BAGIKAN
(Specna Arms/ Unsplash)

Angkatan bersenjata Perancis saat ini telah mendapatkan izin untuk mengembangkan prajurit yang dilengkapi dengan teknologi realitas tambahan (augmented soldiers) setelah kementrian angkatan bersenjata Perancis mengeluarkan laporan dari komite etik tentang masalah ini. 

Melansir CNN, laporan tersebut mempertimbangkan pemberian perawatan medis, penggunaan prostetik dan implan untuk meningkatkan “kapasitas fisik, kognitif, perseptif dan psikologis” dan memungkinkan tentara memiliki kemampuan untuk melacak lokasi atau terkoneksi dengan sistem persenjataan dan juga prajurit lainnya.

Kemungkinan lainnya yang menjadi pertimbangan dari komite etik angkatan bersenjata Perancis adalah perawatan medis untuk mencegah rasa sakit, stress dan kelelahan, dan obat-obatan yang akan meningkatkan daya tahan mental jika prajurit menjadi tahanan pihak musuh.

Komite tersebut mengatakan bahwa Perancis perlu mempertahankan “keunggulan operasional angkatan bersenjatanya dalam konteks strategis yang menantang, yang juga menghormati peraturan yang mengatur militer, hukum-hukum kemanusiaan dan nilai-nilai dasar dari masyarakat kita.”

Dan sebagai hasilnya, mereka melarang dilakukannya modifikasi yang akan mempengaruhi kemampuan prajurit dalam mengatur penggunaan kekuatan yang mereka miliki atau mempengaruhi rasa kemanusiaan mereka.

Pelarangan modifikasi lainnya adalah implan kognitif yang akan mempengaruhi kemampuan prajurit untuk mengambil keputusan sendiri atau perubahan yang mempengaruhi kemampuan reintegrasi prajurit pada kehidupan masyarakat sipil.

Menteri Angkatan bersenjata Perancis Florence Parly mengatakan bahwa penambahan yang bersifat invasif seperti implan tidak menjadi bagian dari rencana militer mereka saat ini.

“Tetapi kami harus menjelaskan bahwa tidak semua orang memiliki keraguan yang sama dengan kami dan kami harus bersiap diri akan saat itu,” kata Parly kepada CNN.

Tetapi Parly masih membuka kemungkinan adanya perubahan dari kebijakan tersebut dimasa depan.

“ini adalah sebuah opini yang tidak terbuat di atas batu dan akan secara berkala ditinjau kembali dengan melihat perkembangannya di masa depan,” kata Parly.

Komite etik pertahanan Perancis yang dibentuk pada akhir tahun 2019 lalu terdiri dari 18 orang yang berasal dari berbagai bidang. Tugas mereka adalah memberikan kejelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan etik yang timbul pada aplikasi inovasi sains dan teknologi di bidang militer.

Laporan komite etik ini menyusul hasil laporan dari John Ratcliffe, direktur intelijen nasional AS yang dimuat di Wall Street Journal tentang ancaman China terhadapa AS dan demokrasi dunia atas rencana teknologi militer mereka.

“Intelijen AS menemukan bahwa China telah melakukan pengujian manusia pada Angkatan bersenjata mereka untuk mengembangkan prajurit yang ditambahkan kemampuannya secara biologis,” demikian Ratcliff menuliskan.

“Tidak ada batasan etika dalam mengejar kekuasaan di Beijing.”

Menteri Luar Negeri China mengecam opini tersebut dan menyebut “beberapa politisi mereka yang berpihak pada AS” untuk berhenti membuat dan menyebarkan virus dan kebohongan politik.”

Di Tahun 2016, CNN melaporkan bahwa militer AS telah menghabiskan jutaan dolar untuk mengembangkan implan yang memungkinkan otak manusia untuk berkomunikasi langsung dengan komputer.

Badan penelitian Pentagon, Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA), berharap implan tersebut akan memungkinkan manusia untuk berinteraksi langsung dengan komputer yang diharapkan dapat berguna bagi orang-orang dengan disabilitas aural dan visual, seperti veteran yang terluka dalam pertempuran.

Teknologi militer telah berkembang dengan sangat cepat dalam beberapa tahun terakhir ini, dengan banyaknya inovasi baru yang diciptakan seperti “do-it-all goggles” yang dapat memonitor tanda-tanda vital prajurit dan juga menampilkan informasi pertempuran secara langsung, hingga “kulit buatan yang tidak terlihat”.

Produksi prajurit dengan kemampuan yang ditambahkan atau “prajurit super” mungkin lebih cepat dari yang kita perkirakan sebelumnya. Dan perdebatan tentang etis tidaknya penggunaan teknologi ini dalam militer akan semakin panas dalam beberapa tahun kedepan. Namun, karena banyak negara yang masih merahasiakan hasil riset militer mereka dalam mengembangkan prajurit dengan kemampuan “super”, kemungkinan kesepakatan unilateral akan sulit tercapai. 

Karena itu, jika memang ada negara yang telah mengirimkan “terminator” dalam pertempuran, mungkin kita tidak akan mengetahui informasi tersebut dalam beberapa waktu.