Hoax alias kabar bohong telah menjadi masalah global yang meresahkan. Tiga mahasiswa ITB mencoba ikut menanggulangi penyebarannya.”Harap kesediaan Anda untuk bantu menangkap mereka dengan cepat jika Anda menemui orang-orang yang berkunjung di depan pintu Anda dan mereka mengatakan mereka berasal dari Fakultas Kedokteran untuk bantu mengukur gula darah secara gratis.”
Pesan seperti itu masuk dari seorang anggota sebuah WhatsApp Group di Bandung, Sabtu, 6 Mei 2017. Berjudul “Waspada Dokter Palsu PKI”, isi pesan itu langsung menuai tanggapan. “Hoax,” timpal beberapa anggota lain di grup itu bergantian.
Lain hari, hoax alias kabar palsu berbeda berdatangan lagi. Produksi dan distribusinya terus masif, hingga Facebook misalnya, bekerjasama dengan berbagai pihak untuk menangkal hoax. Pemicunya saat pemilihan Presiden Amerika Serikat yang kebanjiran hoax, hingga pemerintah Jerman pun menganggapnya sebagai ancaman berbahaya.
Trio mahasiswa Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung angkatan 2013, juga berupaya mengatasi masalah global itu.
Berangkat dari pengalaman pribadi, Feryandi Nurdiantoro dan Tifani Warnita dari Teknik Informatika, dan Adinda Budi Kusuma Putra dari program studi Sistem dan Teknologi Informasi, bergerak membuat aplikasi yang dinamakan HoaxAnalyzer.
Sistem rancangan Tim Cimol-ITB itu berfungsi untuk memeriksa dan menilai apakah suatu kabar itu benar atau bohong. Kabar berjudul “Waspada Dokter Palsu PKI” tersebut misalnya, bisa dicek langsung di websitehttp://hoaxanalyzer.com.
Caranya gampang. Pengguna cukup memasukkan salinan teks informasi tersebut secara utuh atau cukup sebagian saja ke kolom mesin penganalisis. Tunggu beberapa detik, voila! Mesin analisis menyatakan 70 persen lebih kabar itu hoax.
Sukses di Imagine Cup 2017
Berkat HoaxAnalyzer, Tim Cimol menjadi kampiun di ajang Imagine Cup 2017 tingkat nasional 6 April lalu. Saat itu mereka menyisihkan empat tim finalis lain. Kesuksesan sebagai tim juara itu berlanjut ke wilayah regional Asia Tenggara yang babak finalnya berlangsung 23-26 April di Filipina.
“Saya kira yang membuat kami dapat lolos adalah karena tema yang kami angkat sedang hangat. Teknologi ini sangat dibutuhkan karena banyak orang sudah gerah dengan mudahnya penyebaran berita hoax, serta kelayakan pengembangan yang luas pada aplikasi kami,” kata Feryandi.
Saat itu Tim Cimol-ITB mengalahkan Tim HeartSound dari Singapura yang harus puas menjadi juara kedua, juga Tim Opticode asal Filipina. Tim mahasiswa Singapura itu membuat perangkat pakai untuk memantau detak jantung pengguna dan memberi tanda ke dokter jika terjadi kondisi abnormal untuk segera ditolong.
Karya mahasiswa tim tuan rumah acara, juga terhitung istimewa. Tim Opticode membuat aplikasi canggih di telepon seluler pintar khusus bagi tuna netra. Lewat pengarahan kamera telefon ke benda di sekitarnya, identifikasi obyek itu kemudian disuarakan aplikasi lewat pelantang suara. Tanpa harus meraba, pengguna tuna netra bisa mengenali benda di sekitarnya.
Ketiga tim tersebut akan berangkat ke putaran final dunia yang menghimpun total 50 tim mahasiswa dari penjuru Bumi. Juara pertama akan meraih hadiah utama uang senilai USD100 ribu (Rp1,33 miliar), bimbingan dari Microsoft, serta jalan sukses meraih pasar bisnis.
Developer Experience Lead Microsoft Asia Pacific, Dave Miller, seperti dimuat laman resmi perusahaannya mengatakan, selama 15 tahun terakhir Imagine Cup telah menjadi platform untuk membantu siswa mewujudkan impian mereka menjadi kenyataan.
“Finalis regional tahun ini membawa gagasan hebat ke panggung, dan kami melihat banyak potensi dalam proyek-proyek ini untuk memecahkan beberapa tantangan terbesar hari ini di seluruh wilayah,” katanya.
