Model Pengembangan BUMN Indonesia belajar dari rontok nya Wallstreet yang dipicu oleh bangkrutnya Lehman Brothers, yang terjadi di negara liberal seperti AS dan Eropa yang kemudian mulai kembali menempatkan State capitalism dalam kebijakan ekonominya. Dimana mereka belakajar dari suksesnya China, Rusia, Singapore lepas dari jerat krisis ekonomi karena kebijakan state capitalism yang begitu besar dalam perekonominan negara mereka. Disana state companies (di Indonesia dikenal dengan BUMN) mengambil proporsi 80% dari nilai pasar saham di China. China (Sinopec Group, China National Petroleum Corporation dan State Grid) masuk dalam sepuluh peringkat perusahaan dengan pendapatan terbesar melawan hanya dua perusahaan dari Eropa (Royal Dutch Shell dan British Petroleum). Juga Rusia selalu perkasa menghadapi badai krisis karena 62% dari total kapitalisasi asset di Rusia, bahkan Singapore mencapai 90% dikuasai oleh BUMN nya.
Cina dan Rusia yang telah mengembangkan formula state capitalism dalam beberapa dekade belakangan ini mempunyai alat-alat yang lebih sophisticated dibanding state capitalism era terdahulu, dimana negara modern mempunya peran yang lebih kuat dibanding sebelumnya seperti Chinese Communist Party yang memiliki jumlah pengikut yang sangat besar. Walaupun umumnya partai penguasa sering menggunakan kroni dalam pemberian kekuasaan sehingga mempunyai kemungkinan penggunaan modal tidak berjalan dengan baik tetapi partai komunis Cina selalu menggunakan manager professional bahkan bila perlu diimpor dari luar negeri sehingga perusahaan negara dapat berjalan dengan baik. Jadi dengan kekuatan yang besar (negara), dana yang besar (anggaran negara), nasionalisme dan profesionalisme nantinya akan menjadi kekuatan sistem ekonomi yang baru yaitu state capitalism.
Apa yang di lakukan era Jokowi adalah menjalankan konsep state capitalism itu sendiri. Peran BUMN bukan hanya sebagai pencetak laba dan pelaksana Public service obligation (PSO) tapi juga sebagai agent of development. Dengan adanya BUMN maka ekspansi anggaran melalui PMN (Penyertaan Modal Negara) tidak menjadi terbuang begitu saja dan lebih transparan karena mudah di audit. Dan yang lebih penting lagi dana PMN itu akan meningkat berkali kali melalui leverage (nilai tambah) sehingga dapat mempercepat penarikan dana publik dalam pembiayaan infrastruktur maupun jasa untuk kepentingan publik. Jokowi berhasil membenahi PERTAMINA dari yang tadinya selalu kesulitan likuditas dan kalah persaingan di bandingkan PETRONAS kini menjadi BUMN berkelas dunia dengan peringkat mengalahkan raksasa TNC sejenis. Ketika perusahaan Minyak dunia merugi justru PERTAMINA mencetak laba, bahkan lebih besar dari laba PETRONAS. PLN di era sebelumnya yang sudah insolvent, oleh Jokowi juga berhasil di restruktur permodalannya melalui program revaluasi asset sehingga PLN menjadi qualified memasuki pasar uang global untuk meleverage asset nya bagi keperluan pembangunan pembangkit listrik.
Juga PELINDO, Angkasa Pura, Jasa Marga yang tadinya lesu darah bergerak mengeskalasi pertumbuhan perbaikan layanan, di Era Jokowi kini telah tampil digaris depan menyediakan sarana bandara dan pelabuhan, jalan toll diseluruh Indonesia dengan dana minimal dari APBN namun kinerja maksimal. Masih banyak lagi kinerja hebat BUMN di era Jokowi. Namun kembali lagi bahwa itu semua orientasinya bukan hanya sosial tapi sosial capitalism. Dengan persepsi bahwa pertumbuhan dan perluasan layanan publik karena bisnis yang berorientasi laba. Dari laba inilah perbaikan layanan dan perluasan layanan dengan skema sudsidi silang dapat diterapkan. Dan ini hanya mungkin bila semua di kelola oleh negara melalui BUMN. Dengan adanya state capitalism negara terhindar dari proyek yang tidak efisien dan terbuang percuma. Semua ada nilai sosial dan ekonomi yang dapat di pertanggung jawabkan secara bisnis.
Namun dari sukses hebat tersebut, ada catatan yang harus diperhatikan oleh Jokowi bahwa keberadaan BUMN yang suka tidak suka tidak bisa lepas dari politik maka sebaiknya para Preskom di BUMN tidak hanya sekedar jabatan belas jasa atas sukses mereka menjadikan Jokowi sebagai presiden. Bukan rahasia umum bila hampir sebagian besar Komisari BUMN adalah para pengangguran yang miskin kontribusinya bagi direksi BUMN namun memakan anggran operasional BUMN. Belum lagi ulah komisaris BUMN yang kebanyakan bertindak juga sebagai broker untuk memberikan fasilitas kepada rekanan mendapatkan akses terhadap proyek yang sedang dibangun BUMN. Walau pengaruhnya tidak significant namun tetap merupakan krikil tajam dalam membangun jalan mulus lahirnya BUMN berkelas dunia yang efisien.