BAGIKAN
Isaac Quesada (Unsplash)

Hampir satu juta orang di dunia telah terenggut nyawanya oleh COVID-19, dan hingga kini, banyak hal yang belum bisa dipahami oleh kita maupun para ilmuwan tentang penyakit ini. Orang-orang yang berusia muda, sehat dan dalam kondisi prima, dapat dengan mudah dikalahkan oleh virus. Dan sebaliknya, pada orang-orang di kelompok usia lainnya, virus ini hanya menyebabkan gejala-gejala ringan.

Dari hasil dua penelitian terbaru, para peneliti berhasil mengidentifikasi mekanisme sistem imun yang sangat penting yang bisa menjelaskan mengapa virus ini sangat mematikan, tetapi hanya pada orang-orang tertentu saj.

Dari hasil penelitian ini juga untuk pertama kalinya bisa dijelaskan mengapa pria lebih cenderung mudah terinfeksi virus ini dibandingkan wanita.



Laporan dari kedua penelitian ini, yang telah dipublikasikan dalam Science berfokus pada peran penting interferon tipe I (IFNs) yang menyebabkan terjadi perbedaan tingkat keparahan COVID-19 pada setiap orang. IFNs adalah protein yang dihasilkan oleh sel-sel yang terinfeksi untuk membantu menghentikan tersebarnya patogen yang menginfeksi mereka.

Tetapi pada beberapa orang, proses ini mengalami gangguan.

Dalam salah satu penelitian tersebut terlihat bahwa lebih dari 10 persen orang yang sehat yang mengalami gejala parah dari COVID-19 memiliki zat antibodi yang menyerang IFN pasien itu sendiri dan menghentikan perannya untuk melawan virus SARS-CoV-2.

Hasil penelitian lainnya yang melihat pada pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit dengan gejala parah, beberapa diantara mereka masih berusia 20an, dan ditemukan bahwa setidaknya 3,5 persen dari mereka mengalami mutasi genetik yang menghentikan peran IFNs dalam melawan virus.

“Penemuan ini memberikan bukti yang menarik bahwa gangguan dari interferon type I menjadi penyebab kondisi kritis pada pasien dengan COVID-19,” kata Jean-Laurent Casanova, seorang dokter dan juga pimpinan St. Giles Laboratory of Human Genetics of Infectious Diseases di Rockefeller University.

“Dan setidaknya secara teoritis, gangguan interferon ini dapat diatasi dengan obat-obatan yang penanganan medis yang ada.”

Berkolaborasi dengan sebuah tim peneliti internasional yang juga bagian dari COVID Human Genetic Effort, Casanova dan rekan-rekannya berhasil mengidentifikasi sebuah zat antibodi yang berperilaku abnormal dengan menetralisir satu atau lebih dari protein IFN miliknya pada setidaknya 101 dari 987 pasien dengan COVID-19 yang mereka uji (10,2 persen).

Dan bukan sekali ini saja kita melihat sistem imun menyabotase dirinya dan menghentikan fungsi interferon. Ketika terjadi infeksi bakteri, misalnya oleh bakteri Staphylococcus, seringkali menyebabkan peningkatan tingkat keparahan gejala infeksi karena tubuh memproduksi zat antibodi yang melawan mekanisme pertahanan interferon dalam dirinya.



Terjadinya sabotase oleh sistem imun juga terdeteksi pada pasien-pasien yang menjalani terapi dengan interferon untuk mengatasi infeksi seperti hepatitis, begitu juga pada pasien wanita yang menderita penyakit autoimun lupus.

Penemuan ini setidaknya dapat menjelaskan mengapa ditemukan satu diantara 10 pasien dengan COVID—19 yang mengalami kondisi kritis. Dan perkembangan ini tidak hanya berarti akan ada perubahan cara penanganan pada pasien, tetapi juga dapat mempermudah identifikasi siapa yang yang paling beresiko mengalami gejala parah COVID-19.

“Dan yang menarik, 94 persen pasien yang mengalami proses netralisasi antibodi otonom ini adalah pria, dan ini bisa menjelaskan mengapa pria lebih rentan mengalami kondisi parah COVID-19,” kata Stuart Tangye, kepala Oceania node of COVID human Genomic Effort.




Hasil penelitian kedua juga menemukan gen protein interferon bekerja juga di luar kemauan tubuh itu sendiri.

Dengan membandingkan gen dari 659 pasien dengan kondisi kritis karena COVID-19 dan 534 individual asimptomatik (tanpa gejala) atau infeksi ringan berhasil teridentifikasi 13 abnormalitas pada sekuens gen pada IFN pada aktivitas anti influenza. 

Hasil dari dua penelitian ini setidaknya bisa menjelaskan bagaimana virus corona ini menyerang dan menghancurkan sel-sel tubuh manusia dengan cara yang tidak biasa.