BAGIKAN
Air di atas daun
(Lukas Bato/Unsplash)

Ilmuwan belum lama ini menemukan sejnis ikatan kimia yang benar-benar baru dan ikatan ini sangat kuat dari yang seharusnya.

Jika kita mengingat kembali apa yang kita pelajari tentang ilmu kimia di sekolah menengah, mungkin kita mengingat bahwa ada beberapa jenis ikatan kimia yang mengikat atom menjadi molekul dan struktur kristal.

Ikatan ionik yang mengikat ion logam dan non logam untuk membentuk senyawa garam. Ikatan kovalen yang kuat mengikat molekul seperti karbondioksida dan air. Ikatan hidrogen yang jauh lebih lemah yang terbentuk karena adanya tarikan elektrostatis antara hidrogen dan atom atau molekul yang lebih bermuatan negatif, misalnya ketika gaya tarik menarik antara molekul-molekul air dan membentuk droplet atau kristal es.

Ikatan ionik, ikatan kovalen dan ikatan hidrogen semuanya relatif stabil. Ikatan-ikatan tersebut cenderung untuk terus bertahan dalam waktu yang lama dan pengaruhnya dapat dengan mudah diamati.

Tetapi para peneliti telah lama mengetahui bahwa selama terjadinya reaksi kimia, saat ikatan kimia terbentuk ataupun terpecah, apa yang sebenarnya terjadi jauh lebih rumit. Selain itu melibatkan “keadaan antara” yang mungkin terjadi selama sepersekian detik saja dan sangat sulit untuk diamati.

Dalam penelitian ini, para peneliti dapat membuat ‘kondisi antara’ ini berlangsung dalam waktu yang lebih lama sehingga memungkinkan untuk melakukan pengamatan. Apa yang mereka temukan adalah sebuah ikatan hidrogen dengan kekuatan yang sama dengan sebuah ikatan kovalen. Mengikat atom-atom menjadi sesuatu yang menyerupai sebuah molekul.

Untuk melakukannya, para peneliti melarutkan senyawa hidrogen fluorida ke dalam air dan mengamati bagaimana atom-atom hidrogen dan fluorin saling berinteraksi. Atom-atom fluorin tertarik menuju atom hidrogen karena adanya ketidakseimbangan muatan positif dan negatif pada permukaannya. Ini merupakan struktur klasik dari ikatan hidrogen. Setiap atom hidrogen cenderung terjepit diantara dua atom fluorin.

Atom-atom tersebut saling berikatan dengan dengan lebih kuat pada posisi tersebut dibandingkan dengan ikatan hidrogen biasa. Atom-atom hidrogen memantul bolak balik diantara atom-atom fluorin, membentuk ikatan yang sama kuatnya dengan ikatan kovalen dan menyerupai molekul, yang seharusnya tidak dapat dibentuk oleh ikatan hidrogen.

Mekanisme ikatan baru tersebut adalah elektrostatis, artinya ikatan tersebut melibatkan perbedaan antara muatan positif dan negatif yang membentuk ikatan hidrogen.

Ikatan baru ini memiliki kekuatan 45,8 kilokalori per mol (unit energi ikatan kimia), jauh lebih besar dari kekuatan beberapa ikatan kovalen. Molekul-molekul nitrogen, sebagai contoh, terbentuk dari dua atom nitrogen yang saling berikatan dengan kekuatan sekitar 40 kcal/mol, menurut Libre Text.

Satu ikatan hidrogen umumnya memiliki energi sekitar 1 hingga 3 kcal/mol, menurut buku Biochemistry.

Para peneliti menjabarkan hasil penelitian mereka dalam sebuah makalah yang dipublikasikan hari kamis (7/1/2021) di dalam jurnal Science. Dalam sebuah artikel penyerta di Science, Mischa Bonn dan Johannes Hunger, peneliti di Max Planck Institute for Polymer Research di Jerman, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menjelaskan bahwa ikatan yang tidak biasa ini mengaburkan kategori dari kimia.

“Terbentuknya sebuah ikatan kovalen hidrogen hibrida ini tidak hanya membuat kita tertantang untuk memahami lebih jauh tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan ikatan kimia, tetapi juga memberikan kesempatan pada kita untuk memahami dengan lebih baik lagi tentang reaksi kimia,” tulis para peneliti. “dimana “keadaan reaksi antara” ini sering terjadi, tetapi jarang sekali dipelajari secara langsung.”

Ikatan kimia yang sama juga terbentuk pada air murni, ketika atom hidrogen berada diantara dua buah molekul air. Ikatan tersebut memang ada tetapi tidak stabil, demikian para peneliti menulis. 

Penelitian ini, dapat membuka pintu pemahaman lebih jauh tentang “ikatan kimia yang kuat” dan juga keadaan reaksi kimia antara.


Artikel ini walnya diterbitkan di Live Science