BAGIKAN
(Engin Akyurt/ Unsplash)

Di masa pandemi ini, setiap orang memiliki tanggung jawab yang sama untuk memperlambat penyebaran penyakit. Sekecil apapun tindakan yang kita lakukan akan cukup berarti. Termasuk juga menghentikan berbagai misinformasi yang bertebaran di dunia maya tentang penyakit baru ini, berupa berita palsu, rumor dan fakta yang bercampur aduk. Organisasi Kesehatan dunia, WHO, menyebut fenomena ini dengan istilah infodemi.  

Sebuah riset tentang propaganda media sosial menunjukan bahwa perilaku bystander effect – di mana seseorang memilih hanya menjadi pengamat pada situasi yang membutuhkan pertolongan, dan hanya menunggu orang lain bertindak – menyuburkan penyebaran berita palsu. Siapapun yang memiliki akses pada internet bisa berkontribusi untuk melawan tersebarnya berita-berita bohong.

Menurut WHO, infodemi yang berkenaan dengan COVID-19 sama bahayanya dengan virus itu sendiri. Beberapa informasi palsu tentang pengobatan penyakit ini, seperti dengan mengkonsumsi bawang putih, meminum air hangat dengan irisan jeruk lemon, atau minuman beralkohol yang telah dimodifikasi, tentunya bisa mengganggu usaha kita dalam melawan penyakit ini.

Begitu juga dengan beberapa teori konspirasi yang berkembang yang menuduh China dengan sengaja mengembangkan virus ini, menuduh menara seluler 5G sebagai penyebar penyakit, atau menuduh Bill Gates dengan sengaja menciptakan epidemi ini untuk menjual vaksin buatannya, dan masih banyak lagi.

Banyaknya rumor, mitos dan penyampaian fakta yang berlebihan memicu timbulnya “xenophobia” atau phobia terhadap orang asing baik secara online maupun offline. Diskriminasi dan penolakan pada orang-orang keturunan China atau berasal dari Asia Timur akibat rumor epidemi ini telah terjadi di beberapa negara. Kelompok-kelompok religius, minoritas dan elit turut dipersalahkan secara online atas penyebaran penyakit ini.

Para pengguna internet yang membagikan meme, video atau foto yang mengolok-olok virus ini, walaupun mungkin dimaksudkan untuk bercanda, berpotensi pula ikut menyebarkan misinformasi tentang virus. Perilaku yang memanfaatkan kepanikan dan kebingungan orang-orang bisa sangat membahayakan. Masyarakat tidak tahu lagi siapa yang akan dipercaya dan mereka menjadi rentan untuk dimanipulasi dan menjadi sasaran pelaku kejahatan siber.

Sikap pemerintah China turut berperan pada berkembangnya misinformasi ini, begitu juga dengan sikap pemerintah negara-negara barat. Kanselir Jerman, Angela Merkel pernah mempertanyakan pemerintah China tentang asal-usul virus dan apa yang sebenarnya terjadi China ketika awal pandemi berlangsung. Dan walaupun Beijing mengaku tidak menyembunyikan informasi apapun, menghilangnya orang-orang yang pertama kali melaporkan tentang virus corona di China memancing timbulnya banyak spekulasi.

Beberapa langkah telah dilakukan di beberapa negara untuk melawan beredarnya berita hoax. Pemerintah di beberapa negara Asia, tanpa ragu menghukum para pelaku penyebar infodemi COVID-19.

Di Quebec, Kanada, disediakan layanan untuk memeriksa secara cepat yang dinamakan Rumour Detector (detektor rumor) untuk publik. WHO memiliki sebuah jaringan bernama EPI-WIN yang melacak berbagai misinformasi tentang COVID-19 dalam beberapa bahasa. WHO juga meminta beberapa perusahaan teknologi terkemuka untuk membantu menangkal berita-berita hoax dan menampilkan informasi hanya dari sumber-sumber yang dipercaya.

Google telah menghapus berbagai informasi menyesatkan tentang COVID-19 dari YouTube, Google Maps, dan pada developer platform di google play dan juga dalam bentuk iklan.

Twitter juga ikut berpartisipasi dengan memverifikasi akun kredibel sebagai sumber informasi tentang COVID-19 dan memonitor perbincangan yang terjadi untuk memastikan bahwa dengan memasukkan kata kunci tentang virus ini, akan didapatkan informasi yang bisa dipercaya.

WHO juga meluncurkan program “health alert” di aplikasi whatsapp dan chatbot pada Facebook Messenger untuk memberikan informasi yang akurat tentang virus corona.

Infodemi adalah ancaman nyata seperti juga COVID-19. Seperti halnya ketika menghadapi virus, kita juga harus melakukan tindakan pencegahan untuk melindungi diri kita dan orang-orang di sekitar kita dari paparan informasi hoax. Jika tidak dihentikan dengan cepat, informasi hoax yang disebarkan melalui media sosial akan dengan cepat menjadi viral dan mempengaruhi banyak orang.

Sebuah virus yang tidak terlihat, yang terkadang tidak menunjukkan gejala apapun, sangat sulit untuk dikendalikan. Melakukan physical distancing, menjaga kebersihan diri dan memakai masker adalah langkah terbaik dalam meminimalisir penyebaran COVID-19. Selalu waspada adalah langkah yang tepat untuk memberantas informasi hoax tentang penyakit ini.

Dibawah ini adalah lima langkah yang bisa anda lakukan untuk mencegah penyebaran informasi hoax:

  1. Selalu kritis ketika mendapatkan informasi dari media sosial
  2. Jangan biarkan informasi hoax tetap berada di jaringan sosial media anda. Anda bisa meminta dengan sopan kepada orang yang menyebarkan informasi tersebut untuk menghapusnya.
  3. Laporkan informasi hoax pada administrator platform.
  4. Jika anda ragu, luangkan waktu nada untuk memeriksa informasi yang anda temukan.
  5. Bersuaralah lebih kencang (dalam bentuk tulisan) di media sosial dalam menggaungkan informasi yang benar dari orang-orang yang menyebarkan informasi hoax.

Dengan langkah-langkah sederhana tersebut, dengan menyebarkan informasi dari sumber yang kredibel, setidaknya anda dan jaringan anda di media sosial akan terhindar dari paparan bahaya infodemi.

Para pengguna media sosial saat ini menghabiskan lebih banyak waktu secara online dari sebelumnya. Sangat penting bagi mereka untuk turut serta dalam menghentikan penyebaran informasi hoax tentang COVID-19 yang diperkirakan akan terus berkembang pesat di masa-masa pandemi ini.


The conversation