Sistem aplikasi Hoax Analyzer garapan Tim Cimol-ITB secara umum punya dua pekerjaan utama. Pertama, kata Tifani, melakukan esktraksi query atau pertanyaan instan. Kedua, sistem mencari referensi dan pengklasifikasian apakah informasi yang diterima termasuk hoax atau bukan.
Dari teks yang dimasukkan pengguna ke mesin analisis, seperti headline atau artikel panjang, akan diekstraksi terlebih dahulu informasi utamanya untuk menjadi query bagi search engine. Apabila berbentuk headline atau kalimat pendek, dapat langsung digunakan sebagai query. Tifani menyarankan pengguna agar memasukkan artikel utuh.
Setelah mendapat artikel, mesin yang dilengkapi aplikasi POS (part of speech) tag membuat kelas sintaktik (noun, proper noun, adjective, dan lain-lain) dari setiap kata dalam teks. Setelah itu, setiap kata diberi skor tertentu. Untuk bahasa Inggris, skor juga bisa didapatkan dari key phrase detection milik Azure Cognitive Service.
Dengan model machine learning yang telah dilatih sebelumnya untuk setiap kelas sintaktik yang digunakan, model yang dilatih dapat menentukan berapa banyak kata yang dibutuhkan untuk kelas sintaktik tersebut.
Sebagai contoh, terdapat artikel mengenai kematian aktor film Jackie Chan. Untuk proper noun, tim merancang hanya lima kata saja yang dapat diambil mesin sebagai kandidat yang sudah terurut. Hasilnya menjadi, Jackie, Chan, Lin, Feng, dan Jiao. Model yang dibangun akan dapat mengidentifikasi bahwa sistem hanya memerlukan dua kelas kata, yakni Jackie dan Chan.
Setelah dari setiap kelas sintaktik didapatkan jumlah kata yang dibutuhkan untuk membentuk query, hasil ekstraksi query diberikan ke proses selanjutnya, yakni klasifikasi hoax atau bukan. Menurut Tifani, query yang didapatkan dari tahap sebelumnya, kemudian dimasukkan ke dua buah mesin pencari yakni Bing dan Duckduckgo.
Dari setiap mesin pencari, kata Tifani, diambil artikel hingga 10 buah. Dari setiap artikel yang selayaknya sebagai referensi, kemudian diklasifikasi apakah artikel tersebut berpendapat bahwa query masukan merupakan hoax, fakta, tidak diketahui, atau tidak berkaitan dengan model machine learning yang telah dibangun.
Pengklasifikasian tersebut dilakukan berdasarkan kemunculan kata kunci, kedekatan query dengan artikel yang didapatkan, aktualitas artikel, tingkat kepercayaan pembuat artikel, dan lain sebagainya. Dari setiap kelas yang dihasilkan oleh artikel, akan dilakukan voting hingga didapatkan apakah masukan merupakan hoax, fakta, atau tidak diketahui.
Untuk masukan berupa gambar, hasilnya bisa keluar setelah fotonya disertai caption atau teks keterangan gambar. Aplikasi Optical Character Recognition (OCR) dari Azure Cognitive Service akan mengekstraksi gambar dengan teks itu, selanjutnya dilakukan proses yang kurang lebih sama seperti pada teks.
“Hanya terdapat sedikit perubahan pada bagian ekstraksi query untuk mengakomodasi hasil OCR yang mungkin salah,” kata mahasiswi kelahiran Bandung, 16 Mei 1995 itu. Intinya, cara kerja mesin itu mengikuti cara manusia memeriksa suatu informasi apakah hoax atau bukan.
Tim Cimol-ITB kini masih fokus pada pengecekan informasi berupa teks dan foto yang disertai keterangan tertulis. Informasi berupa rekaman video tidak termasuk untuk pengecekan.
“Untuk saat ini fokus kami adalah informasi berupa teks karena merupakan informasi yang paling mudah tersebar,” kata Feryandi.
Pada tampilan layar hasil analisis, terdapat referensi dan bentuk grafis lingkaran seperti roda atau donat. Warna hijau menandakan informasi itu benar (fact), merah berarti hoax, dan sebuah warna biru muda yang menyatakan informasi tidak diketahui mesin.
