Pemanasan global adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata dari atmosfer, lautan dan daratan di planet Bumi. Suhu rata-rata global dari permukaan bumi diketahui telah meningkat 0,74 ± 0,18 ºC selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa sebagian besar dari peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 disebabkan oleh efek rumah kaca sebagai akibat aktivitas manusia.
Berdasarkan model iklim yang dijadikan acuan oleh IPCC, suhu permukaan global meningkat 1,1 hingga 6,4 ºC, dari tahun 1900 hingga 2100. Pemanasan dan kenaikan permukaan air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi rumah kaca telah stabil.
Menurut hasil penelitian terbaru yang dipublikasikan hari Senin lalu, pemanasan global membuat lautan semakin stabil, meningkatnya temperatur permukaan dan menurunnya kapasitas karbon yang dapat diserapnya. Dan pada peneliti iklim memperingatkan bahwa penemuan ini akan memberikan implikasi yang “besar dan menyulitkan” pada iklim global.
Perubahan iklim yang terjadi akibat ulah manusia, telah mengakibatkan meningkatnya temperatur permukaan di seluruh planet, menyebabkan ketidakstabilan lapisan atmosfer serta memicu timbulnya cuaca ekstrim, seperti badai.
Tetapi di lautan, naiknya temperatur permukaan memberi akibat yang berbeda, antara lain melambatnya proses pencampuran antara permukaan air laut hangat dan air laut dingin dan air yang kaya oksigen di kedalam laut.
Proses stratifikasi lautan terjadi ketika hanya sedikit air dari lautan dalam yang naik ke permukaan membawa oksigen dan nutrisi, sedangkan air di permukaan menyerap lebih sedikit karbondioksida dari atmosfer untuk dibawa ke dalam lautan.
Dalam sebuah laporan penelitian yang dipublikasikan dalam Nature Climate Change, sebuah tim ilmuwan iklim internasional menyatakan bahwa mereka menemukan proses stratifikasi global telah meingkat hingga mencapai 5,3 persen dari tahun 1960 hingga 2018.
Mereka mengatakan bahwa proses ini juga diperburuk dengan mencairnya lautan es, artinya lebih banyak air segar di lautan – yang lebih ringan dari air garam- juga terakumulasi di permukaan lautan.
Michael Mann, salah seorang peneliti dan juga professor ilmu iklim di Pennsylvania State University mengatakan bahwa “Tampaknya penemuan teknis ini memberikan implikasi yang besar dan menyulitkan.”
Implikasi dari proses ini antara lain memicu terjadinya “badai yang intens dan merusak” ketika permukaan air laut menghangat.
Mann juga menyoroti penurunan kapasitas CO2 yang dapat diserap oleh lautan, yang artinya polusi karbon akan semakin cepat terbentuk di atmosfer dari yang diperkirakan sebelumnya.
Dia memperingatkan bahwa model iklim dengan teknologi terbaru seringkali meremehkan proses stratifikasi lautan dan juga mengabaikan dampak buruknya terhadap iklim global.
Dengan semakin menghangatnya suhu permukaan laut dan rendahnya kandungan oksigen di permukaan, tentu saja akan berimplikasi pada kelangsungan biota laut.
Menurut Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC), dengan menyerap seperempat dari CO2 yang dihasilkan manusia dan juga menyerap lebih dari 90 persen dari panas akibat efek rumah kaca, populasi di lautan akan tetap bertahan, tetapi dengan harga yang tidak murah.
Lautan semakin bersifat asam, berpotensi menurunkan kapasitasnya untuk menyerap CO2. Temperatur permukaan yang hangat semakin memicu timbulnya badai tropis yang besar dan mematikan.
Gelombang panas lautan akan menyapu batu-batu karang, dan mempercepat mencairnya gletser dan lapisan es yang akan menaikkan tinggi permukaan laut.
Tahun lalu, dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam US Proceeding of the National Academy of Sciences, diperkirakan perubahan iklim akan memusnahkan hampir seperlima dari makhluk hidup di lautan, diukur berdasarkan massa, hingga akhir abad ini.