Walaupun hingga kini COVID-19 masih mendominasi pemberitaan berbagai media, kita tidak bisa mengesampingkan penyakit-penyakit lainnya karena adanya pandemi ini. Hingga kini penyakit malaria hingga kini masih dianggap sebagai penyakit yang membahayakan, terutama di wilayah dengan iklim tropis. Jika tidak ditangani dengan tepat, akan menimbulkan komplikasi bahkan dapat berujung kematian.
Pada tahun 2018, organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat 228 juta kasus penyakit yang ditularkan oleh gigitan nyamuk ini dan menyebabkan 405.000 kematian.
Di Indonesia, menurut data departemen Kesehatan, hingga akhir 2017 terdapat 261.671 kasus malaria dan 100 diantaranya meninggal dunia.
Sebuah penelitian terbaru mungkin telah menemukan sebuah cara baru yang efektif untuk menghentikan penyebaran penyakit ini, dan kuncinya sebenarnya selama ini telah ada di dalam tubuh nyamuk itu sendiri.
Tim peneliti menemukan sejenis mikroba sel tunggal berbentuk spora di dalam tubuh nyamuk, yang mereka beri nama Microsporidia MB, memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menghentikan transmisi Plasmodium falciparum, parasit protozoa yang menjadi penyebab penyakit malaria.
Tim peneliti meyakini, jika kita bisa meningkatkan prevalensi Microsporidia MB pada populasi nyamuk pada suatu area, maka kita bisa menghentikan penyebaran penyakit malaria tanpa perlu melakukan tindakan yang mengganggu ekosistem.
“Disini kami melakukan karakterisasi dari microsporidia patogen dari populasi nyamuk Anopheles arabiensis (spesies nyamuk) di Kenya,” tim peneliti menuliskan dalam laporannya.
“Microsporidia MB mampu menghalangi transmisi parasit Plasmodium, bukan mikroba yang membahayakan dan bertransmisi secara vertikal, sehingga dianggap dapat digunakan untuk membatasi penyebaran penyakit malaria.’
Ide menggunakan mikroba yang ada di dalam tubuh nyamuk untuk menghentikan penyebaran penyakit bukanlah hal yang baru. Wolbachia, sejenis bakteri yang secara alami ada pada populasi nyamuk, juga menunjukkan potensi untuk menghentikan penyebaran penyakit demam berdarah dan penyakit-penyakit lainnya yang ditularkan melalui gigitan nyamuk.
“Kami memanfaatkan simbion penghalang transmisi yang diberi nama Wolbachia untuk mengontrol infeksi demam berdarah, penyakit yang disebabkan oleh virus yang bertransmisi melalui gigitan nyamuk,” kata Steven Sinkin pakar mikrobiologi dari University Glasgow.
“Simbion Microsporidia MB memiliki karakteristik yang mirip dengan Wolbachia, sehingga dianggap memiliki prospek untuk bisa dimanfaatkan sebagai metode pengendalian penyakit malaria.’
Penelitian ini masih dalam tahap awal, dan ketika tim peneliti melakukan analisa pada nyamuk-nyamuk yang diambil dari penelitian lapangan di Kenya, mereka menemukan pada nyamuk yang memiliki Microspodia MB ternyata tidak terdapat parasit malaria di dalam tubuhnya. Bahkan ketika mereka membiarkan nyamuk-nyamuk tersebut menghisap darah yang telah terinfeksi parasit malaria, nyamuk dengan Microsporidia MB bisa menurunkan tingkat infeksi dan kemudian tidak ditemukan tanda-tanda kehadiran spora parasit malaria pada nyamuk-nyamuk tersebut.
Karena Microsporidia diturunkan dari garis keturunan betina, maka ketika mikroba ini telah ada pada sebuah populasi, akan terus ada pada populasi tersebut. Tim peneliti menemukan bahwa pada beberapa area yang mereka lakukan pengujian, mereka menemukan ada sembilan persen dari populasi nyamuk yang memiliki mikroba anti malaria ini.
Tim peneliti berharap pada riset selanjutnya bisa ditemukan cara untuk meningkatkan jumlah Microsporidia MB pada populasi nyamuk di suatu area yang hasil akhirnya adalah menurunnya kasus malaria di area tersebut.
“Masih dibutuhkan penelitian lanjutan untuk bisa mengetahui dengan pasti bagaimana Microspodia dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit malaria. Tahap selanjutnya dari penelitian kami adalah mengetahui bagaimana dinamika Microsporidia pada sebuah populasi besar nyamuk dalam sebuah fasilitas rumah kasa (screen house),” kata Jeremy Herren, pakar mikrobiologi dari International Centre of insect Physiology and Ecology.
“Hasil dari penelitian ini nantinya akan memberi kita banyak informasi yang bisa digunakan untuk memperbanyak Microsporidia MB untuk mengontrol penyakit malaria.”
Penelitian ini telah dipublikasikan dalam Nature Communications.