Simbol lingkaran itu, kata Feryandi, merupakan representasi probabilitas untuk masing-masing label yakni fact (fakta), hoax, dan unknown (tidak diketahui). Hasilnya berasal dari perhitungan mesin berdasarkan referensi. Namun begitu, tampilan hasil referensi kadang ada yang tidak terkait dengan isi informasi yang dimasukkan.
Menurut Feryandi, hal itu bisa terjadi karena ketidakakuratan aplikasi pada saat pengambilan kata penting dari informasi yang dimasukan sehingga referensi yang diperoleh tidak sesuai. Faktor lain penyebabnya yaitu keterbatasan data pada dua situs mesin pencari yang dipakai HoaxAnalayzer sebagai rujukan.
Masalah seperti itu coba mereka atasi dengan mendapatkan referensi atau pengetahuan lain. “Ke depannya kami berharap dapat menggunakan knowledge graph dan juga mungkin memanfaatkan fitur psikologis penulisan informasi untuk menganalisis” kata mahasiswa kelahiran Cilacap, 21 Oktober 1995 itu.
Jika ingin lebih memastikan hasilnya, pengguna dapat membaca dan memeriksa langsung ke referensi hasil sajian HoaxAnalyzer. Sekarang ini Tim Cimol-ITB sedang menyempurnakan aplikasi dan berfokus pada pengumpulan data serta peningkatan akurasi agar siap bersaing menjadi juara di putaran final dunia Imagine Cup 2017.
Sebelumnya, dua tim asal Indonesia pernah menorehkan sejarah dengan merebut gelar juara dunia Imagine Cup yang dihelat tahunan sejak 2003. Kedua tim juara itu berasal dari Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
Pertama Tim Solite Studio yang menduduki peringkat kedua Imagine Cup 2013 dengan gim berjudul Save the Hamster. Prestasi serupa, peringkat kedua, direbut Tim None Developers dengan gim Froggy and The Pesticide pada 2016.
Kiprah perdana Tim Cimol-ITB
Adinda Budi membentuk Tim Cimol-ITB pada Agustus 2016. Ia mengajak Tifani dan Feryandi untuk mengikuti lomba-lomba pembuatan aplikasi seperti Hackaton.
Nama Cimol yang mereka pakai bukan berasal dari jajanan makanan ringan yang populer di Bandung. Nama itu singkatan dari dua kesukaan Tifani, yaitu kucing dan pergi ke salah satu mal di Bandung.
Selama terbentuk, niat Tim Cimol-ITB selalu kandas mendaftar lomba karena kesibukan masing-masing. Imagine Cup 2017 menjadi kiprah perdana mereka.
Ide HoaxAnalyzer dilatari pengalaman mereka bersama terkait hoax. Adinda Budi, misalnya, mengaku risih karena hoax membuat pertengkaran dan permusuhan.
“Banyaknya hoax di social media tersebut membuat kami malas untuk menggunakan social media bahkan sampai unfriend atau bahkan memblok beberapa teman kami di social media,” kata mahasiswa kelahiran Purwakarta, 20 Januari 1996 itu, Sabtu (6/5/2017).
Selain itu, mereka punya pengalaman menegangkan. Pada Januari 2016, mereka bertiga bersama rekan lainnya dari Himpunan Mahasiswa Informatika sedang melakukan kunjungan ke beberapa perusahaan di Jakarta. Hari itu tepat terjadi peledakan bom di Sarinah (14/1/2016).
“Kami panik dan takut saat melihat rumor-rumor di aplikasi chatting dan social media mengenai adanya teror lanjutan di beberapa daerah di Jakarta, termasuk daerah dekat kantor yang akan kami kunjungi,” kata dia. Lanjutan kunjungan hari itu terpaksa ditunda dan rombongan pun akhirnya memutar balik ke Bandung.
Serangkaian kejadian itu kemudian menjadi ide ketika mereka mendapat informasi soal Imagine Cup 2017 Januari lalu. Kompetisi tahunan dari Microsoft tersebut mengadu inovasi mahasiswa dan pelajar sedunia dengan seleksi per negara, wilayah benua, hingga para juara bertarung di final dunia.
Setelah mendaftar, mereka menyiapkan karya di sela kuota waktu yang terhitung sempit. Sebagai mahasiswa semester akhir, waktu kuliah mereka memang telah berkurang. Namun ada tugas lain yang menyita waktu serta perhatian, yaitu skripsi.
Tifani terutama, harus mengebut pengerjaan skripsi karena harus segera lulus dan telah mendapatkan beasiswa kuliah lanjutan di luar negeri. Dua rekan lainnya masih bisa memprioritaskan persiapan lomba.
