George (bukan nama sebenarnya) berumur 24 tahun dan lajang. Selama empat tahun terakhir, dia telah membantu tiga pasangan mendapatkan momongan. Pasangan yang pertama mendapatkan dua anak laki-laki. Pasangan yang kedua mendapatkan seorang anak perempuan. Dan pasangan yang ketiga baru tahu bahwa sang istri hamil. Dia narasumber riset saya dan dia berkata:
“Saya melakukan sesuatu yang berdampak besar pada kehidupan orang-orang ini. Mengapa tidak saya terus-terusan menolong mereka?”
Sama seperti George, semakin banyak laki-laki menyumbang spermanya melalui Facebook atau situs lainnya. Donasi sperma online memberi para pendonor kebebasan untuk memilih siapa yang akan mereka bantu, dan juga berhubungan dengan calon penerima donor dan bernegosiasi mengenai ketentuan dan persyaratan pemberian donor.
Sama seperti Uber yang mentransformasi bisnis taksi dan Airbnb yang menggoncang bisnis hotel, donasi sperma online adalah bentuk baru bisnis bank sperma. Namun, meski semakin banyaknya orang yang beralih memberikan spermanya secara online karena aksesnya yang mudah, hanya sedikit yang diketahui tentang siapa si penyumbang sperma tersebut.
Penggambaran media terkait donasi sperma online sering kali diwarnai dengan referensi yang memanas-manasi tentang keberadaan pemberi keturunan yang berbahaya, bibit “unggul” dan skandal donasi sperma. Semua itu mendramatisir hal-hal yang cocok untuk program acara TV.
Tentu saja, potensi risiko donasi sperma online–seperti aktivitas online lainnya–tidak boleh dianggap remeh. Namun, perspektif yang lebih seimbang mengenai donasi sperma online penting untuk lebih bisa memahami praktik dan implikasinya bagi pria, wanita dan anak-anak yang menjadi bagian darinya.
Untuk menjawab kebutuhan tersebut, saya mengembangkan proyek penelitian dengan seorang kandidat doktor, Celine Delacroix, sebagai bagian dari program doktoral kami di Universitas Ottawa. Hasilnya diterbitkan dalam jurnal Critical Public Health.
Sebuah cara untuk menolong orang lain
Kami mengumpulkan kisah enam pria yang menyumbangkan spermanya secara online. Kami melakukan wawancara dengan mereka melalui Skype. Dalam wawancara yang berlangsung selama 45 hingga 75 menit, kami mendiskusikan harapan, motivasi, dan pengalaman mereka sebagai donor.
Usia para narasumber kami berkisar antara 24 sampai 67 tahun. Mereka berasal dari Australia, Kanada, Inggris, Prancis, Belanda, dan Amerika Serikat. Detail pengalaman mereka menyumbangkan sperma itu unik dan sangat personal. Namun, ada beberapa hal membuat mereka sama.
Hampir semua laki-laki dalam penelitian kami memandang apa yang dilakukannya itu sebagai cara untuk membantu orang lain.
George sedang cuti kuliah dan bekerja di sebuah gudang. Dia berharap untuk akhirnya mendapat pekerjaan lain yang bisa membantu orang. Namun untuk saat ini, dia memanfaatkan cutinya untuk bertemu dengan para calon orang tua secara online dan membantu mereka hamil.
Forum online memberi keleluasaan bagi para pendonor sperma untuk mengontrol proses yang terjadi. Ini memungkinkan mereka untuk menjadikan pengalaman mereka sangat personal dan bermakna.
Simon Watson, seorang pendonor dari Inggris, berkata:
“Ketika Anda membantu orang secara personal, itu membuat Anda merasa seperti seorang orang. Anda berbicara dengan seseorang di telepon dan kemudian Anda bertemu.”
Alex (bukan nama sebenarnya) pertama kali mulai menyumbangkan sperma sekitar lima tahun lalu untuk membantu pasangan lesbian di Eropa yang dilarang untuk mengakses bank sperma.
“Pada saat itu, para lesbian agak termarginalkan … mereka tidak memiliki hak untuk menikah dan mereka tidak memiliki hak untuk mengakses sarana IVF (bayi tabung).”
Hampir 1.000 anak yang dihasilkan dari donor sperma
Tugas menghasilkan keturunan adalah bagian yang penting mengapa pria memilih untuk menyumbangkan spermanya.
Para pria dalam penelitian kami masing-masing memiliki setidaknya dua anak dari sumbangan spermanya. Simon Watson, yang menganggap donasi sperma sebagai pekerjaan, diperkirakan memiliki 500 hingga 1.000 anak.
Pendonor seperti George melihat apa yang dilakukannya sebagai semacam rencana B: Dengan mendonorkan spermanya, dia bisa memuaskan keinginannya untuk bereproduksi tanpa memiliki tanggung jawab sebagai orang tua.
Narasumber kami juga berbicara tentang keterlibatan mereka dalam keputusan seputar inseminasi atau pembuahan.
Inseminasi terjadi baik secara alami (melalui hubungan seksual) ataupun secara artifisial (dengan menggunakan cangkir dan jarum suntik). Para laki-laki mengakui bahwa orang yang donor yang mengatakan di iklan bahwa mereka memilih melakukan inseminasi secara alami sering dianggap sebagai predator. Karena alasan itu, mereka semua lebih menyukai inseminasi buatan.
Para laki-laki tersebut memiliki perasaan yang kompleks dan terkadang belum selesai tentang keterikatan mereka dengan anak-anak yang dihasilkan dari donor sperma mereka. Alex berkata:
“Meskipun saya tidak menganggap diri saya ayah mereka, saya menganggap bahwa ada sebagian kecil dari diri saya (ada di mereka), dan sebagian kecil dari keluarga saya di luar sana.”
Risiko tidak disetujui
Para pria ini menyadari risiko yang ada ketika mereka memiliih untuk menyumbangkan spermanya secara online. Mereka juga sadar atas ketidaknyamanan atau ongkos yang harus dibayar dari kantong mereka sendiri, misalnya ketika mereka bertemu dengan calon penerima sperma. Mereka juga membicarakan tentang orang-orang yang mungkin tidak setuju dengan keputusan mereka, termasuk keluarga mereka.
Bank sperma tradisional memiliki persyaratan ketat untuk para pendonor, tetapi donasi sperma online sulit untuk diatur dan dilacak, terutama ketika donasi terjadi di perbatasan internasional.
Hukum yang tidak jelas dan terkadang bertentangan dapat memberikan pendonor sperma online perlindungan hukum yang berlapis. Orang-orang dalam penelitian kami mengatakan mereka tidak khawatir terhadap implikasi hukum ketika mereka menyumbangkan sperma secara informal.
Ketika masyarakat meninggalkan bank sperma tradisional dan semakin beralih ke online untuk menemukan “donor yang tepat,” kita dihadapkan dengan pertanyaan penting tentang masa depan reproduksi bantuan dan bagaimana cara terbaik untuk melindungi kepentingan semua orang yang terlibat.
Untuk ke depannya, mari kita pastikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut merefleksikan banyak cerita dan pengalaman orang-orang yang terlibat dalam donasi sperma online.
Nicole Bergen, PhD Candidate, University of Ottawa
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.