Sebelum es di kutub mencair, Inggris pernah terhubung dengan benua Eropa oleh suatu daratan yang kini telah tenggelam. Salah satu dari wilayah yang telah lenyap ini dikenal sebagai Doggerland. Di mana sejak 11.000 tahun yang lalu telah didiami oleh suatu masyarakat yang memilki suatu senjata yang khas. Terbuat dari tulang-tulang hewan dan juga manusia.
Di zaman modern, berbagai artefak dari peradaban masyarakat zaman batu ini telah ditemukan di dasar Laut Utara. Benda-benda budaya yang tak terhitung jumlahnya yang tersapu di sepanjang garis pantai di Belanda. Di antara berbagai artefak Mesolitikum yang berhasil dikumpulkan, ditemukan hampir 1.000 buah senjata tulang bergerigi.
Sekarang, sebuah tim yang dipimpin oleh para arkeolog dari Universitas Leiden, menganalisis lebih jauh beberapa senjata bergerigi Mesolitikum ini. Hasilnya telah dipublikasikan di Journal of Archaeological Science: Reports.
“Kami cukup yakin itu adalah ujung senjata,” arkeolog Joannes Dekker dari Universitas Leiden di Belanda mengatakan kepada New Scientist. Menunjukkan bahwa ujung senjata berduri, yang kemungkinan menghiasi panah atau mungkin tombak, menunjukkan tanda-tanda telah sering digunakan sebagai senjata atau perkakas.
Meskipun sebagian besar dari ujung senjata yang berusia sekitar 10.000 tahun terbuat dari tulang rusa merah, dua di antaranya terbuat dari kerangka manusia. Kesimpulan ini diperoleh setelah para peneliti dari Universitas Leiden, menganalisis 10 ujung senjata berduri menggunakan spektrometri massa dan sidik jari massa peptida kolagen (biasanya disebut sebagai ZooMS).
“Sebagai seorang ahli di bidang ini, saya benar-benar tidak menyangka itu. Benar-benar luar biasa,” kata Benjamin Elliottar dari Universitas Newcastle yang tidak terlibat dalam penelitian ini, kepada Smithsonian Magazine. Belum pernah para arkeolog menemukan bukti yang jelas bahwa masyarakat Eropa kuno membuat senjata mematikan dari tulang manusia.
“Ada kemungkinan bahwa penggunaan bahan tulang rusa merah untuk produksi tulang berduri hanya mencerminkan ketersediaan spesies ini pada kawanan fauna asli, yaitu seleksi oportunistik di antara kawanan fauna yang diburu,” tulis para peneliti.
“Alasan pemilihan strategis rusa merah atau tulang manusia dapat dikaitkan dengan sifat biomekanik tulang yang dipilih termasuk dimensi tulang, ketebalan tulang kortikal, dan bentuk serta morfologi tulang secara keseluruhan,”
Namun, berbagai hewan lainnya termasuk babi hutan seharusnya juga mudah didapatkan di wilayah itu. Sehingga tulang atau tanduknya juga dapat digunakan. Di mana setidaknya sifat-sifat biomekanismenya tidak begitu jauh berbeda.
“Ini bukan keputusan ekonomi. Pasti ada alasan lain, alasan budaya, mengapa betapa pentingnya untuk menggunakan spesies ini.” kata Dekker kepada Smithsonian Magazine. Dengan kelimpahan jumlah tulang-tulang hewan, penggunaan tulang manusia bukanlah dikarenakan kelangkaan bahannya.
Bagaimanapun sangat sulit untuk dapat mengetahui secara pasti alasan penggunaan tulang manusia dalam persenjataan Doggerland, yang pernah terletak di antara Inggris dan Belanda ini. Para peneliti berhipotesis bahwa penggunaan tulang rusa merah dapat mencerminkan beberapa bentuk makna atau simbolisme budaya tertentu yang dikaitkan dengan spesies tersebut.
“Kita harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa seleksi non-oportunistik juga didorong oleh makna atau simbolisme khusus budaya yang dikaitkan dengan spesies tertentu. Ada beberapa catatan etnografi tentang penggunaan sisa-sisa hewan untuk menandai identitas kelompok, jenis kelamin atau untuk menjuluki stereotip kemampuan dari suatu spesies (misalnya kaki rusa yang ringan)”
Penggunaan tulang manusia sebagai senjata bukanlah yang pertama kali ditemukan. Orang-orang dari Pulau Pasifik Papua New Guinea terbiasa membuat senjata mereka seperti pisau atau belati terbuat dari tulang paha manusia.