BAGIKAN
otak
David Clode/Unsplash

Salah satu jenis tumor otak yang disebut diffus glioma, merupakan kanker yang sulit disembuhkan dan sulit dihilangkan seluruhnya melalui operasi. Begitupun pengobatan standar seperti kemoterapi dan radioterapi sering kali gagal dalam memberikan hasilnya. Untuk pertama kalinya, sebuah vaksin berhasil diuji coba pada manusia untuk mengatasinya.

Hasilnya menunjukkan bahwa vaksin tersebut dinyatakan aman dan efektif untuk pengobatan kanker jenis ini. 82 persen dari pasien yang mengikuti uji coba, memilki kekebalan terhadap suatu protein yang terkait dengan kanker tertentu. Di mana pertumbuhan tumornya terhenti secara total hingga dua tahun ke depan.

Untungnya, glioma difus memiliki satu titik lemah utama, karena sel-selnya cenderung mengembangkan mutasi tertentu pada lebih dari 70 persen pasien. Mutasi ini memengaruhi enzim yang disebut isocitrate dehydrogenase 1 (IDH1), menyebabkannya berubah menjadi protein baru yang disebut neo-epitope.

Yang terpenting, IDH1 yang bermutasi ini (neo-epitope), hanya ditemukan pada glioma namun tidak terdapat pada jaringan sehat. Ini menandakan bahwa sistem kekebalan tubuh mengenalinya sebagai benda asing, sehingga pada tahap selanjutnya perlu untuk membuat kekebalan tubuh agar senantiasa mengingatnya.

Oleh karena itu, penulis penelitian berusaha mengembangkan suatu vaksin untuk memicu pembentukan suatu kekebalan tubuh yang dapat mencari dan menghancurkan protein yang bermutasi ini (neo-epitope).

“Ide kami adalah untuk mendukung sistem kekebalan pasien dan menggunakan vaksin sebagai cara yang ditargetkan untuk mengingatkannya pada neo-epitope tumor tertentu,” jelas penulis studi Michael Platten dalam sebuah pernyataan.

Sebelum melakukan uji cobanya pada manusia, tim telah berhasil mensintesis protein IDH1 yang bermutasi tersebut, dan mengujinya pada tikus. Mereka memvaksinasi tikus dengan sukses dan menghentikan perkembangan tumor yang bermutasi IDH-1.

Para peneliti menjelaskan bagaimana mereka memberikan vaksin mereka kepada 33 pasien dengan glioma bermutasi IDH1, sebagai bagian dari percobaan Tahap I. Semua peserta menerima vaksin bersamaan dengan pengobatan kanker standar, dan tidak ada yang mengalami efek samping sebagai akibat dari partisipasi mereka dalam penelitian ini.

Respon imun yang diinduksi vaksin terlihat pada 93,3 persen pasien, yang mengembangkan sejumlah besar sel T (kekebalan tubuh) dengan reseptor yang merespon secara spesifik terhadap IDH1 yang bermutasi. Pada kebanyakan partisipan, sel-sel kekebalan ini menyerang tumor otak, menyebabkannya membengkak.

Namun, 84 persen pasien bertahan hidup selama tiga tahun setelah pengobatan, di mana 64 persennya tidak mengalami pertumbuhan tumor selama periode tersebut. Di antara mereka yang mengembangkan respons kekebalan, 82 persen pertumbuhan tumornya terthentu total selama dua tahun setelah pengobatan.

Platten menegaskan bahwa uji coba plasebo terkontrol yang lebih besar akan diperlukan sebelum kesimpulan yang kokoh ditentukna, meskipun dia dan rekan-rekannya sangat didorong oleh temuan mereka.

“Keamanan dan imunogenisitas vaksin tersebut begitu meyakinkan sehingga kami terus mengupayakan konsep vaksin pada studi lanjutan tahap I,” kata Platten.

Studi kedua ini akan menelaah sejauh mana vaksin IDH1 yang dikombinasikan dengan suatu imunoterapi, yang umumnya dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Menurut Platten, ini dapat memperkuat respons kekebalan tubuh terhadap vaksin, sehingga meningkatkan kemampuan sel darah putih untuk menghancurkan glioma di otak.

Hasil penelitian ini telah diterbitkan di jurnal Nature.