi plastik kemasan. Namun pada kenyataaanya, plastik tersebut tidak dapat terurai sebagaimana diharapkan dan berakhir di tempat pembuangan sampah sebagai plastik selamanya.

Proses baru ini masih menggunakan PLA, namun dengan menambahkan suatu enzim pemakan poliester ke dalam plastik saat dibuat. Enzim ini dilindungi oleh pembungkus polimer sederhana yang mencegah enzim mengalami kerusakan. Ketika terpapar panas dan air, enzim ini melepaskan selubung polimernya kemudian mulai menghancurkan polimer plastik menjadi blok-blok penyusunnya. Selubung polimernya juga turut mengalami degradasi.

Proses tersebut menghilangkan mikroplastik. Hingga 98% plastik yang dibuat dengan teknik ini terurai menjadi molekul-molekul kecil.

“Kami pada dasarnya mengatakan bahwa kami berada di jalur yang benar. Kami dapat menyelesaikan masalah berkelanjutan dari plastik sekali pakai yang tidak dapat terurai secara hayati,” kata penulis senior Ting Xu dari UC Berkeley.

Ide Xu adalah untuk menanamkan suatu enzim pemakan polimer berskala nano secara langsung ke dalam plastik atau bahan lainnya. Kemudian merancang molekul yang dia sebut random heteropolymer (RHP) yang membungkus enzim dan dengan lembut menahannya tanpa membatasi fleksibilitas alaminya. Sehingga enzim tersebut dapat bertahan dan terlindungi sampai dilepasakn pada kondisi yang tepat.

RHP ini terdiri dari empat jenis subunit monomer, masing-masing dengan sifat kimia yang dirancang untuk berinteraksi dengan gugus kimia pada permukaan enzim tertentu. Terdegradasi di bawah sinar ultraviolet dan pada konsentrasi kurang dari 1% berat plastik – cukup rendah.

Untuk memicu degradasi, hanya perlu menambahkan air dan sedikit panas. Pada suhu kamar, 80% serat PLA yang dimodifikasi terdegradasi seluruhnya dalam waktu sekitar satu minggu. Degradasi lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi. Dalam kondisi pengomposan industri, PLA yang dimodifikasi terdegradasi dalam waktu enam hari pada suhu 50 derajat Celcius. Plastik poliester lainnya, PCL (polycaprolactone), terdegradasi dalam dua hari di bawah kondisi pengomposan industri pada 40 derajat Celcius. Untuk PLA, dia menanamkan enzim yang disebut proteinase K yang mengunyah PLA menjadi molekul asam laktat; untuk PCL, dia menggunakan lipase. Keduanya adalah enzim yang murah dan mudah didapat.

Tim juga memverifikasi bahwa poliester yang dimodifikasi tidak terdegradasi pada suhu rendah atau selama periode kelembapan yang singkat. Artinya, Anda dapat memiliki sebuah pakaian yang terbuat dari bahan ini, dan tidak akan terpengaruh oleh proses pencucian pada suhu dingin atau selama terkena keringat. Perendaman dalam air selama tiga bulan pada suhu kamar tidak menyebabkan plastik terurai.

PCL hampir terdegradasi menjadi molekul kecil dalam waktu 36 jam dalam air bersuhu 40 ° C. Credit: Christopher DelRe, UC Berkeley

Air yang agak hangat memang memulai prosesnya. Namun, ini bukan kekurangannya. Ini menandakan sebuah pendekatan dari kompos berbasis air untuk kompos rumah tangga.

“Ternyata pengomposan saja tidak cukup – orang ingin membuat kompos di rumah tanpa mengotori tangan, mereka ingin membuat kompos di air,” tambah Xu. “Jadi, itulah yang kami coba telusuri. Kami menggunakan air keran yang hangat. Cukup hangatkan hingga suhu yang tepat, lalu masukkan, dan kami lihat dalam beberapa hari plastiknya menghilang.”

Xu dan timnya kini sedang menyelidiki penerapan metode ini pada jenis plastik lain serta memiliki kontrol lebih pada tingkat biodegradabilitas sehingga sebagian plastik dapat terurai dan sisanya dapat didaur ulang menjadi plastik baru.

“Adalah baik bagi milenial untuk memikirkan hal ini dan memulai percakapan yang akan mengubah cara kita berinteraksi dengan Bumi,” kata Xu.

Penelitian ini telah diterbitkan di jurnal Nature.