BAGIKAN
Pleiades and Stardust Credit : Tony Hallas?NASA.gov

Ketika anda minum segelas air, tahukah anda bahwa sebelum masuk ke tubuh anda, air tersebut telah melewati saluran pencernaan banyak orang selain kita. Mungkin saja milik Attila The Hun atau Vlad the Impaler; bahkan mungkin saja Tyrannosaurus Rex.

Dan hal sama juga berlaku pada bintang dan materi. Semua materi yang kita lihat di sekeliling kita di planet ini, bahkan tubuh kita sendiri, telah melewati setidaknya satu kali siklus dari kelahiran bintang dan juga kematian, bahkan mungkin lebih dari itu. Tetapi pada bintang tipe apa?

Tim peneliti dari ETH Zurich (Ecole polutechnique federale de Zurich) melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Awal mula kisah tata surya kita dimulai sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu ketika sebuah awan molekular mati. Pada bagian pusat dari awan yang mati tersebut lahirlah matahari dalam sebuah ledakan fusi, dan sebuah cakram yang terdiri gas dan debu terbentuk di sekitarnya. Dan akhirnya terbentuklah semua planet-planet dalam sistem tata surya dari cakram protoplanet tersebut.

Dalam cakram tersebut, terkandung material butiran debu yang pernah terbentuk di sekitar bintang-bintang lain. Butiran spesial ini didistribusikan secara acak di sepanjang cakram, “seperti menaburkan garam dan lada,” kata Maria Schönbächler, seorang professor dari Institute of Geochemistry and Petrology di ETH Zurich.




Dan ketika planet-planet di sistem tata surya terbentuk, di dalam setiap planet terkandung campuran dari gas dan debu, dan juga butiran-butiran spesial tersebut.

Sebuah ilustrasi dari cakram protoplanet. (NASA/JPL-Caltech/T. Pyle)

Dengan menggunakan instrumen yang canggih, para peneliti mendeteksi material yang membentuk planet-planet di sistem tata surya, dan kemudian menetapkan dari mana material tersebut berasal. Dan semua dapat diketahui dengan mengidentifikasi kandungan isotop yang ada di setiap material yang ada di tata surya.

Isotop adalah bentuk sebuah unsur yang memiliki nomor atom yang sama, tetapi memiliki jumlah proton di nukleus dan massa atom yang berbeda karena memiliki jumlah neutron yang berbeda. Sebagai contoh, adanya perbedaan jumlah proton dan neutron dari isotop karbon, seperti C13 dan C14. Jika semua isotop karbon memiliki 6 proton, C13 mempunyai 7 neutron dan C14 memiliki 8 neutron.

Campuran dari isotop yang berbeda pada sebuah planet – tidak hanya karbon tetapi juga unsur-unsur lainnya – menjadi karakteristik dari planet tersebut, seperti sidik jari. Dan dari karakteristik tersebut, para ilmuwan bisa mengetahui banyak hal tentang asal mula sebuah benda langit di tata surya.

“Debu bintang memiliki karakteristik yang unik dan juga ekstrim – dan karena tersebar secara acak di sepanjang cakram planet, setiap planet dan setiap asteroid memiliki karakteristik tersendiri ketika terbentuk,” kata Schönbächler dalam sebuah press rilis.




Selama beberapa tahun terakhir, para ilmuwan melakukan penelitian tentang karakteristik dari planet bumi dan juga di dalam meteorit. Perbandingan antar keduanya mengungkapkan berapa lama bintang-bintang raksasa merah yang ikut berkontribusi atas materi yang membentuk bumi dan segala semua yang ada di dalamnya, termasuk kita, manusia.

Bagian dari meteorit yang berasal dari Asteroid Vesta, yang ditemukan di bumi. Berkat misi Dawn NASA, para ilmuwan akhirnya mengetahui bahwa Vesta adalah inang dari banyak meteorit. (NASA/University of Tennessee).

Para ilmuwan membandingkan anomali isotop antar planet bumi dan meteorit pada lebih banyak lagi unsur. Schönbächler dan ilmuwan lainnya yang ikut serta dalam penelitian ini melakukan analisa pada meteorit yang merupakan bagian dari inti asteroid yang dahulu kala telah hancur.

Para ilmuwan kemudian berfokus pada unsur palladium.

Pada penelitian-penelitian sebelumnya, para ilmuwan telah melakukan analisa rasio isotop dari unsur lainnya, seperti ruthenium dan molybdenum, yang merupakan ‘tetangga’ dari palladium di tabel periodik. Dan hasil penelitian ini membantu Schönbächler dan tim untuk memprediksi apa yang akan mereka temukan ketika mencari isotop palladium.



