BAGIKAN
(NASA)

Dunia kini menjadi lebih sunyi, semua penerbangan dihentikan, perjalanan kereta dibatasi, lalu lintas kendaraan pada jalan-jalan raya di seluruh dunia hampir tiada. Pandemi virus corona merubah dunia secara drastis, setidaknya berdasarkan pantauan alat seismograf.

Sebagian besar warga dunia menjalani karantina di rumah mereka masing-masing untuk mencegah penyebaran COVID-19. Kondisi ini ternyata menurunkan angka kebisingan seismik antropogenik, dalam bentuk suara dan juga getaran yang terbentuk akibat aktivitas pergerakan manusia seperti travelling, konser musik dan perjalanan menuju tempat beraktifitas. Turunnya tingkat kebisingan seismik ini, yang di dalam artikel di Nature disebutkan sebagai “senandung getaran pada lempeng planet”, diartikan bahwa planet yang kita diami sekarang berkurang pergerakannya.

Kebisingan seismik terjadi karena adanya peristiwa gangguan-gangguan geologis seperti longsor salju, erupsi gunung berapi, atau karena jatuhnya meteor. Peristiwa-peristiwa ini menghasilkan suara-suara dalam frekuensi rendah yang berada diluar batas pendengaran manusia dan hanya bisa dideteksi melalui instrumen seperti seismograf.

Hasil penelitian yang dilakukan tahun 2017 menyebutkan bahwa tingkat getaran planet bisa dipengaruhi oleh kegiatan lalu lintas, mesin-mesin industri dan aliran tenaga listrik yang bisa menutupi suara-suara seismik dari alam. Dan terdapat perbedaan besar tingkat getaran antara hari-hari kerja dan akhir pekan, atau antara malam dan siang, ketika banyak orang melakukan aktivitas mereka. Bahkan konser musik dapat menyebabkan bumi berdetak lebih cepat dari biasanya. Para peneliti Bersama dengan Institute of Geological and Nuclear Sciences di Australia merekam aktivitas seismik pada konser grup musik Foo Fighter pada tahun 2011 dan konser AC/DC empat tahun kemudian. Instrumen seismograf yang mereka gunakan berhasil menangkap adanya “getaran” pada bumi yang disebabkan oleh penonton konser dalam jumlah banyak bergerak bersamaan disertai suara yang berasal dari sistem suara konser yang sangat keras. 

Thomas Lecocq, seorang ahli geologi dan seismologi pada Royal Observatory, di Belgia, menemukan bahwa di Brussel, ibukota Belgia, terjadi penurunan tingkat kebisingan seismik hingga 30-50 persen semenjak diberlakukannya karantina di wilayah tersebut.

Data yang ditunjukkan Lecocq menunjukkan bahwa para ahli seismologi kini bisa melakukan pengukuran yang lebih akurat, mampu mendeteksi getaran yang paling kecil sekalipun, walaupun banyak instrumen yang mereka gunakan saat ini berada di dekat pusat-pusat kota.

Trend yang sama terlihat pada kota-kota besar lainnya di seluruh dunia, seperti Auckland, Los Angeles, dan London.

“Terlihat jelas pada beberapa hari terakhir, tingkat kebisingan pada waktu subuh (garis biru) turun tajam dibandingkan dengan beberapa minggu sebelumnya,” Stephen Hicks, seorang ahli seismologi di Imperial College London, menuliskan dalam sebuah tweet tanggal 27 Maret. “Saya kira ini disebabkan karena semakin berkurangnya aktivitas pada jam sibuk di pagi hari, dan ditiadakannya aktifitas sekolah.”

Langkah “jaga jarak fisik” atau physical distancing yang dilakukan untuk memutus alur penularan penyakit ini memberi kesempatan pada para ilmuwan geosains untuk lebih mendengar suara gemuruh alami dari planet Bumi tanpa adanya gangguan suara latar belakang dari aktivitas manusia, sehingga data yang mereka dapatkan kini bisa dijadikan landasan bagi penelitian-penelitian sejenis di masa depan. Ketiadaan aktivitas manusia yang berjalan, berlari, mengendarai kendaraan, atau terbang ke berbagai tempat membuat para ahli mampu mendeteksi adanya gempa bumi berkekuatan lebih kecil dan juga berbagai suara yang dihasilkan oleh aktivitas seismologi lainnya yang selama ini sulit terdeteksi.

Setidaknya, deteksi penurunan signifikan dari tingkat kebisingan seismik ini juga menandakan bahwa kita semua telah melakukan hal yang benar selama masa pandemi berlangsung saat ini: tetap tinggal di rumah demi keselamatan diri dan untuk memutus penularan virus.


Sumber : Ifl Science, Science Alert