BAGIKAN
(Macau Photo Agency/Unsplash)

Setidaknya, 50% kasus baru dari COVID-19 disebabkan oleh orang-orang tanpa gejala, sebuah penelitian menunjukkan.

Temuan yang diterbitkan di Journal of the American Association ini selaras dengan perkiraan dari pusat pengendalian penyakit AS (CDC) sebelumnya. Dalam laporannya tersebut, CDC  menyebutkan bahwa orang-orang tanpa gejala “diperkirakan bertanggung jawab atas lebih dari 50% transmisi”.

“Selain identifikasi dan isolasi orang dengan gejala COVID-19, pengendalian penyebaran yang efektif akan memerlukan pengurangan risiko penularan dari orang dengan infeksi yang tidak memiliki gejala” tulis para peneliti, yang dikepalai oleh Jay C. Butler dari CDC.

“Berdasarkan asumsi dasar, sekitar 59% dari semua penularan berasal dari penularan tanpa gejala: 35% dari individu tanpa gejala dan 24% dari individu yang tidak pernah bergejala”

”Masih ada beberapa kontroversi tentang pengaruh mitigasi komunitas, antara lain pemakaian masker wajah, menjaga jarak dan menjaga kebersihan tangan, untuk membatasi penyebaran,” kata Butler.

Dalam penelitian ini, para penelitian membagi dalam tiga faktor yang paling berpotensi menyebarkan COVID-19: pre-simptomatik (orang-orang yang belum menunjukkan gejala), tanpa gejala dan dengan gejala.

Melansir Business Insider, para peneliti kemudian membuat model komputer untuk melihat seberapa besar kemungkinan setiap kelompok untuk menularkan COVID-19 berdasarkan pada berapa lama seseorang menjadi sangat menular bagi yang lain. Para peneliti berasumsi bahwa orang-orang di semua kelompok tersebut akan menjadi sangat menular dalam lima hari setelah terpapar virus corona. Masa ini disebut oleh para peneliti sebagai periode inkubasi median, yaitu waktu yang dibutuhkan oleh kebanyakan orang hingga gejala mulai timbul setelah terpapar virus.

Model tersebut awalnya berasumsi bahwa 30 persen dari orang-orang tersebut adalah asimptomatik (tanpa gejala). Dan 75 persen dari orang-orang tersebut akan menularkan penyakit sebagaimana bagi mereka yang menunjukkan gejala atau akhirnya bergejala. Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa orang-orang tanpa gejala bertanggung jawab atas 24 persen kasus infeksi.

Para peneliti juga membuat model skenario apabila puncak penularan terjadi setelah tiga, empat dan tujuh hari, dan mereka menaikkan dan menurunkan persentase dari orang-orang tanpa gejala pada model tersebut, demikian juga nilai relatif penularan dari kelompok lainnya. Dari semua skenario tersebut, orang-orang tanpa gejala (asimptomatik dan persimptomatik) ditemukan berpotensi menularkan 50 persen dari kasus infeksi baru.

“Proporsi dari penularan masih berada diatas 50 persen dari semua nilai dasar yang ada,” kata Butler, ia menambahkan bahwa konsistensi dari penemuan tersebut cukup mengejutkan para peneliti. Bahkan dari perkiraan yang paling konservatif sekalipun. Di mana puncak dari penularan terjadi tujuh hari setelah terpapar dan peranan orang-orang tanpa gejala terhadap penularan adalah 0 persen. Kelompok pre-simptomatik masih bisa menjadi penyebab lebih dari 25 persen kasus baru secara keseluruhan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa skrining gejala COVID-19 memberikan pengaruh penting. Namun perlu didukung langkah pengujian terhadap setiap orang yang terencana secara strategis di berbagai tempat.

Para peneliti memperingatkan terkait model komputer yang mereka buat. Karena kemungkinannya akan mengesampingkan nilai persentase sebenarnya dari kasus COVID-19 yang timbul akibat penularan dari orang-orang tanpa gejala. Model tersebut hanya memperhitungkan tingkat penularan ketika setiap orang beraktivitas di luar rumah secara acak.