Tim berharap akan mendapatkan isotop palladium dalam jumlah yang sama, tetapi yang mereka mendapatkan adalah hal yang tidak terduga.

Palladium (atom # 46) dan tetangga dekatnya Molybdenum (Mo) dan Ruthenium (44). (Off Dopt/Wikimedia Commons)

“Batuan meteorit mengandung anomali palladium jauh lebih kecil dari yang diperkirakan,” kata Mattias Ek, dari the University of Bristol, yang melakukan pengukuran isotop dalam riset doktoralnya di ETH.

Dalam laporannya, tim ilmuwan menyajikan sebuah model terbaru buatan mereka untuk bisa menjelaskan hasil yang mereka dapatkan. Laporan tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal Nature Astronomy pada 9 Desember 2019, dengan Mattias Ek sebagai penulis utama.

Dari model yang mereka buat terungkap fakta bahwa walaupun hampir semua materi di tata surya terbentuk dari debu bintang, tetapi hanya satu jenis bintang yang berkontribusi paling banyak untuk planet Bumi: bintang merah raksasa atau bintang cabang raksasa asimtotik (asymptotic giant branch – AGB).

Jenis bintang ini mempunyai massa yang sama dengan matahari, yang juga nantinya akan berubah menjadi bintang merah raksasa ketika bahan bakar hidrogennya telah habis. Matahari kita juga nantinya akan berubah menjadi salah satu dari bintang-bintang tersebut dalam 4-5 miliar tahun kedepan.

Ketika bintang-bintang telah mencapai tahapan akhir hidupnya, mereka melakukan proses sintesis terhadap unsur-unsur di dalamnya, proses ini dinamakan proses-s, atau proses penangkapan neutron lambat, menghasilkan unsur-unsur seperti palladium, dan juga ruthenium dan molybdenum.



Dan yang menarik untuk dicatat, proses ini mensintesis unsur-unsur tersebut dari nukleus unsur besi untuk kemudian dihasilkan unsur-unsur tersebut, dan nuklei besi sendiri terbentuk dari ledakan supernova dari bintang-bintang generasi sebelumnya.

“Palladium bersifat sedikit kurang stabil dibandingkan unsur-unsur lainnya, sebagian kecil dari unsur tersebut berubah wujud menjadi debu disekitar bintang-bintang, sehingga hanya didapatkan sedikit palladium dari debu bintang di dalam batuan meteorit yang kami analisa,” kata Ek.

Ada banyak sekali kandungan material bintang-bintang merah raksasa ditemukan di bumi dibandingkan pada planet Mars, atau pada asteroid-asteroid semacam asteroid Vesta dan juga benda-benda langit lainnya di seluruh penjuru tata surya. Pada bagian lainnya di luar bumi, lebih banyak terkandung material yang berasal dari ledakan supernova. Tim peneliti mengatakan bahwa mereka bisa menjelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Ketika sistem tata surya kita bari terbentuk, debu dari bintang-bintang merah raksasa tidak mudah menguap atau rusak oleh matahari dibandingkan dengan debu supernovae. Hal ini yang menyebabkan pada planet Bumi terkandung lebih banyak materi yang berasal dari bintang-bintang merah dibanding dari bintang lainnya.(NASA).

“Ketika planet-planet terbentuk, temperatur di sekitar matahari sangatlah tinggi,” kata Schönbächler.

Beberapa butiran debu bintang kurang stabil dibandingkan lainnya, termasuk juga yang mengandung butiran es di dalamnya. 

Tipe debu bintang ini mudah sekali hancur ketika berada di bagian dalam sistem tata surya, berjarak dekat dengan matahari. Tetapi debu bintang dari bintang-bintang merah raksasa lebih stabil dan juga tidak mudah rusak karena matahari. Sehingga lebih terkonsentrasi pada area dekat matahari.



Para peneliti juga mengatakan bahwa debu dari ledakan supernova juga memiliki kecenderungan untuk menguap lebih cepat karena ukurannya yang lebih kecil. Sehingga hanya sedikit materi dari ledakan tersebut dapat ditemukan di bagian dalam tata surya dan juga di dalam planet Bumi.

“Hal ini bisa menjelaskan mengapa di planet bumi memiliki kandungan debu bintang merah raksasa paling banyak dibandingkan benda-benda langit lainnya di sistem tata surya kita,” kata Schönbächler.