BAGIKAN
Markus Spiske / Unsplash

Saat ini dunia dituntut untuk segera melakukan mitigasi krisis iklim, walaupun banyak negara yang berkomitmen untuk bekerja sama dalam menangani masalah ini, namun masih enggan untuk melakukan upaya perbaikan dalam rangka penanganan masalah ini. Jika tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mengurangi eksploitasi dan penggunaan bahan baku fosil, komitmen negara-negara dunia pada persetujuan Paris dan berbagai tujuan nasional lainnya tidak akan tercapai.

Hanya dalam 10 tahun, PBB memperkirakan dunia akan memproduksi minyak bumi, gas dan batubara 50 persen lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk mempertahankan kenaikan temperatur bumi dibawah 2oC, dan akan memproduksi bahan baku fosil 120 persen lebih banyak dari yang kita butuhkan jika kita menginginkan kenaikan suhu dibawah 1,5oC.

“Walaupun banyak negara yang berkomitmen untuk mengurangi emisi gas buang di wilayahnya, tetapi mereka memberi sinyal yang berlawanan dalam hal produksi bahan bakar fosil.” demikian dinyatakan dalam laporan UNEP (United Nation Environment Program).



Dengan kata lain, negara yang sama yang berkomitmen untuk memerangi krisis iklim berperan pula dalam mempercepat krisis. Bahan bakar fosil ikut bertanggung jawab atas terbentuknya hampir 90 persen emisi karbondioksida, dan di tahun 2019, emisi global mencapai titik tertingginya.

Hari ini, bahan bakar alternatif baru dan murah telah banyak tersedia, tetapi hingga kini, 80 % pemakaian energi dunia masih berasal dari batu bara, minyak dan gas alam.

Dan ironisnya, banyak negara yang masih berusaha untuk menambah produksi bahan bakar fosil. Di tahun 2030, proyeksi nasional memperkirakan negara-negara berencana untuk memproduksi batu bara hingga 17 persen lebih banyak , minyak hingga 10 persen, dan gas hingga 5 persen dari yang kita butuhkan untuk mengurangi dampak krisis iklim global.

Dan dalam waktu antara sekarang hingga 2030, produksi minyak dan gas di AS saja direncanakan akan meningkat hingga 30 persen, dan banyak analis yang memperkirakan investasi bahan bakar fosil akan bertahan hingga tahun 2040.

Walaupun teknologi energi alternatif berkembang dengan cepat, masih tidak ada jaminan bahwa pemakainan bahan bakar fosil dan emisi rumah kaca akan berkurang. Dan berlanjutnya penambahan produksi bahan bakar fosil di seluruh dunia membuat ini menjadi semakin sulit.

Berbeda dengan laporan sebelumnya yang hanya berfokus pada emisi gas buang, kali ini UNEP membuat laporan analisa “kesenjangan produksi” 2019 dengan melakukan perbandingan antara rencana negara-negara dalam memproduksi bahan bakar fosil dengan kebutuhan aktual untuk memenuhi target kebutuhan produksi nasional.



Berdasarkan skenario laporan khusus dari Intergovernmental Panel on climate Change (IPCC), sepertinya apa yang akan kita rencanakan sekarang untuk masa depan akan menempatkan kita pada posisi yang berbahaya.

Ada sepuluh negara yang tercantum dalam laporan,yaitu: China, AS, Rusia, India, Australia, Indonesia, Kanada, Jerman, Norwegia dan Inggris, dimana keseluruhan rencana produksi bahan bakar fosil nasional negara-negara tersebut ikut andil dalam menaikkan suhu bumi hingga melampaui target kenaikan suhu bumi dibawah 2oC.

Di tahun 2030, negara-negara ini berencana untuk memproduksi batubara 150 persen lebih banyak dari yang batasan disebutkan dalam skenario kenaikan suhu 2oC.

(UNEP)

Terjadinya kesenjangan produksi bisa jadi karena tidak adanya peraturan yang membatasi produksi bahan bakar fosil. Dan pada kenyataannya, sekali infrastruktur bagi proyek ini terbangun, akan sulit untuk meninggalkan keuntungan yang akan didapatkan.

“Minyak dan gas juga menjadi penyumbang utama tingginya kadar karbon di atmosfer, dan negara-negara terus berinvestasi pada infrastruktur bahan bakar minyak, membuat kita tidak akan pernah lepas dari pemakaian minyak dan gas sebagai bahan bakar.

Dan dampak dari semakin besarnya kesenjangan produksi seiring dengan berjalannya waktu, jika negara-negara memproduksi minyak 43 persen lebih besar, dan produksi gas 47 persen lebih banyak di tahun 2040 dari batasan konsistensi dibawah 2 oC.”

Para pakar berpendapat, jika kita menginginkan target tercapai, ada baiknya untuk membiarkan cadangan bahan bakar fosil tetap berada di dalam perut bumi, kecuali nantinya ditemukan teknologi yang mampu menangkap karbon di atmosfer bumi.


Norwegia sebagai contoh, telah memotong pengeluaran untuk mencapai target ambisius emisi di tahun 2020 dengan mengurangi pengeluaran untuk memproduksi minyak. Dan kabarnya beberapa negara lain juga telah berkomitmen untuk melakukan hal yang sama.

“Memberi kepastian kepada generasi mendatang berarti semakin serius untuk menghilangkan secara bertahap eksploitasi dan pemakaian bahan bakar batu bara, minyak dan gas.” Christiana Figueres, pejabat di PBB untuk urusan iklim mengatakan pada Guardian.

“Negara-negara seperti Costa Rica, Spanyol, dan New Zealand telah memberikan reaksi positif dengan mengeluarkan kebijakan yang melarang tindakan eksplorasi dan ekstraksi bahan bakar fosil, negara-negara lainnya diharapkan juga mengikuti. Agar tidak ada waktu yang terbuang.”


Sponsored