BAGIKAN
Lukas Beer

Penelitian baru telah menemukan bahwa ular dan mamalia berbagi satu set gen yang memiliki aktivitas serupa dalam jaringan kelenjar ludah dan bisa. Studi ini juga memberikan bukti nyata pertama dari hubungan molekuler yang mendasari antara kelenjar bisa pada ular dan kelenjar ludah pada mamalia.

“Bisa (racun hewan) adalah campuran protein yang digunakan hewan untuk melumpuhkan dan membunuh mangsa, serta untuk pertahanan diri,” kata penulis utama Agneesh Barua dari OIST.

Para ilmuwan mencari gen yang bekerja bersama dan berinteraksi kuat dengan gen racun. “Kami perlu mengetahui gen yang ada sebelum asal racun, gen yang memungkinkan munculnya sistem racun,” kata Barua.

Para peneliti mengidentifikasi sekitar 3.000 gen ‘bekerja sama’ dan menemukan bahwa itu memainkan peran penting dalam melindungi sel dari stres yang disebabkan oleh produksi berbagai protein. Gen ini juga merupakan kunci dalam mengatur modifikasi dan pelipatan protein. Ini adalah langkah penting dalam produksi racun, yang terdiri dari susunan protein yang semuanya harus diatur dengan benar.

Ketika protein dibuat, rantai panjang asam amino harus terlipat bersama dengan cara tertentu. Sama halnya seperti lipatan yang salah pada origami, satu salah langkah saja akan menghambat protein berfungsi dengan baik sesuai keperluan.

Ketika para peneliti kemudian memeriksa genom berbagai reptil dan mamalia – termasuk manusia – mereka menemukan bahwa mereka semua mengandung jenis gen yang sama. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa alih-alih mendukung produksi protein racun, jaringan ini memastikan pelipatan protein air liur yang benar, pada spesies yang tidak berbisa.

“Peran gen-gen ini dalam jalur respons protein yang terbuka sangat masuk akal karena racun adalah campuran protein yang kompleks. Jadi untuk memastikan Anda dapat memproduksi semua protein ini, Anda memerlukan sistem yang kuat untuk memastikan protein terlipat dengan benar sehingga dapat berfungsi secara efektif,” jelas Barua.

Ketika para peneliti mengamati jaringan kelenjar ludah dalam mamalia, mereka menemukan bahwa gen ini memiliki pola aktivitas yang mirip dengan yang terlihat pada kelenjar racun ular. Oleh karena itu para ilmuwan berpikir bahwa kelenjar ludah pada mamalia dan kelenjar racun pada ular berbagi inti fungsional purba yang telah dipertahankan sejak dua garis keturunan berpisah ratusan juta tahun yang lalu.

“Banyak ilmuwan secara intuitif percaya ini benar, tetapi ini adalah bukti kuat pertama yang nyata untuk teori bahwa kelenjar racun berevolusi dari kelenjar ludah awal,” kata Barua.

Sementara ular memiliki toksin mematikan dan meningkatkan jumlah gen yang terlibat dalam memproduksi bisa, mamalia seperti tikus menghasilkan racun yang lebih sederhana yang memiliki kemiripan tinggi dengan air liur. Kemudahan yang tampak dengan fungsi kelenjar ludah yang dapat diubah menjadi berbisa, adalah sangat mengejutkan.

“Ada eksperimen pada 1980-an yang menunjukkan bahwa tikus jantan menghasilkan senyawa dalam air liurnya yang sangat beracun ketika disuntikkan ke tikus lainnya,” kata Barua.

“Jika dalam kondisi ekologi tertentu, tikus yang menghasilkan lebih banyak protein beracun dalam air liur mereka, memiliki keberhasilan reproduksi yang lebih baik, maka dalam beberapa ribu tahun, kita mungkin menemukan tikus berbisa.”

Hispaniolan solenodon, salah satu hewan yang selamat dari tumbukan asteroid yang memusnahkan dinosaurus, adalah mamalia berbisa. Para peneliti lain, sebelumnya telah menunjukkan bahwa racun yang dimiliki oleh solenodon mengandung kallikrein. Ini adalah protein yang juga terdapat pada air liur manusia. Menandakan bahwa manusia sudah memiliki komponen dasar untuk pengembangan gigitan yang mematikan seperti halnya ular.

Penelitian ini telah diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.