BAGIKAN
Science in HD / Unsplash

Hanya beberapa bulan sebelum pandemi, sekitar 115 kandidat vaksin virus corona telah mulai dikembangkan di seluruh dunia. Pasteur Institute di Perancis mengembangkan vaksin dengan memodifikasi vaksin campak sehingga bisa “menipu” sistem imun tubuh agar memproduksi antibodi untuk melawan virus corona baru.

Pada bulan Maret, Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI) yang berkedudukan di Norwegia menyetujui untuk memberi bantuan sebesar US $4,9 juta bagi riset praklinis pengembangan vaksin virus corona. Terdapat delapan kandidat vaksin yang dibiayai oleh CEPI, dan hanya dua atau tiga proyek yang akan dibiayai hingga mencapai tahapan regulasi dan persetujuan.

CEPI memperkirakan akan mengeluarkan dana sekitar US$ 2 miliar untuk mengembangkan vaksin COVID-19 hingga bisa diproduksi dalam jumlah yang cukup untuk mengimunisasi milyaran orang di seluruh dunia. Dan menurut ahli virologi, Frederic Tangy, kepala Institute Vaccine Innovation Lab, imunisasi adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi pandemi ini.

Dia mengibaratkan gerakan physical distancing dan isolasi mandiri seperti menutup luka dengan sebuah plester.

“Menurut apa yang kami ketahui tentang potensi menularnya virus SARS-CoV-2, 60 hingga 70 persen dari seluruh populasi manusia harus diimunisasi,” kata Tangy kepada Business Insider.




Pasteur institute dinilai memiliki rekam jejak yang baik dalam hal memerangi penyakit infeksi

Institute yang mengabadikan Louis Pasteur, seorang pelopor ilmu biokimia berkebangsan Perancis yang mengembangkan vaksin untuk anthrax dan rabies, telah berdiri sejak tahun 1988. Sejak mulai berdiri, lembaga ini telah banyak berperan dalam memerangi penyakit-penyakit demam thypoid, tuberculosis, polio, demam kuning, HIV dan banyak lagi.

Saat ini, kata Tangy, hampir seluruh departemen yang ada departemen pada lembaga ini berfokus pada pandemi COVID-19.

Pada bulan Januari, ilmuwan Pasteur berhasil menyelesaikan proses sekuens genom pertama dari virus corona di Eropa, hanya beberapa hari setelah ter konfirmasinya kasus pertama COVID-19 di Perancis. Apa yang telah dicapai pada saat itu adalah sebuah langkah penting untuk memahami apakah virus ini telah bermutasi semenjak pertama kali ditemukan di Wuhan, China.

Tim Tangy melakukan modifikasi standar pada vaksin campak dengan memasukkan sebuah protein virus SARS-CoV-2 kedalamnya. Mereka berharap modifikasi ini akan memicu respon sistem imun yang sama terhadap virus corona baru seperti pada vaksin MMR yang dibuat untuk mencegah penyakit campak, gondongan dan rubella.

Vaksin yang berisi virus yang telah dilemahkan ini menghasilkan sistem imun yang kuat dan tahan lama setelah melakukan satu kali imunisasi dan dapat diproduksi dengan biaya yang murah. Dengan menggunakan vaksin campak yang telah ada sebelumnya memungkinkan proses pengujian dan paten akan berlangsung lebih cepat.

“Setiap industri farmasi di seluruh dunia telah mampu memproduksi vaksin campak,” kata Tangy.

Strategi ini sudah pernah diaplikasikan dan memberi hasil yang menjanjikan untuk prototipe vaksin Chikungunya yang telah menginfeksi jutaan orang di Asia Selatan dan Afrika setiap tahun. Penyakit ini menyebabkan gejala-gejala pembengkakan pada sendi, sakit otot dan ruam. Bisa menjadi fatal jika menjangkiti anak dan orang tua, serta mereka yang memiliki masalah kesehatan.




Setelah melakukan trial klinis selama tujuh tahun, pengembangan vaksin Chikungunya telah mencapai tahap ketiga, dan telah dilakukan tes efficacy pada ribuan orang.

“Dan kami menganggap proses pengembangan vaksin chikungunya ini berlangsung cepat,’ kata Tangy. Dan untuk kandidat vaksin virus corona, institut melakukan gerak yang lebih cepat lagi.

Institut melakukan kerjasama dengan  Centre for Vaccine Research University of Pittsburgh untuk melakukan trial pada hewan dalam beberapa bulan saja. Langkah selanjutnya adalah bekerjasama dengan perusahaan bioteknologi Austria, Themis untuk memproduksi ratusan vial untuk trial klinis.

Tangy memprediksi bahwa vaksin akan mulai diujicobakan pada manusia pada satu tahun mendatang. Dia memperingatkan bahwa para peneliti membutuhkan waktu dalam melakukan uji coba untuk mengetahui apakah ada efek samping terjadi, agar mereka bisa mengantisipasi tindakan pencegahan atau melakukan langkah-langkah mitigasi.

“Dan titik kritis dari sebuah vaksin bagi virus jenis ini adalah bagaimana sistem imun tubuh meresponnya, dan apabila memberikan respon sebaliknya malah bisa lebih mematikan dari penyakit itu sendiri.” Kata Tangy.

“Sebuah vaksin yang tidak bisa dikendalikan akan sangat membahayakan.”