BAGIKAN

Kawasan Ekosistem Leuser merupakan hutan hujan alami yang membanggakan Indonesia dan dunia. Wilayahnya membentang seluas 2,6 juta hektare di dua provinsi. Di Aceh, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan, sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), No.190/Kpts-II/2001, luasnya sekitar 2.255.577 hektare. Sedangkan di Sumatera Utara, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.10193/Kpts-II/2002, luas kawasan hutan dan areal penggunaan lainnya sekitar 384.292 hektare.

Ekosistem Leuser dilindungi Keputusan Presiden No.33 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser. Sementara Taman Nasional Gunung Leuser seluas 792.672 hektare, yang berada di dalam Ekosistem Leuser, ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan pada 23 Mei 1997 (KepMenHut No.276/Kpts-VI/1997).

Sungai Alas yang membentang di daerah Bengkung, Perbatasan Aceh Tenggara dan Subulussalam begitu menantang untuk ditelusuri. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Hutan hujan ini sangat alami dan menyimpan pesona alam tak terbantahkan. Hutan ini kaya akan flora dan fauna, termasuk sebagai habitat kunci badak sumatera, harimau sumatera, gajah sumatera, dan orangutan sumatera. Empat mamalia besar ini hidup di bentang yang sama, di Leuser. Diperkirakan, ada 105 spesies mamalia, 382 spesies burung, dan 95 spesies reptil dan amfibi yang hidup di sini.

Dengan topografinya yang mengagumkan, fungsi ekosistem Leuser begitu penting untuk mendukung kehidupan sekitar empat juta orang yang tinggal di daerah sekitarnya. Mereka yang berada di Aceh maupun Sumatera Utara. Jasa ekologis kawasan ini ditaksir bernilai USD 600 juta per tahunnya dan fungsi pentingnya sebagai pencegah banjir dan erosi, penyuplai air untuk pertanian, begitu nyata bagi kehidupan masyarakat keseharian. Keindahan alamnya juga dapat dikembangakan untuk pariwisata.

Satwa liar yang ada di Leuser merupakan keragaman hayati yang berperan penting menjaga ekosistem alam yang ada. Foto atas (belalang) dan bawah (kupu-kupu): Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Diperkirakan, sekitar 1,5 miliar ton karbon terkandung di hutan Leuser. “Kami masyarakat lokal sangat tergantung dari alaminya hutan Leuser. Dari hutan ini kami menggantungkan hidup, secara langsung maupun tidak,” sebut Johan, salah seorang masyarakat Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh.

Orangutan sumatera yang kehidupan dan habitatnya harus kita lindungi dari segala bentuk kejahatan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Johan pemilik penginapan di pinggir hutan Leuser ini mengaku, sebagian besar tamu yang menginap itu merupakan wisatawan yang ingin menikmati keindahan hutan Leuser. “Kalau hutan Leuser rusak, wisatawan tidak akan mau datang ke sini, sementara sebagian besar masyarakat Ketambe menggantungkan hidup dari pariwisata,” ujar Johan.

Berdasarkan penelitian Pieter van Beukering (2002), ekosistem Leuser memberikan jasa ekologi luar biasa bagi masyarakat sekitar. Selain itu, Leuser merupakan benteng terakhirnya kehidupan badak, harimau, gajah, dan orangutan sumatera. Tidak ada tempat lain di dunia ini yang sungguh mengagumkan sebagaimana Leuser.

Pemandangan menyejukkan di hutan Leuser yang tidak akan tergantikan oleh apa pun. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Ancaman

Ancaman bagi keanekaragaman hayati di kawasan ekosistem leuser (KEL) adalah konversi lahan untuk tujuan pertanian (milik Negara, korporasi/perusahaan dan milik masyarakat), penggalian batu kapur dan penambangan skala kecil (seperti emas), IDPs (pengungsi internal – mencapai ribuan keluarga), pertumbuhan enclave, illegal logging, perambahan, sawmill illegal, usaha perabot/meubel, kilang kayu, pembukaan jalan (pembangunan jaringan jalan “Ladia Galaska”), panglong kayu, perburuan satwa dan penangkapan ikan dengan menggunakan dinamit, sengatan listrik, potassium dan racun berbahaya lainnya. Ancaman lain yang juga terjadi adalah pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit seperti yang terjadi di Aceh Tamiang, Aceh Selatan (Rawa Kluet) dan Rawa Singkil (Kabupaten Rawa Singkil).Pembalakan liar di Taman Nasional Gunung Leuser kawasan Besitang, Kabupaten Langkat diperhitungkan mencapai Rp 3,6 triliun. Kerugian tersebut dihitung dari luas kerusakan hutan Taman Nasional Gunung Leuser di kawasan Besitang yang mencapai lebih dari 21.000 hektar. Hutan yang rusak ini didominasi oleh jenis meranti. Tenaga kerja untuk illegal logging ini antara lain pengungsi asal Aceh yang masih menetap di dalam kawasan TNGL. Saat ini masih terdapat sekitar 700 kepala keluarga pengungsi asal Aceh yang menetap di TNGL kawasan Besitang.

Hutan lebat yang rupawan di Taman Nasional Gunung Leuser. Sumber air melimpahnya memberikan manfaat sangat besar bagi masyarakat. Foto: Junaidi Hanafiah

Beberapa indikasi yang menunjukkan adanya ancama kerusakan ekosistem Leuser antara lain:

  1. Jumlah penduduk umumnya berada dalam batas ambang yang berarti sebagian besar penduduk yang bergantung kepada lahan budidaya pertanian, dihadapkan pada daya dukung lahan yang semakin rendah, sementara tekanan akibat pertambahan penduduk absolut semakin meningkat
  2. Isu pembangunan perkebunan (dan pertanian) mempengaruhi motivasi sebagian besar masyarakat di sekitar ekosistem Leuser, terutama di Kabupaten Aceh Selatan dan Langkat untuk mengembangkan lahan usaha budidaya tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet dan kakao) yang membutuhkan areal relatif luas. Dalam hal ini, konflik antara kepentingan pengembangan lahan budidaya dengan aspek pelestarian sumberdaya alam ekosistem Leuser semakin dirasakan
  3. Upaya pemerintah untuk mengembangkan sektor non-pertanian di kecamatan-kecamatan di kawasan penyangga ekosistem Leuser tampaknya terbatas, bahkan dalam kebijaksanaan pembangunan Provinsi NAD, dua kabupaten dimana ekosistem Leuser berada yaitu Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Tenggara diarahkan kepada wilayah pembangunan dan pengembangan pertanian-perkebunan.

sumber : mongabay tfcasumatera