BAGIKAN
[Pixabay]

Puluhan juta tahun yang lalu, suhu global di Bumi sempat meningkat secara drastis mencapai 5 hingga 8 derajat celcius lebih tinggi dibandingkan suhu Bumi saat ini. Namun, penyebabnya tidak memiliki kejelasan.

Peristiwa ini disebut sebagai Paleocene Eocene Thermal Maximum (PETM) atau Suhu Maksimum Paleosen-Eosen adalah salah satu interval pemanasan global yang paling intens dan secara mendadak terjadi sekitar 56 juta tahun yang lalu, tepat di antara Zaman Paleosen dan Eosen.

Meningkatnya erosi selama peristiwa ini, melepaskan sejumlah besar fosil karbon yang tersimpan di dalam bebatuan dan melepaskan cukup banyak gas rumah kaca karbon dioksida menuju atmosfer sehingga memengaruhi suhu dalam jangka waktu yang panjang, menurut para peneliti dari Penn State University yang telah mempublikasikan penelitiannya di Nature Geoscience.

Para ilmuwan menemukan bukti pada fosil inti sedimen pantai terkait pelepasan karbon secara besar-besaran tersebut. Mereka menganalisis sampel menggunakan teknik molekuler inovatif yang memungkinkan mereka dapat melacak bagaimana proses seperti erosi melepaskan karbon dalam waktu yang lama.

“Teknik ini menggunakan molekul dengan cara yang benar-benar inovatif, out of the box untuk melacak fosil karbon,” kata Katherine Freeman dari Penn State. “Kami benar-benar belum bisa melakukannya sebelumnya.”

Temuan mereka, memberikan bukti baru tentang umpan balik iklim yang dapat menjelaskan durasi panjang Suhu Maksimum Paleosen-Eosen, yang dianggap sebagai analog terbaik untuk perubahan iklim modern. Bahkan, perubahan iklim saat ini dapat memiliki dampak jangka panjang terhadap suhu global meskipun manusia mampu mengendalikan emisi gas rumah kacanya.

Suhu global meningkat sekitar 9 hingga 14,4 derajat Fahrenheit selama PETM, yang secara radikal mengubah kondisi di Bumi. Badai dan banjir yang parah adalah hal yang lazim sering terjadi, dan cuaca yang hangat dan basah menyebabkan erosi batuan meningkat.

Ketika erosi menuruni gunung selama ribuan tahun, karbon dilepaskan dari bebatuan dan diangkut oleh sungai menuju lautan, di mana sebagian darinya terkubur di dalam sedimen pantai. Selama perjalanannya, beberapa karbon menuju atmosfer sebagai gas rumah kaca.

Fosil inti dari situs pengeboran di Maryland. [ROSIE OAKES / PENN STATE]
“Karbon yang terkunci di daratan dan selama PETM dilepaskan lalu dikuburkan kembali. Kami tertarik melihat seberapa banyak karbon dioksida yang bisa dilepaskan.” kata Lyons.

Lyons tengah mempelajari sampel inti PETM dari Maryland, di lokasi yang dulunya berada di bawah air, ketika dia menemukan jejak karbon yang lebih tua yang dipastikan pernah tersimpan di dalam bebatuan di tanah. Dia awalnya menyangka jika sampelnya telah terkontaminasi, tetapi dia menemukan bukti serupa lainnya pada sedimen dari situs Atlantik Tengah dan Tanzania.

Karbon dalam sampel ini tidak memiliki pola kehidupan isotop yang sama dari PETM dan tampak berminyak, seolah telah dipanaskan dalam jangka waktu yang lama di lokasi yang berbeda.

“Itu memberi tahu kami apa yang kami lihat pada catatan bukan hanya materi yang terbentuk selama PETM,” kata Lyons. “Bukan hanya karbon yang telah terbentuk dan tersimpan pada waktu itu, tetapi kemungkinan mewakili sesuatu yang lebih tua yang ikut terangkut.”

Para peneliti mengembangkan model pencampuran untuk membedakan sumber karbon. Berdasarkan jumlah karbon yang lebih tua dalam sampel, para ilmuwan dapat memperkirakan berapa banyak karbon dioksida yang dilepaskan selama perjalanannya dari batuan hingga menuju sedimen lautan.

Mereka memperkirakan umpan balik iklim bisa melepaskan cukup karbon dioksida untuk menjelaskan durasi sekitar 200.000 tahun yang terjadi pada Suhu Maksimum Paleosen-Eosen (PETM), sesuatu yang belum dipahami dengan baik.

Para peneliti mengatakan temuan ini menawarkan peringatan tentang perubahan iklim modern. Jika pemanasan mencapai titik kritis tertentu, umpan balik dapat dipicu yang berpotensi menyebabkan lebih banyak perubahan suhu.

“Satu pelajaran yang dapat kita pelajari dari penelitian ini adalah bahwa karbon tidak tersimpan dengan baik di dalam tanah ketika iklim menjadi basah dan panas,” kata Freeman.

“Hari ini, kita mendorong sistem keluar dari keseimbangannya dan itu tidak akan pulih kembali, bahkan ketika kita mulai mengurangi emisi karbon dioksida.”