BAGIKAN
[flickr/Vin Crosbie]

Sebelum keruntuhan misterius lebih dari 1.000 tahun yang lalu, peradaban Maya di Mesoamerika adalah rumah bagi salah satu populasi terpadat dalam sejarah manusia.

Tetapi ketika peradaban kuno dan berkembang tersebar di semenanjung Yucatan, itu meninggalkan tanda yang merusak pada lingkungan yang masih bisa diamati hari ini.

Sebuah studi baru menunjukkan bahwa berabad-abad penggundulan hutan oleh orang-orang Maya telah secara drastis mengubah kemampuan hutan hujan lokal untuk menyimpan karbon di tanah. Dan bahkan sekarang –  setelah lama kota-kota Maya secara misterius ditinggalkan dan hutan tumbuh kembali – cadangan karbon di kawasan itu belum sepenuhnya pulih.

Dalam banyak hal, penelitian ini adalah peringatan terhadap penebangan pohon era modern di daerah tropis, yang saat ini berada pada skala yang mengkhawatirkan bahkan pada Maya kuno. Studi ini menunjukkan semua itu bisa berakibat serius bagi kandungan gas rumah kaca di masa depan.

“Ketika Anda pergi ke wilayah Yucatan hari ini, sebagian besar terlihat seperti hutan hujan tua yang padat,” kata penulis utama dan geokimiawan Peter Douglas.

“Tapi ketika Anda memperhatikan lebih seksama pada penyimpanan karbon di tanah, tampaknya ekosistemnya telah berubah secara mendasar dan tidak pernah kembali ke keadaan semula.”

Tanah adalah bahan utama dalam penelitian iklim karena mampu menyimpan jumlah karbon yang mencengangkan – lebih dari dua kali lipat jumlah atmosfer Bumi.

Ketika tanaman mati, karbon yang mereka ambil dari atmosfer dipindahkan ke tanah. Dan ketika karbon dari tanaman melekat pada mineral, ia dapat bertahan di tanah selama ribuan tahun.

Douglas dan timnya berangkat untuk menyelidiki. Karena sementara cadangan karbon di tanah telah dipelajari selama beberapa dekade, para ilmuwan masih tidak yakin apa yang bakal terjadi dengan karbon tersebut untuk rentang waktu yang panjang hingga berabad-abad atau bahkan ribuan tahun.

Memanfaatkan inti sedimen dari dasar tiga danau di Dataran Rendah Maya, Douglas dan timnya mengidentifikasi molekul spesifik dalam sampel, yang disebut lilin tanaman (malam), yang melekat pada mineral dan tersimpan di tanah untuk waktu yang lama. Umur molekul-molekul ini dan fosil tumbuhan di sekitarnya kemudian ditentukan melalui penanggalan radiokarbon.

Temuan menunjukkan penurunan 70 hingga 90 persen pada usia lilin tanaman, dan perubahan ini cocok dengan pola penggunaan lahan oleh Maya kuno. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah penggundulan hutan Maya, karbon yang disimpan di dalam tanah menjadi jauh lebih singkat jangka waktunya.

“Dengan menyatukan semuanya, kami menyadari ada satu set data penting di sini terkait deforestasi kuno terhadap perubahan dalam penampung karbon tanah,” jelas Douglas.

Tidak hanya temuan-temuan yang menawarkan sekilas ke masa lalu, mereka juga memberikan panduan untuk masa depan.

Para ilmuwan atmosfer sepakat bahwa sekitar 12 persen dari semua emisi iklim buatan manusia sekarang berasal dari deforestasi, kebanyakan di daerah tropis. Penelitian baru menunjukkan bahwa jika deforestasi berlanjut pada laju saat ini, itu bisa membahayakan salah satu penyerap karbon terbesar di dunia, yang berpotensi mempercepat pemanasan cepat planet kita.

“Ini menawarkan alasan lain – menambah daftar panjang – untuk melindungi kawasan hutan tropis tua yang tersisa di dunia,” kata Douglas.

“Itu juga bisa berimplikasi pada bagaimana kita mendesain hal-hal seperti penyeimbangan karbon, yang sering melibatkan reboisasi tetapi tidak sepenuhnya memperhitungkan penyimpanan karbon jangka panjang.”

Dengan kata lain, menanam pohon itu baik, tetapi jika deforestasi menyebabkan kerusakan jangka panjang terhadap cadangan karbon di tanah, semua itu bisa menjadi sia-sia belaka.

Sekarang, Douglas berharap untuk melakukan penelitiannya secara global.

Akan sangat baik untuk menganalisa hutan tropis di wilayah lain di dunia untuk mengetahui apakah pola yang serupa muncul – dan untuk mengetahui apakah deforestasi dan pertanian manusia di masa lalu memiliki dampak pada cadangan karbon tanah secara global,” kata Douglas.

“Saya juga sangat tertarik menerapkan teknik ini ke daerah permafrost di Kanada untuk melihat apa yang terjadi pada karbon yang tersimpan dalam permafrost selama periode perubahan iklim sebelumnya.”

Studi ini telah dipublikasikan di Nature Geoscience.