Manusia adalah makhluk sosial yang kompleks. Otak kita memainkan peran penting dalam membentuk realitas yang kita alami, termasuk bagaimana kita memahami dan berinteraksi dengan dunia sosial di sekitar kita. David Eagleman, dalam bukunya The Brain: The Story of You, mengajak kita melihat lebih dalam bagaimana otak menciptakan realitas ini dan bagaimana nilai-nilai sosial dapat berubah drastis dalam situasi tertentu. Artikel ini akan mengeksplorasi beberapa pelajaran penting dari karya Eagleman, mulai dari peran empati hingga dampak isolasi sosial, dan bagaimana otak kita secara alami membentuk kelompok—dengan segala implikasi positif dan negatifnya.
Empati dan Proyeksi Diri
Salah satu konsep yang dijelaskan oleh Eagleman adalah bagaimana empati tidak selalu seakurat yang kita bayangkan. Contohnya dapat dilihat dalam kasus Susan Smith, seorang ibu yang pada awalnya membuat publik Amerika percaya bahwa anak-anaknya telah diculik. Empati masyarakat terhadap penderitaan Smith mencerminkan bagaimana kita cenderung memproyeksikan diri kita sendiri ke dalam situasi orang lain. Namun, ketika kebenaran terungkap bahwa Susan sendiri yang membunuh anak-anaknya, empati itu berbalik menjadi kejutan dan kebingungan. Eagleman menyoroti bahwa empati seringkali merupakan proyeksi perasaan kita ke dalam pikiran orang lain, dan ketika perilaku seseorang melampaui batasan prediksi sosial kita, kita sering kesulitan memahaminya.
Dampak Isolasi Sosial pada Kesehatan Mental
Salah satu cerita yang menggugah dalam buku Eagleman adalah pengalaman Sarah Shourd, seorang aktivis yang ditahan selama lebih dari setahun dalam kurungan isolasi – white torture – di Iran. Isolasi sosial ini berdampak parah pada kesehatan mentalnya, dan ini memperlihatkan bagaimana otak manusia sangat bergantung pada interaksi sosial untuk tetap sehat. Tanpa kontak sosial, fungsi kognitif dan emosional kita mulai menurun. Sarah menggambarkan bagaimana isolasi membuatnya kehilangan pegangan atas realitas, menyoroti betapa pentingnya hubungan sosial bagi kesejahteraan psikologis manusia.
Penolakan Sosial dan Rasa Sakit Fisik
David Eagleman juga membahas penelitian Naomi Eisenberger yang menunjukkan bahwa otak manusia merespons penolakan sosial dengan cara yang mirip dengan rasa sakit fisik. Dalam sebuah eksperimen sederhana, para peserta yang dikeluarkan dari permainan komputer merasakan rasa sakit emosional yang dihasilkan dari penolakan sosial. Aktivasi di bagian otak yang memproses rasa sakit fisik mengungkapkan bahwa penolakan sosial tidak hanya melukai perasaan, tetapi juga bisa benar-benar menimbulkan respons neurologis yang setara dengan rasa sakit fisik. Ini menunjukkan bahwa otak kita secara evolusioner diprogram untuk mencari penerimaan sosial dan menghindari pengasingan, karena hubungan sosial adalah kunci untuk bertahan hidup.
Pembentukan Kelompok dan Dinamika Ingroup-Outgroup
Selain kebutuhan akan interaksi sosial, Eagleman menjelaskan bagaimana otak manusia secara alami cenderung membentuk kelompok. Kecenderungan ini menawarkan manfaat evolusioner yang signifikan: dengan bekerja sama dalam kelompok, manusia bisa saling melindungi dan bertahan hidup. Namun, di balik ikatan kelompok ini terdapat sisi gelap yang sering kali memunculkan konflik antara ingroup (kelompok kita) dan outgroup (kelompok luar). Sejarah penuh dengan contoh kekerasan yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain, mulai dari Genosida Armenia hingga konflik di Bosnia.
Dalam wawancara Eagleman dengan Hasan Nuhanović, seorang Muslim Bosnia yang keluarganya dibunuh selama Genosida Bosnia, kita melihat bagaimana tetangga dan teman-teman yang telah hidup berdampingan selama puluhan tahun tiba-tiba berubah menjadi musuh yang mematikan. “Nilai-nilai universal seperti larangan membunuh tiba-tiba menghilang,” kata Hasan, merujuk pada perubahan drastis dalam norma sosial yang terjadi selama konflik tersebut. Ini menunjukkan bahwa otak manusia, meskipun sangat terhubung dengan nilai-nilai sosial, juga rentan terhadap manipulasi dan perpecahan dalam situasi krisis.
Ketika Nilai Sosial Hancur: Peran Konflik dalam Mengubah Realitas
Kasus Genosida Bosnia menggambarkan bagaimana nilai-nilai kemanusiaan dapat runtuh dengan cepat dalam situasi konflik. Seperti yang dijelaskan Eagleman, ketika kita melihat orang lain sebagai bagian dari outgroup, otak kita mulai memperlakukan mereka dengan cara yang berbeda. Nilai-nilai yang sebelumnya mengatur perilaku sosial, seperti larangan membunuh, dapat terkikis dan digantikan oleh seruan untuk kekerasan. Ini terjadi karena otak manusia secara evolusioner dibentuk untuk melindungi kelompok kita sendiri, bahkan jika itu berarti mengabaikan nilai-nilai moral yang berlaku dalam situasi damai.
Kesimpulan
David Eagleman, melalui buku The Brain: The Story of You, menawarkan wawasan yang mendalam tentang bagaimana otak kita membentuk realitas sosial. Dari proyeksi diri dalam empati hingga dampak destruktif dari isolasi sosial, otak kita memainkan peran sentral dalam setiap aspek interaksi manusia. Namun, ketika ikatan kelompok berubah menjadi pembagian ingroup dan outgroup, kita juga melihat sisi gelap dari cara kerja otak. Dalam situasi konflik, nilai-nilai kemanusiaan dapat dengan cepat tergantikan oleh seruan kekerasan, seperti yang terlihat dalam berbagai genosida sepanjang sejarah.
Pemahaman mendalam tentang cara otak bekerja dalam konteks sosial ini sangat penting untuk mencegah konflik dan mempromosikan kerukunan di masa depan. Dengan memahami bagaimana otak kita menciptakan realitas sosial dan bagaimana realitas tersebut dapat dimanipulasi, kita bisa lebih bijaksana dalam menjaga perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan di dunia yang semakin kompleks ini.
Artikel ini terinspirasi dan mengambil referensi dari buku The Brain: The Story of You oleh David Eagleman, yang mengungkap bagaimana otak manusia membentuk pengalaman kita tentang dunia dan hubungan kita dengan orang lain.