BAGIKAN
(James Baldwin/ unsplash)

Dengan pelatihan yang tepat dan juga motivasi, anjing mampu mendeteksi hingga 40 jenis bom, mengendus jejak obat terlarang, membantu melakukan aksi pencarian dan penyelamatan dan juga mengidentifikasi kanker usus besar hanya dari mengendus kentut kita. Kini, mereka bahkan dapat mengendus keberadaan virus SARS-Cov-2 dari keringat kita.

Melansir ScienceAlert, sebuah penelitian yang dilakukan di Perancis dan Lebanon berhasil menunjukkan enam ekor anjing yang terlatih mampu mengidentifikasi para pasien yang telah terinfeksi virus corona dengan mengendus bau mereka. Hasil penelitian mereka telah dipublikasikan dalam PLOS One.

Dalam waktu kurang dari satu hari, anjing-anjing terlatih ini mampu mengingat aroma yang menunjukkan seseorang terinfeksi virus corona. Dan dalam waktu beberapa minggu, anjing-anjing tersebut telah terlatih untuk bisa membedakan mana sample keringat yang berasal dari pasien COVID-19 bergejala, mana yang tidak.

Dan pada pengujian akhir, beberapa anjing mendapatkan nilai keberhasilan hingga 76 persen. Sedangkan anjing-anjing lainnya mendapatkan nilai hingga 100 persen. Penelitian ini masih terbatas dan hasilnya masih awal, tetapi bisa menunjukkan bahwa anjing yang terlatih merupakan cara yang cepat, andal dan murah untuk menyaring (bukan menguji) COVID-19.

“Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa anjing pelacak mampu membedakan antara sampel keringat dari individu dengan COVID-19 bergejala dan individual dengan COVID-19 tanpa gejala,” kata tulis para peneliti dalam laporan hasil penelitiannya.

Masih dibutuhkan penelitian lanjutan tentang hal ini, termasuk juga pengujian double blind, dan para peneliti dari Perancis merasa bahwa mereka memiliki banyak alasan untuk terus melanjutkan penelitian ini.

Jika penelitian lanjutan nantinya bisa menunjukkan bahwa anjing dapat mengendus aroma yang sensitif dan spesifik yang menunjukkan adanya infeksi COVID-19, otoritas negara mungkin bisa mempertimbangkan untuk mengunakan anjing pelacak yang terlatih untuk melakukan skrining awal pendeteksian virus, atau untuk melakukan pemeriksaan secara cepat pada sekelompok besar orang.

Dan saat ini sudah ada beberapa negara di dunia yang memanfaatkan anjing terlatih untuk melakukan skrining awal deteksi COVID-19, antara lain Chili, Argentina, Australia dan Belgia. Sebuah skema percontohan di Finlandia bahkan menunjukkan bahwa anjing-anjing terlatih di bandara Helsinki dapat mendeteksi COVID-19 hampir 100 persen.

Tetapi masih belum diketahui dengan pasti aroma apa yang tercium oleh anjing pada situasi seperti itu, para peneliti berhipotesis bahwa ketika virus SARS-CoV-2 menginfeksi sel-sel manusia, akan terurai ke dalam molekul-molekul tertentu di keringat, nafas, urin, air mata, saliva dan feses kita, menghasilkan senyawa organik volatil tertentu ( volatile organic compounds – VOC).

Ketika berada di kulit kita, senyawa VOC ini berkontribusi pada aroma tubuh kita. Dan inilah yang dicium oleh anjing untuk melacak adanya COVID-19. Dan faktanya, cara yang sama juga yang membuat anjing-anjing terlatih mampu mendeteksi beberapa jenis kanker.

Jika ini terdengar mustahil, pertimbangkan ini: manusia memiliki sekitar 6 juta reseptor olfaktori dan anjing memiliki hingga 300 juta reseptor olfaktori. Artinya, anjing dapat mengendus sebuah aroma dalam konsentrasi hingga satu per sejuta.

Penelitian tentang deteksi COVID-19 ini dilakukan di dua wilayah, di Paris dan Beirut. Secara keseluruhan, ada enam ekor anjing pelacak profesional yang dilibatkan dan 177 individual dari lima rumah sakit ( satu di Beirut) yang setuju untuk dilakukan swab keringat di area ketiak mereka.

Sekitar setengah dari pasien-pasien ini terkonfirmasi positif  COVID-19 bergejala, dan setengah pasien lainnya positif COVID-19 tanpa gejala dan negatif COVID-19.

Selama satu hingga tiga minggu, anjing-anjing pelacak dilatih untuk mengenali sebuah sampel yang menunjukkan COVID-19 positif. Ketika mereka telah mampu membedakannya, anjing-anjing tersebut kemudian diuji, dimana baik anjing dan pelatihnya tidak mengetahui dimana lokasi dari sampel positif.

Pada setiap sesi pelatihan, swab keringat diletakkan secara random di belakang tiga atau empat buah kerucut olfaktori, semuanya disajikan sekaligus. Dan anjing diminta untuk mengendus setiap sampel sebelum mereka menandai satu sampel yang diperkirakan adalah sampel positif COVID-19.

Dan hasil dari tes tersebut sangat mengesankan, tetapi masih ada beberapa keterbatasan. Ketika pelatih dan anjingnya sama sekali tidak mengetahui lokasi dari sampel positif, dan kemudian anjing berhasil menandai sampel yang tepat, pelatih diminta memberikan hadiah pada anjing mereka. Artinya penelitian ini adalah masih bersifat single blind.

Dan juga, kadangkala sampel swab positif COVID-19 digunakan hingga tiga kali pada satu ekor anjing, artinya anjing tersebut mungkin saja telah mengingat jawaban yang tepat.

Para peneliti tidak menemukan adanya perubahan pada tingkat keberhasilan ketika anjing diberikan sampel pertama kali, kedua dan ketiga kalinya. Faktanya, setengah dari anjing-anjing yang dilatih di Paris menunjukkan tingkat keberhasilan tertinggi ketika pertama kali diberikan sampel swab keringat.

Dan satu kelemahan lainnya adalah anjing-anjing tersebut diberikan semua sampel secara bersamaan, bukan berurutan. Artinya, kita tidak bisa mengetahui dengan pasti seberapa sensitif atau spesifik daya cium anjing-anjing tersebut pada setiap sampel.

Para peneliti menyadari bahwa hasil penelitian ini belum sempurna, tetapi mereka memberikan kemajuan penting untuk penelitian-penelitian sejenis lainnya yang dilakukan di manapun di seluruh dunia.

Walaupun jika nantinya terbukti anjing pelacak dapat mendeteksi COVID-19, mereka tidak berencana untuk menggantikan pengujian COVID-19 yang telah ada. Tetapi dengan membantu mendeteksi dalam skala besar dan cepat, anjing-anjig pelacak ini bisa menjadi cara baru dalam membantu mencegah terjadinya wabah di suatu wilayah, khususnya wilayah di dunia yang memiliki keterbatasan untuk mendapatkan akses alat pengujian atau dana untuk membelinya.