Ukuran dari suatu objek atau planet berbatu, mungkin memengaruhi ketersediaan air yang mencair di permukaan planet tersebut secara terus-menerus. Dan pada akhirnya memungkinkan untuk memunculkan suatu lehidupan. Sepertinya, hal seperti itulah yang jiga telah terjadi pada planet Mars, menurut para peneliti.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa Mars pernah memilki air yang berlimpah, bahkan bisa melebihi Bumi kandungan airnya. Dari berbagai gambar permukaan Mars yang curam dan berliku, memperlihatkan jejak-jejak dari sungai dan danau purba. Kemana perginya air tersebut? belum bisa dipastikan. Para peneliti mengajukan banyak kemungkinan penjelasan, termasuk melemahnya medan magnet Mars yang bisa mengakibatkan hilangnya atmosfer yang tebal.
Untuk melacak kepergian air di Mars, para peneliti menggunakan isotop kalium sebagai salah satu elemen volatil – zat yang mudah menguap – sebagaimana air. Sehingga diharapkan dapat untuk memperkirakan keberadaan, distribusi, dan kelimpahan elemen volatil pada objek dan planet lainnya yang berbeda. Kemudian mengukur komposisi isotop kalium dari 20 meteorit Mars yang tekah dikonfirmasi sebelumnya, yang dipilih untuk mewakili komposisi silikat massal di planet merah tersebut.
Para peneliti menemukan bahwa Mars telah kehilangan lebih banyak kalium daripada Bumi. Namun, masih mending jika dibandingkan dengan Bulan atau asteroid Vesta. Di mana kedua objek angkasa tersebut jauh lebih kecil dan lebih kering daripada Bumi dan Mars. Jadi ukuran dari suatu dunia mungkin menjadi kunci dalam kemampuannya untuk mempertahankan molekul-molekul tertentu seperti air, yang dapat membuat kehidupan berkembang.
“Nasib Mars sudah ditentukan sejak awal,” kata penulis senior Profesor Kun Wang dari Universitas Washington.
“Kemungkinan ada ambang batas pada persyaratan ukuran planet berbatu untuk mempertahankan cukup air untuk memungkinkan kelayakhunian dan lempeng tektonik, dengan massa melebihi Mars.”
Hubungan antara gravitasi sebuah objek dan jumlah zat volatil berimplikasi pada seberapa banyak kandungan air di Mars masa lalu.
“Tidak dapat disangkal bahwa dulu ada air yang mencair di permukaan Mars, tetapi seberapa banyak air yang pernah dimiliki Mars secara keseluruhan sulit diukur melalui penginderaan jauh dan studi penjelajah saja,” tambah Wang.
Volatilitas juga hilang karena seberapa banyak cahaya yang didapat oleh sebuah planet, di antara faktor-faktor lainnya. Para ilmuwan harus mempertimbangkan hal ini dan lebih banyak lagi ketika mempertimbangkan apakah Mars dapat (atau pernah) mendukung kehidupan dan seberapa besar kemungkinan planet ekstrasurya – dunia di luar Tata Surya – dapat dihuni.
“Studi ini menekankan bahwa ada rentang ukuran yang sangat terbatas bagi suatu planet untuk memiliki cukup air tetapi tidak terlalu banyak untuk mengembangkan lingkungan permukaan yang layak huni,” kata Klaus Mezger dari Center for Space and Habitability di University of Bern, Swiss, rekan penulis studi. “Hasil ini akan memandu para astronom dalam pencarian mereka untuk planet ekstrasurya yang dapat dihuni di tata surya lain.”
Wang sekarang berpikir bahwa, untuk planet yang berada dalam zona layak huni, ukuran planet mungkin harus lebih ditekankan dan dipertimbangkan secara rutin ketika memikirkan apakah sebuah planet ekstrasurya dapat mendukung kehidupan.
“Ukuran planet ekstrasurya adalah salah satu parameter yang paling mudah ditentukan,” kata Wang. “Berdasarkan ukuran dan massanya, kita sekarang tahu apakah sebuah planet ekstrasurya adalah kandidat untuk kehidupan, karena faktor penentu tingkat pertama untuk retensi volatil adalah ukuran.”
Hasil penelitian ini telah diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.