BAGIKAN
Alicia Jones/Unsplash

Anjing telah hidup berdampingan dengan manusia selama kurang lebih 30,000 tahun. Sejak pertama kali anjing liar masuk ke pemukiman manusia dan kemudian melalui proses domestikasi hingga menjadi bagian dari lingkungan peradaban manusia. Hubungan panjang kedua spesies ini, manusia dan anjing telah menyebabkan perilaku anjing secara unik menjadi selaras dengan perilaku manusia. Hasil penelitian ilmuwan telah membuktikan bahwa anjing bisa memahami perasaan manusia. Mereka terbukti bisa membaca emosi manusia dengan membaca raut wajah kita, dan mereka bisa tahu apakah kita akan memberikan respon positif atau negatif.

Bahkan hewan yang merupakan keluarga dekat dari spesies manusia, yaitu simpanse, tidak bisa memahami manusia sebaik anjing. Yang kini menjadi pertanyaan adalah, apakah kita bisa memahami anjing sebaik mereka memahami kita?

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa semua itu tergantung pada dimana dan bagaimana kita dibesarkan, bukan sekedar karena kita pernah memiliki anjing.




Dan sebagian besar penelitian yang pernah dilakukan selalu berfokus untuk melihat bagaimana binatang peliharaan kita memahami kita, dan beberapa penelitian terbaru kini mengalihkan fokus penelitian ke arah sebaliknya, walaupun akhirnya menghasilkan teori yang beragam.

Menurut hipotesis domestikasi bersama, sebagai contoh, proses evolusi baik manusia maupun anjing terjadi sebagai hasil dari hubungan timbal balik antara kedua spesies yang terjadi secara turun menurun. Karena kedua spesies ini telah hidup berdampingan dan menjadi dekat seiring berjalannya waktu, memungkinkan anjing untuk mengembangkan kemampuan untuk memahami emosi manusia, demikian pula sebaliknya.

Menurut teori ini, walaupun para pemilik anjing mungkin bisa memahami binatang peliharaan mereka lebih baik dari lainnya, ternyata kemampuan ini sebenarnya dimiliki oleh semua manusia.




Walaupun ide itu dianggap menarik, tetapi hasil penelitian yang pernah dilakukan ternyata memberikan hasil yang bervariasi. Pada beberapa penelitian terlihat bahwa pada orang yang tidak berpengalaman dalam menangani anjing malah lebih baik dalam membaca emosi pada hewan tersebut, dan hasil penelitian lainnya memperlihatkan tidak ada perbedaan antara pemilik anjing dan bukan pemilik anjing.

Dan penelitian terbaru ini bisa mendukung secara parsial hipotesis tersebut. Beberapa jenis emosi yang ditunjukan oleh anjing, seperti marah dan senang, bisa dengan mudah dikenali oleh manusia sejak usia dini, tetapi para peneliti berargumen bahwa dibutuhkan pula pengalaman untuk bisa memiliki kemampuan ini.

Dengan kata lain, kemampuan manusia untuk memahami ekspresi wajah anjing bukan hanya dimiliki oleh manusia tertentu saja sebagai hasil dari proses evolusi, tetapi merupakan konsekuensi dari kultur lingkungan kita.

“Partisipan yang memiliki lebih banyak pengalaman dengan anjing secara keseluruhan lebih mahir dalam mengenali emosi anjing dari partisipan dengan pengalaman yang lebih sedikit dengan anjing,” penulis artikel menyimpulkan.



Penelitian ini melibatkan 89 orang dewasa dan 77 anak-anak, dengan rentang usia antara lima dan enam, dan terdiri dari orang Eropa muslim dan nonmuslim. Setiap partisipan dikelompokkan berdasarkan perilaku budaya mereka terhadap anjing, dan juga dari pengalaman mereka dalam memelihara anjing.

Mereka diperlihatkan beberapa buah foto dari anjing, simpanse dan manusia, dan kemudian mereka diminta untuk menebak emosi yang tergambar pada foto-foto tersebut, apakah menunjukkan perasaan bahagia, sedih, marah atau takut.

