Menurut hasil temuan awal dari sebuah tim ilmuwan internasional, yang telah dipublikasikan belum lama ini dalam The Guardian, cadangan masif gas rumah kaca, yang selama ini tersimpan beku jauh di bawah dasar laut, dikhawatirkan saat ini mulai mencair.
Hasil penelitian ini,walaupun belum menjalani tahapan peer reviewed dan dianggap kontroversial oleh banyak kalangan, oleh beberapa ilmuwan iklim dalam artikel The Guardian dianggap sebagai klaim yang tidak berdasar. Dan para ilmuwan lainnya juga sependapat bahwa seharusnya penemuan ini harus menjalani tahapan peer reviewed sebelum dipublikasikan.
Tetapi menurut para ilmuwan yang meneliti tentang deposit rumah kaca yang disebut juga dengan gas metana hidrat, terlihat lebih mendukung klaim penemuan tersebut dibandingkan dengan para ilmuwan iklim, dan mereka sependapat bahwa ada kemungkinan serius yang seharusnya mulai dikhawatirkan dari sekarang.
Walaupun dianggap kontroversial, anggaplah bahwa penemuan terbaru ini menang benar-benar terjadi, bahwa gas metana yang membeku di dasar laut benar-benar telah mencair yang lepas ke udara. Apa artinya semua itu?
Metana bukanlah gas yang umumnya ada di atmosfer Bumi seperti karbondioksida, tetapi di dalam gas ini juga terkandung karbon dan berpotensi menjadi gas rumah kaca. Banyak dari kita yang pernah mendengar gas metana yang tersimpan di dalam ibun abadi (permafrost)di Arktik, tetapi masih sedikit orang yang menyadari bahwa gas ini tersimpan dalam jumlah masif dan terdapat deposit yang lebih besar jauh di bawah dasar laut.
Walaupun mencairnya gas rumah kaca di bawah dasar laut ini telah diperkirakan sebelumnya oleh para ilmuwan, baru pada pertengahan abad ini dianggap sebagai masalah yang serius. Jika memang mencairnya gas rumah kaca terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan, ini adalah sinyal ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan.
Metana terjebak di dalam bentuk hidrat di bawah permukaan Bumi selama jutaan tahun, dan mungkin lebih lama dari itu. Jika deposit ini mencair dengan cepat, kita harus mulai memikirkan parameter fisik dasar seperti temperatur dan tekanan udara yang merupakan satu-satunya cara untuk mengontrol formasi gas tersebut agar selalu dalam kondisi stabil.
Salah satu pengaruh yang tidak diperkirakan sebelumnya yang mempengaruhi stabilitas gas hidrat di bawah permukaan bumi sadalah medan magnet bumi yang selalu berfluktuasi. Keterkaitan ini ditemukan dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan tahun lalu, yang menyebutkan faktor ini berpotensi menyebabkan tidak stabilnya deposit metana di bawah permukaan bumi.
Dan ada juga kemungkinan adanya efek yang yang sama yang menyebabkan terjadinya kepunahan massal jutaan tahun yang lalu: kehancuran global dari gas hidrat yang memicu terjadinya peristiwa kepunahan massal Permian-trias, yang diperkirakan memusnahkan 90 persen dari spesies yang ada di Bumi, 250 juta tahun yang lalu.
Perkiraan lokasi deposit metana hidrat di seluruh dunia (World Ocean Review/ Wallmann et al.)
Faktor lainnya yang terabaikan adalah peran dari kehidupan mikrobial di Bumi. Mikroba telah ada di planet kita selama lebih dari 3 milyar tahun dan dapat ditemukan di semua lokasi di planet kita, termasuk jauh di bawah dasar laut, di tempat-tempat yang selama ini diperkirakan tidak ada satupun makhluk hidup yang bisa bertahan hidup, dan ternyata ada mikroba yang berkembang biak di sana.
Dan nampaknya sangat mungkin jika ada mikroba yang berinteraksi dengan gas hidrat yang tersimpan di bawah permukaan Bumi, bahkan mungkin saja mikroba tersebut menggunakan metana sebagai sumber energi mereka.
Bagaimana jika mikroba-mikroba tersebut justru malah menstabilkan “sumber makanan” mereka? Tim peneliti belum lama ini menemukan bakteria laut yang merubah metana menjadi protein sederhana atau ‘bio molekul’.
Selanjutnya, dalam sebuah eksperimen di laboratorium dan simulasi komputer, ditunjukkan terakselerasinya formasi gas hidrat oleh sejenis bio molekul. Jadi bisa dikatakan bahwa mikroba mungkin akan mengkoordinasikan cadangan gas hidrat dengan kondisi ketika ditemukan di bawah dasar laut.
Chris Allen, Professor of Cross-Disciplinary Microbiology, Queen’s University Belfast and Niall English, Professor, School of Chemical and Bioprocess Engineering, University College Dublin.