BAGIKAN
(CDC/Unsplash)

Penelitian terbaru menemukan lima jenis obat farmasi non-antibiotik yang paling banyak digunakan, ternyata bisa memicu resistensi bakteri terhadap antibiotik, setidaknya dari hasil uji coba yang dilakukan di lab. Walaupun baru enam jenis obat yang diuji, penemuan ini tentunya menimbulkan kekhawatiran di kalangan ilmuwan karena akan mempersulit usaha mereka dalam melawan penyakit-penyakit infeksi bakteri.

Merebaknya pandemi COVID-19 dalam waktu singkat tentunya sangat mengejutkan kita semua, karena kita tidak pernah terbiasa untuk mengalami wabah penyakit infeksi yang begitu mematikan seperti sekarang ini. Banyak sekali wabah besar penyakit yang terjadi di masa lalu yang disebabkan oleh bakteri dan akhirnya dapat diatasi dengan bantuan antibiotik.

Meningkatnya kasus resistensi terhadap antibiotik tentunya cukup menakutkan, karena ketika penyakit infeksi bakteri sudah tidak bisa diatasi dengan obat-obatan antibiotik, diperkirakan akan mengakibatkan kematian lebih tinggi dari penyakit kanker di tahun 2050.



“Ketika mendengar kata resistensi antibiotik, seringkali kita menghubungkannya dengan penggunaan antibiotik secara terus menerus untuk keperluan medis, kedokteran hewan atau keperluan agricultural,” kata Dr. Jianhua Guo dari university of Queensland. Dan kami mulai bertanya-tanya, apakah penggunaan obat-obatan farmasi non antibiotik juga memegang peranan penting atas meningkatnya kasus resistensi antibiotik akibat transformasi bakteri.

Guo dan mahasiswa Ph.D Yue Wang telah menguji enam jenis obat non-antibiotik resep dokter dan obat bebas untuk melihat apakah obat-obatan ini membuat bakteri Acinetobacter baylyi, patogen yang paling umum ditemukan di rumah sakit, menjadi resisten terhadap antibiotik.

“Kami menemukan pada obat anti inflamasi non steroid-OAINS (misalnya ibuprofen), obat penurun kolesterol, dan obat-obatan β-blocker terbukti secara signifikan memicu terjadinya transformasi bakteri,” kata Wang.

Penemuan ini telah dipublikasikan dalam the ISME Journal. Pada beberapa jenis obat dibutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk bisa memberikan efek yang signifikan, tetapi obat gemfibrozil dan propranolol ternyata dapat meningkatkan resistensi bakteri pada konsentrasi yang sangat rendah, seperti yang ditemukan pada air buangan.

Guo mengatakan bahwa obat-obatan ini menyebabkan terjadi produksi spesi oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species-ROS) yang berlebihan. Senyawa organik ini merusak membran sel-sel bakteri. Dan dalam kondisi tertentu senyawa ini bahkan bisa membunuh bakteri, berubah menjadi senyawa antibakteri dengan sendirinya. Walaupun tidak menyebabkan kerusakan parah, tetapi senyawa ini menyebabkan membran sel menjadi mudah ditembus sehingga bakteri lebih mudah menyerap DNA disekitarnya, termasuk gen resistensi antibiotik yang dilepaskan oleh jenis bakteri lainnya.



Ketika DNA terserap proses ini, yang dikenal dengan transfer gen horizontal (proses masuknya bahan-bahan genetik suatu organisme ke organisme lainnya tanpa melalui proses reproduksi). Selanjutnya proses seleksi alam mengambil alih, dimana bakteri yang resisten akan bertahan hidup dari paparan antibiotik dan yang lainnya akan mati. Guo mengatakan bahwa dengan menambahkan molekul yang dapat menyerap dan membersihkan senyawa ROS akan menghentikan terbentuknya resistensi bakteri.

Guo mengakui bahwa apa yang terjadi di lab belum tentu terjadi pada kondisi yang sebenarnya, masih perlu dilakukan tahapan pengujian pada hewan. Dia juga berpendapat bahwa industri farmasi perlu mempertimbangkan masalah ini untuk mengantisipasi timbulnya efek samping. “Ada banyak faktor tersembunyi yang memicu terjadinya resistensi antibiotik, yang tidak bisa dihiraukan,” Guo menambahkan.

Diperkirakan ada 700.000 orang yang meninggal setiap tahunnya akibat resistensi infeksi terhadap obat-obatan yang seharusnya bisa mengatasinya, dan jumlah tersebut dikhawatirkan akan terus bertambah secara dramatis di masa-masa mendatang.