Sebuah studi yang dipimpin oleh para peneliti dari Center for Palaeogenetics di Stockholm menunjukkan bahwa populasi terakhir badak Sumatera menunjukkan tingkat perkawinan sedarah yang sangat rendah. Para peneliti mengurutkan genom dari 21 spesimen badak modern dan kuno, yang memungkinkan mereka untuk menyelidiki kesehatan genetik pada badak yang hidup saat ini serta populasi yang baru saja punah. Penemuan ini dipublikasikan di jurnal Nature Communications.
Dengan jumlah yang kurang dari 100 ekor badak tersisa, badak Sumatera merupakan salah satu spesies mamalia yang paling terancam punah di dunia. Laporan terbaru tentang masalah kesehatan dan kesuburan yang rendah telah menimbulkan kekhawatiran bahwa populasi yang tersisa menderita masalah perkawinan sedarah. Namun, sangat sedikit yang diketahui tentang status genetik dari badak misterius ini.
Untuk menyelidiki apakah badak Sumatera terancam oleh faktor genetik, para peneliti mengurutkan genom dari 16 ekor badak yang mewakili populasi saat ini di Kalimantan dan Sumatera serta populasi yang baru punah di Semenanjung Malaysia. Ini memungkinkan mereka untuk memperkirakan tingkat perkawinan sedarah, variasi genetik, dan frekuensi mutasi yang berpotensi berbahaya dalam populasi. Selain itu, dengan mengurutkan genom dari lima sampel badak kuno, para peneliti dapat menyelidiki konsekuensi genetik dari penurunan populasi yang parah selama 100 tahun terakhir.
“Yang mengejutkan kami, kami menemukan tingkat perkawinan sedarah yang relatif rendah dan keragaman genetik yang tinggi pada populasi saat ini di Kalimantan dan Sumatera”, kata Johanna von Seth, mahasiswa PhD di Pusat Paleogenetik dan salah satu penulis utama dari makalah tersebut.
Para peneliti berpikir bahwa tingkat perkawinan sedarah yang relatif rendah pada badak saat ini disebabkan oleh penurunan ukuran populasi yang terjadi baru-baru ini. Ini berarti bahwa perkawinan sedarah belum menandingi ukuran populasi yang kecil saat ini. Hal ini merupakan kabar baik bagi pengelolaan konservasi populasi yang tersisa, karena memiliki arti bahwa masih ada waktu untuk melestarikan keanekaragaman genetik spesies tersebut. Namun, para peneliti juga menemukan bahwa ada banyak mutasi yang berpotensi berbahaya yang tersembunyi dalam genom setiap badak ini, yang bisa menjadi berita buruk bagi masa depan.
“Kecuali populasi mulai bertambah besar, ada risiko tinggi bahwa tingkat perkawinan sedarah akan mulai meningkat, dan akibatnya penyakit genetik akan menjadi lebih umum,” kata Nicolas Dussex, peneliti postdoctoral di Center for Palaeogenetics yang juga ikut memimpin penelitian ini.
Temuan tim peneliti dari populasi yang baru punah di Semenanjung Malaysia berfungsi sebagai peringatan keras tentang apa yang mungkin akan segera terjadi pada populasi yang tersisa di Kalimantan dan Sumatera. Perbandingan genom kuno dan modern menunjukkan bahwa populasi Semenanjung Malaysia mengalami peningkatan pesat dalam tingkat perkawinan sedarah sebelum akhirnya punah.
Selain itu, para peneliti mengamati perubahan frekuensi mutasi yang berpotensi membahayakan yang sejalan dengan depresi perkawinan sedarah, sebuah fenomena di mana orang tua yang berkerabat dekat menghasilkan keturunan yang menderita penyakit genetik. Hasil ini menyiratkan bahwa dua populasi yang tersisa dapat mengalami nasib yang sama jika tingkat perkawinan mereka mulai meningkat.
“Badak Sumatera sama sekali tidak keluar dari hutan. Tapi setidaknya temuan kami memberikan jalan ke depan, di mana kami mungkin masih bisa menyelamatkan sebagian besar keragaman genetik dari spesies,” kata Love Dalén profesor genetika evolusioner dari Pusat Paleogenetika.
Untuk meminimalkan risiko kepunahan, para peneliti mengatakan bahwa ukuran populasi harus ditingkatkan. Mereka juga menyarankan bahwa tindakan dapat diambil untuk memungkinkan pertukaran gen antara badak Kalimantan dan badak Sumatera, misalnya dengan mentranslokasi salah seekor badak atau menggunakan inseminasi buatan. Perbandingan genom dari kedua pulau ini tidak memberikan bukti bahwa pertukaran genetik seperti itu dapat mengarah pada pengenalan gen yang kurang beradaptasi dengan baik pada lingkungan lokal.
Para peneliti juga menunjukkan bahwa pengurutan genom dapat digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi individu tertentu dengan jumlah mutasi yang berpotensi berbahaya rendah, dan bahwa individu tersebut akan sangat cocok untuk jenis pertukaran genetik ini.