Sebuah riset terbaru mengungkapkan bahwa COVID-19, penyakit saluran pernafasan akut karena infeksi dari virus corona SARS-CoV-2, mungkin adalah sebuah penyakit dengan perilaku musiman.
Meningkatnya kasus positif di Australia diperkirakan berhubungan dengan rendahnya tingkat kelembapan udara yang biasa terjadi menjelang musim dingin di wilayah tersebut – penurunan 1 persen tingkat kelembapan udara akan meningkatkan kasus sebanyak 6 persen, menurut hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Transboundary and Emerging Diseases.
“COVID-19 mungkin adalah sebuah penyakit musiman yang akan muncul ketika kelembapan udara menurun. Kami harus mulai berfikir, ketika musim dingin tiba, adalah saatnya COVID-19 tiba.” kata Professor Michael Ward, peneliti utama, yang juga seorang epidemiolog di Sydney School of Veterinary Science, University of Sydney.
Pandemi yang melanda China, Eropa, dan Amerika Utara muncul sepanjang masa musim dingin. Dan untuk memastikan apakah peningkatan kasus COVID-19 dipengaruhi oleh perubahan cuaca, para peneliti melakukan penelitian pada lebih dari 700 kasus COVID-19 yang muncul di wilayah Grater Sydney, dalam kurun waktu 26 Februari hingga 31 Maret, masa akhir musim panas dan awal musim gugur. Tingkat curah hujan, temperatur, dan kelembapan udara yang tercatat pada periode tersebut dibandingkan dengan kasus yang terkonfirmasi antara bulan Januari hingga Maret.
Dan dari hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa temperatur dan kelembapan relatif merupakan faktor penting dalam penyebaran penyakit yang menyerang saluran pernafasan. Penemuan ini memastikan bahwa kelembapan udara relatif, bukan temperatur ataupun curah hujan yang menjadi penyebab meningkatnya angka kematian akibat virus corona baru.
“Berbicara tentang iklim, kami menemukan bahwa menurunnya tingkat kelembapan merupakan penyebab utama meningkatnya penyebaran COVID-19 dibandingkan dengan turunnya temperatur udara.” Kata Ward. “Artinya, mungkin akan ada peningkatan resiko ketika musim dingin tiba, ketika terjadi penurunan tingkat kelembapan udara. Tetapi di wilayah belahan bumi utara, pada area dengan tingkat kelembapan udara yang lebih rendah atau selama periode ketika tingkat kelembapan menurun, resiko mungkin akan selalu ada, walaupun pada musim panas.”
Kondisi suhu dingin dan kelembapan relatif nampaknya memungkinkan virus corona untuk bisa bertahan hidup dan bertransmisi, walaupun beberapa penelitian menemukan adanya inkonsistensi pada faktor temperatur terhadap tingkat penyebaran. Secara umum, tampaknya faktor kelembapan udara yang paling mempengaruhi laju tingkat penyebaran virus seperti SARS-CoV-2.
“Ketika tingkat kelembapan menurun, udara akan menjadi kering dan partikel-partikel aerosol di udara menjadi lebih kecil,” kata Ward. “Ketika seseorang yang terinfeksi bersin dan batuk, partikel-partikel aerosol yang mengandung virus akan melayang lebih lama di udara. Kondisi ini bisa menyebabkan orang-orang disekitarnya lebih beresiko untuk terpapar. Tetapi ketika udara lebih lembab, partikel aerosol akan lebih besar dan lebih berat, sehingga lebih cepat jatuh ke permukaan.”
Sistem Kesehatan publik harus mengantisipasi meningkatnya jumlah kasus COVID-19 pada masa kelembapan udara menurun dan selalu berhati-hati selama masa udara kering, kata para peneliti.
“Walaupun kasus COVID-19 telah menurun di Australia, sistem kesehatan publik harus selalu waspada akan potensi meningkatnya resiko penularan pada masa kelembapan udara menurun.” Kata Professor Ward.
Para peneliti juga memperingatkan bahwa dari hasil penelitian ini, bukan berarti pada musim panas di wilayah belahan utara akan terjadi penurunan kasus, walaupun mereka memiliki bukti bahwa kelembapan udara yang rendah berkaitan dengan meningkatnya kasus COVID-19. Selalu ada kemungkinan terjadinya transmisi COVID-19 selama musim panas, dan untuk memastikan keterkaitan tersebut, masih diperlukan penelitian lanjutan selama musim dingin di wilayah belahan bumi selatan.