BAGIKAN
larva
(Pixabay)

Salah satu spesies ngengat bisa berperilaku untuk melahap sesamanya secara brutal dalam kondisi tertentu. Namun jika terdapat ruang yang cukup bagi mereka untuk saling mengenal, perilaku kanibal ini tidak akan terjadi. Menurut para peneliti, prinsip evolusi ini dapat diterapkan untuk mempelajari spesies apa pun, termasuk manusia.

Dikenal sebagai ngengat makanan India (Plodia interpunctella), ngengat dapur ini biasanya merupakan vegetarian yang rakus. Saat masih sebagai ulat larva, mereka gemar memakan tepung, sereal, nasi, dan makanan lainnya. Namun, jika tidak ada nutrisi yang mencukupi, atau jika terlalu banyak ngengat dalam inangnya dengan keterpishan tertentu, larva ini akan saling memakan.

Bagaimanapun juga perilaku tersebut adalah sebuah statregi untuk bertahan hidup. Tetapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa kanibalisme tidak sepenuhnya melekat pada spesies ini. Dalam kondisi yang lebih bersahabat, serangga ini bisa menjadi peramah.

Dalam percobaanya, para peneliti menciptakan suatu sistem di mana ulat-ulat ngengat dibiakkan dan memberikan makanan dengan kelengketan yang berbeda-beda. Mereka mengatur jarak di antara lima populasi ulat ngengat sehingga interaksinya lebih sempit. Mereka menemukan kondisi tersebut menyebabkan kanibalisme jauh lebih sedikit.

“Keluarga yang sangat kanibal tidak berhasil dalam sistem tersebut,” kata ahli biologi Volker Rudolf dari Rice University. “Keluarga yang kurang kanibal memiliki kematian yang jauh lebih sedikit dan menghasilkan lebih banyak keturunan.”

Rudolf mengatakan bahwa peningkatan interaksi lokal menumpuk penghalang terhadap evolusi perilaku egois seperti kanibalisme. Saat interaksi lokal meningkat, begitu pula tekanan selektif terhadap perilaku egois – sehingga ulat ngengat lebih altruisme. Semakin dekat sebuah unit keluarga, semakin kecil kemungkinan mereka untuk membunuh satu sama lainnya.

Temuan ini mendukung teori yang belum teruji di balik evolusi perilaku sosial. Sebuah tim peneliti – termasuk Rudolf dan penulis utama studi ngengat, Mike Boots, seorang ahli biologi di University of California, Berkeley – menyarankan bahwa ketika hewan lebih banyak berinteraksi, laju kanibalisme menurun. Hal tersebut karena kemungkinan bertemu dan memakan kerabat secara statistik lebih mungkin terjadi di kelompok yang lebih padat, dan pada akhirnya, itu akan merugikan.

(Rudolf/Rice University)

Kandang tertutup tempat ngengat dibesarkan termasuk makanan yang lengket (atas) dan makanan yang kurang lengket (bawah).

Lima belas betina dewasa ditempatkan di beberapa kandang untuk bertelur. Ngengat bertelur dalam makanan, dan larva ulat hidup di dalam makanan sampai menjadi kepompong. Para peneliti memutuskan untuk membatasi kemampuan larva untuk menyebar dengan membuat lima jenis makanan dengan kekentalan yang berbeda namun nutrisinya sama.

Makanan yang lebih kental akan membuat kesulitan pergerakan, sehingga ulat-ulat tersebut lebih terkonsentrasi dan lebih banyak interaksinya. Sementara makanan yang kurang kental atau lengket, akan memudahkan pergerakan ulat untuk menyebar dan menjauh dari yang lainnya.

Setelah 10 generasi, peneliti membandingkan laju kanibalisme pada setiap kelompok. Dalam kasus di mana penyebaran dibatasi – makanan yang lebih lengket, perilaku kanibalisme yang sangat egois menurun secara signifikan dari waktu ke waktu.

“Karena mereka bertelur dalam kelompok, mereka lebih cenderung tinggal dalam kelompok keluarga kecil tersebut dalam sebuah makanan lengket yang membatasi seberapa cepat mereka dapat bergerak,” kata Rudolf.

“Ini memaksa lebih banyak interaksi lokal, yang, dalam sistem kami, berarti lebih banyak interaksi dengan saudara kandung. Itulah yang menurut kami mendorong perubahan dalam kanibalisme ini.”

Dalam skenario ini, tampaknya kerugian kanibalisme lebih besar daripada manfaatnya. Ngengat lain dapat mengurangi persaingan dan memperoleh makanan, tetapi di tempat yang sempit kemungkinan ulat akan memakan saudaranya. Kerabat yang melahap dapat merusak kelanjutan gen-bersama mereka jika itu memungkinkan.

Seiring waktu, ngengat dengan dorongan yang lebih kooperatif adalah yang bertahan dalam makanan yang lebih lengket. Para peneliti mengatakan bahwa hasil temuan mereka menyiratkan potensi besar bagi alam untuk memilih melawan perilaku egois.

Seleksi alam sering digambarkan sebagai kekuatan yang pada dasarnya egois, tetapi ini tidak berarti tidak ada manfaat bagi perilaku kooperatif dalam kondisi tertentu. Beberapa gejala ini telah terlihat pada jamur dan bakteri ketika struktur spasialnya diubah. Ada juga beberapa bukti parasit kurang ganas bagi inang mereka ketika peluang penyebaran terbatas. Situasi serupa bahkan bisa terjadi di antara manusia.

“Dalam masyarakat atau budaya yang hidup dalam kelompok keluarga besar di antara kerabat dekat, misalnya, Anda mungkin berharap untuk melihat perilaku yang kurang egois, rata-rata, daripada di masyarakat atau budaya di mana orang lebih terisolasi dari keluarga mereka dan lebih cenderung dikelilingi oleh orang asing karena mereka harus sering pindah untuk pekerjaan atau alasan lain,” jelas Rudolf.

“Alangkah baiknya mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kekuatan pendorong dan dapat menjelaskan lebih banyak variasi yang kami lihat,” katanya.

“Seperti, mengapa beberapa spesies sangat kanibal? Dan bahkan dalam spesies yang sama, mengapa beberapa populasi jauh lebih kanibal daripada yang lain. Saya tidak berpikir itu akan menjadi satu jawaban tunggal. Tapi adakah prinsip dasar yang bisa kita lakukan? keluar dan menguji? Apakah super spesifik untuk setiap sistem, atau adakah aturan yang lebih umum?”

Penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal  Ecology Letters.