BAGIKAN
Photo by camilo jimenez on Unsplash

Platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram awalnya dibuat sebagai media untuk menghubungkan kita dengan teman-teman dan keluarga. Tetapi kini media sosial telah dijadikan sarana ampuh untuk menyebarkan berita-berita bohong. Dan sayangnya, banyak dari kita yang begitu saja percaya pada apa yang disampaikan di media sosial tanpa pernah memeriksa kembali kebenaran berita tersebut.

Kelompok yang tidak percaya dan menentang penggunaan vaksin, anti-vaxxer, akhir-akhir ini semakin giat mengkampanyekan gerakan mereka di platform sosial media dengan memanfaatkan situasi pandemi COVID-19. Mereka menebarkan isu di sosial media bahwa vaksin dimasukkan chip elektronik atau racun yang akan membuat kita semakin sakit.

Hingga kini belum ada satupun vaksin ditemukan untuk melawan virus corona baru, dan para ilmuwan maupun otoritas kesehatan tengah berusaha keras untuk menemukannya.



Video ‘Pandemic’ beredar di sosial media belakangan ini, isinya memuat klaim bahwa krisis COVID-19 sengaja dibuat oleh pemerintah, dan telah ditonton jutaan kali di YouTube dan streaming platform lainnya.

Sebuah daftar bahan-bahan berbahaya, seperti phenoxyethanol, kalium klorida, dikatakan ditemukan di dalam vaksin dalam kuantitas yang membahayakan (yang tentu saja tidak benar) telah dibagikan ribuan kali di Facebook sejak akhir April 2020.

Menurut Sylvain Delouvee, seorang peneliti sosial psikologi dari University of Rennes, Perancis pada AFP, retorika kelompok anti-vax ini bukanlah hal yang baru, tetapi mendapatkan sorotan besar selama pandemi ini. Gerakan anti-vaxx memanfaatkan internet dan krisis COVID-19 untuk menebarkan misinformasi tentang vaksin dan sosial media sangat efisien berperan sebagai “echo chamber” atau ruang untuk mendengar hanya yang sampaikan oleh kelompok anti vaxxers.

Terlepas dari klaim para penyedia platform yang menyatakan bahwa mereka telah membatasi konten anti vax di platform mereka, informasi-informasi palsu tentang vaksin terus berkembang tanpa kendali di media sosial.

Delouvee juga mengatakan bahwa retorika anti-vax terus menerus berkembang, tanpa adanya definisi yang jelas, artinya dapat menyentuh semua golongan, bahkan orang-orang yang memiliki perbedaan pandangan politik.

Beberapa klaim menyesatkan, seperti pada salah satu artikel yang mengklaim bahwa vaksin mengandung zat kimia beracun seperti yang digunakan pada injeksi mematikan untuk narapidana hukuman mati, terdeteksi muncul kembali online tanpa referensi langsung pada COVID-19.

David Broniatowski dari George Washington University, mengatakan bahwa mereka masih menyelidiki apakah para penentang vaksin ini lebih aktif berkampanye selama masa pandemi ini, atau apakah mereka lebih tersorot saat ini karena meningkatnya perhatian para pembaca pada pandemi ini.”

Menurut Amelia Jamison, dari University of Maryland, perhatian para pembaca pada COVID-19 dimanfaatkan oleh kelompok anti-vaxxers dengan membelokkan berita dalam bentuk narasi yang mereka inginkan.

“Mereka sebenarnya tidak besar, tetapi sangat vokal berbicara di grup online,” kata Jamison. “kondisi ini seperti memberi energi baru pada mereka.” 



Jamison mencatat bahwa di wilayah AS, gerakan-gerakan anti-vax, anti-mask dan anti karantina muncul secara serentak pada saat pandemi ini dengan memanfaatkan isu kebebasan berpendapat.

Mayoritas orang-orang di dunia-sekitar 80 persen – sedikit atau sangat setuju bahwa vaksin itu aman, menurut hasil survey tahunan bidang kesehatan dan sains yang diadakan oleh 2018 Wellcome global Monitor. Tujuh persen dari orang -orang tersebut berpendapat bahwa mereka “sedikit atau sangat tidak setuju, dan 11 persen tidak memiliki pendapat apapun.

Tetapi, tetap saja kampanye gerakan anti-vax ini semakin keras terdengar seiring dengan semakin merebaknya wabah COVID-19, seperti halnya ketika terjadi wabah campak pada tahun 2019, menurut penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Nature.

Organisasi Kesehatan dunia, WHO mengklasifikasikan fenomena “keraguan pada vaksin” sebagai salah satu dari ancaman Kesehatan global tahun 2019.