BAGIKAN
Candra Winata (Unsplash)

Terjadinya pandemi global yang menimpa sebagian besar penduduk dunia saat ini bisa jadi merefleksikan apa yang manusia telah lakukan pada alam selama ini. Menurut hasil penelitian terbaru, eksploitasi manusia terhadap populasi hewan liar di seluruh dunia bisa jadi menjadi salah satu penyebab tersebarnya penyakit zoonotik (penyakit yang menular dari hewan ke manusia) pada populasi manusia. 

Penelitian ini menemukan adanya hubungan antara eksploitasi berkelanjutan pada alam melalui kegiatan perburuan, perdagangan, degradasi habitat dan urbanisasi, telah mengancam populasi mamalia dengan munculnya berbagai jenis penyakit-penyakit infeksi pada hewan yang bisa menular pada manusia.

Dan diperkirakan, apabila umat manusia masih terus melanggar batas dalam mengeksploitasi alam, peningkatan resiko penularan virus dari hewan ke manusia tidak dapat dihindarkan.


“Ketika habitat alam terganggu, habitat margasatwa liar akan semakin mendekat dengan manusia. Peran habitat margasatwa di alam liar dalam mengakomodasi aktivitas antropogenik dan memodifikasi lanskap alam akan berubah,” kata Christine Johnson, ahli epidemiologi dari University of California Davis.

“Kondisi ini mempercepat munculnya penyakit yang berasal dari margasatwa liar dan meningkatkan resiko terjadinya pandemi.”

Realitas ini pastinya telah disadari oleh manusia di seluruh dunia. Dalam abad terakhir ini, penyakit-penyakit infeksi dari hewan-hewan liar terus bermunculan, dan tentu saja spesies mamalia terbanyak yang menghuni bumi ini, manusia, yang paling bertanggung jawab atas terjadinya fenomena ini.

Dengan membandingkan data penelitian yang dipublikasikan tahun 2013 tentang mamalia liar dan domestik yang menularkan virus kepada manusia -disebut virus zoonotik- penulis artikel menunjukkan jenis interaksi apa saja yang paling beresiko menularkan penyakit pada manusia.

Terdapat tiga kelompok hewan yang membawa resiko paling besar menularkan virus pada manusia. Dan ternyata hewan domestik, seperti ternak, memiliki kemungkinan paling besar untuk menularkan virus pada manusia, delapan kali lebih besar dari hewan liar sejenis lainnya.

Dari berbagai makhluk liar di alam, jenis yang paling banyak menularkan virus pada manusia adalah yang populasinya terus meningkat dan bisa beradaptasi dengan lingkungan yang dihuni oleh manusia, antara lain, kelelawar, hewan pengerat dan primata.

Dan pada spesies hewan yang terancam eksistensinya karena adanya eksploitasi berlebihan oleh manusia, diperkirakan paling berpotensi menjadi inang virus-virus zoonotik, dua kali lebih besar daripada spesies-spesies yang berkurang populasinya karena alasan lainnya. Jadi, untuk spesies-spesies hewan yang berada di sekitar habitat manusia, mereka lebih beresiko menularkan virus zoonotik pada manusia. 



Dan selama ini kita sering meremehkan bahaya nyata yang pasti terjadi.

“Dalam penelitian ini, kami berhasil menemukan pola-pola dari virus-virus zoonotik yang pernah muncul sepanjang waktu, kami melihat bahwa sebagian besar perpindahan virus patogen pada manusia tidak pernah terdeteksi. Hanya perpindahan patogen yang akhirnya berkembang menjadi wabah pada habitat manusia yang bisa terdeteksi,” kata penulis laporan penelitian ini.

Berdasarkan daftar merah organisasi konservasi alam internasional, hingga tahun 2019, seperempat dari seluruh spesies mamalia non domestik di seluruh dunia terancam populasinya. Terjadinya urbanisasi dan aktivitas manusia telah mengurangi keberagaman hewan di bumi. Beberapa spesies ada yang mampu bertahan dan memperbanyak populasinya, biasanya adalah jenis hewan yang mampu beradaptasi baik dengan perilaku manusia, seperti tikus.

“Kita harus lebih memperhatikan bagaimana seharusnya berinteraksi dengan margasatwa liar dan juga pada aktivitas-aktivitas positif sehingga manusia dan margasatwa liar bisa hidup berdampingan,” kata Johnson.

“Tentunya kami tidak menginginkan terjadinya pandemi global seperti saat ini. Kita harus mencari cara agar bisa hidup berdampingan dengan aman bersama hewan-hewan liar di alam, karena mereka tidak akan pernah kekurangan virus untuk diberikan pada kita.”

Penelitian ini dipublikasikan dalam Proceeding of Royal Society B: Biological Sciences.