Dalam menebak emosi anjing, partisipan anak-anak bisa dengan mudah mengenalinya. Dan penemuan ini menunjukkan bahwa kemampuan ini telah dimiliki manusia dari usia sangat belia dan juga menunjukkan bahwa kemampuan ini dipengaruhi oleh usia manusia dan juga pengalaman, walaupun bukan pengalaman secara langsung.

Anak-anak yang ikut dalam penelitian, sebagai contoh, cukup terbatas dalam mengenali emosi dari anjing, walaupun mereka memiliki pengalaman dengan anjing atau secara kultural mereka dekat dengan anjing. Dan pada orang dewasa, pengalaman sangat menentukan kemampuan mereka.

Para peneliti menemukan bahwa partisipan yang tumbuh dalam kultur di Eropa yang berlaku positif terhadap anjing, dimana oleh mereka anjing selalu diprioritaskan dan juga telah menjadi bagian dari peradaban mereka, mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam mengenali emosi anjing, bahkan pada mereka yang tidak pernah memelihara anjing.



“Hasil riset ini patut diperhatikan,” kata Federica Amici, seorang ahli antropologi evolusi dari Max Planck institute, “karena hasil riset ini menunjukkan bahwa tidak diperlukan pengalaman langsung dengan anjing bagi manusia, untuk bisa memiliki kemampuan mengenali emosi anjing, tetapi lebih karena lingkungan kultural yang dikembangkan oleh manusia.”

Penelitian ini secara relatif berada pada cakupan kecil dan juga memiliki beberapa keterbatasan. Sebagai contoh, semua anjing yang terlibat dalam penelitian ini  memiliki wajah yang mirip dengan anjing ras gembala Jerman; Anak-anak yang berusia dibawah lima tahun tidak dilibatkan; hanya terdapat dua kelompok kultur yang dilibatkan dan partisipan ditanyakan tentang pengalaman mereka dengan anjing sebelum survey dilakukan, dimana hal bisa mempengaruhi apa yang akan mereka jawab nantinya.

Dan dari hasil riset pendahuluan ditemukan bahwa membaca emosi pada anjing tidak timbul secara spontan pada anak-anak, tetapi diperoleh dari lingkungan tempat tinggal mereka seiring berjalannya waktu.

Ada pengecualian pada emosi kemarahan dan mungkin ekspresi bahagia, yang dengan mudah bisa dikenali, bahkan partisipan anka-anak bisa dengan mudah mengenalinya pada wajah anjing.

“Hasil ini mendukung hipotesis domestikasi bersama, karena bahkan anak-anak dengan pengalaman minimal bisa menebak dengan tepat beberapa jenis emosi anjing,” para peneliti menulis dalam artikel penelitian mereka.

Untuk kemampuan mengenali ekspresi kemarahan, adalah hasil dari proses adaptasi, yaitu kemampuan yang secara yang secara alamiah didapatkan dalam mengantisipasi kondisi yang membahayakan, yang berhubungan dengan insting bertahan hidup manusia.

Tetapi ada penjelasan lain tentang hal ini. Kemampuan mengenali emosi kemarahan bisa dengan cepat dipelajari melalui pengalaman, dan bisa jadi kemampuan ini telah ada pada anak-anak yang berusia dibawah lima tahun.



Dan para peneliti berargumen, bahkan pada anak-anak muslim di Maroko, dimana anjing tidak diprioritaskan sebagai hewan peliharaan dalam kultur mereka, bisa dengan mudah mengenali emosi kemarahan dari anjing. Hal ini menunjukkan, bahwa setidaknya untuk emosi kemarahan, pengalaman-pengalaman tertentu memang diperlukan untuk melatih mekanisme adaptasi pada manusia yang terus berkembang sepanjang sejarah hidup manusia.

Dan untuk jenis emosi anjing lainnya, seperti takut dan sedih, kemampuan manusia untuk mengenalinya bukanlah kemampuan yang telah dimiliki manusia sejak lahir.

Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam Scientific Reports.