Langkah pertama yang mereka lakukan adalah membuat kuisioner untuk mengumpulkan data kebutuhan dari sisi pengguna aplikasi. Tim juga membuat rancangan awal aplikasi termasuk memikirkan algoritma dan cara kerja sistemnya, rancangan basis data, tampilan, dan alur kerja aplikasi.
Tantangan pertama Tim Cimol-ITB yaitu sedikitnya referensi dan hasil penelitian mengenai hoax. “Mencari data hoax pun tidak semudah yang dibayangkan,” kata Adinda.
Cara menyiasatinya, mereka rajin berdiskusi dengan dosen pembimbing tim, Ayu Purwarianti, dan melakukan banyak eksperimen. Untuk menyiasati pencarian data, mereka terlebih dulu membuat program untuk mendapatkan data berita atau artikel hoax dari beberapa situs seperti snopes.com.
Seluruh konsep yang mereka gunakan dalam pengembangan aplikasi HoaxAnalyzer telah mereka peroleh selama kuliah. Metodenya mereka dapatkan ketika bereksperimen untuk lomba. Sedangkan untuk kemampuan presentasi dan bisnis, mereka harus belajar sendiri dan bertanya kepada beberapa orang yang lebih ahli.
“Kemampuan seperti itu tidak diajarkan di kelas,” ujar Adinda.
Tim Cimol-ITB mengaku hidup mereka berubah setelah mendapatkan pengalaman membuat aplikasi dan belajar hal baru lainnya. Mereka tidak pernah membayangkan bisa mendapat juara, berbicara di depan banyak orang dengan menggunakan bahasa Inggris di luar negeri, mendapat banyak kenalan baru dari berbagai negara.
Termasuk juga kesempatan jalan-jalan gratis ke luar negeri, berdiskusi dengan berbagai tokoh penting di negeri ini, dan membawa nama Indonesia di pentas dunia.
“Padahal dari segi persiapan, kami tidaklah lebih baik dari finalis lain yang telah mengembangkan aplikasinya sejak lama,” katanya.
Mengembangkan aplikasi selama tiga bulan sebelum lomba tingkat nasional dimulai, mereka menghabiskan malam untuk merancang dan belajar bersama. Termasuk belajar memahami sesama anggota tim karena konflik juga kerap muncul.
Dari sekian pengalaman baru mereka itu, ada juga momen panik saat dewan juri mengumumkan Tim Cimol-ITB menjadi semifinalis Imagine Cup Indonesia 2017. “Karena pada saat itu kami baru membuat rancangan aplikasi, belum mulai coding dan mengimplementasikan,” ujar Adinda.
Namun mereka kemudian mendapat banyak bantuan dari dosen pembimbing mereka, Ayu Purwarianti, dan rekan-rekan kuliah. Ayu ternyata mengembangkan teknologi yang juga digunakan HoaxAnalyzer untuk memproses teks Bahasa Indonesia. Beberapa dosen juga memberikan dukungan berupa saran dan bimbingan diantaranya tentang kebutuhan server, dan optimasi algoritma.
Aplikasi HoaxAnalyzer tersebut bukan tugas akhir kuliah mereka bertiga. “Kami memiliki proyek tugas akhir masing-masing yang tidak terkait dengan HoaxAnalyzer,” kata Adinda.
Saat lomba, Tim Cimol-ITB juga mendapat cukup banyak masukan dari dewan juri. Ada yang mewanti-wanti agar mereka lebih berhati-hati dalam menyajikan hasil aplikasi karena orang bisa salah paham, atau menjadikan aplikasi mereka sebagai penyebaran hoax baru.
Saran lain untuk menggunakan aplikasi Deep Learning, Knowledge Graph, dan teknologi lain masih mereka pelajari.
Bagi Feryandi, tim memikul tanggung jawab yang sangat besar. “Jika aplikasi kami memberikan analisis yang salah, bisa jadi berakibat sangat buruk,” kata dia.
Karena itu, mereka belum berani terang-terangan menyebarkan aplikasi mereka ke publik. Sistem yang belum sempurna membuat akurasi hasil untuk beberapa informasi masih sangat kurang. Namun di sisi lain, mereka senang karena telah sedikit berkontribusi ke masyarakat.
“Semoga dapat menginspirasi developer lain untuk membantu kami memerangi permasalahan hoax ini,” kata dia.