BAGIKAN
Credit: (PaleoFactory, Sapienza University of Rome) for Jurikova et al. (2020).

Kepunahan massal paling dahsyat terjadi sekitar 252 juta tahun yang lalu. Menandai akhir Zaman Permian dan awal Zaman Trias. Sekitar tiga perempat dari seluruh kehidupan di daratan dan sekitar 95 persen dari kehidupan di lautan lenyap hanya dalam beberapa ribu tahun saja.

Aktivitas dari gunung berapi raksasa di Siberia saat itu, dan pelepasan sejumlah besar metana dari dasar lautan telah lama diperdebatkan sebagai pemicu yang potensial dari kepunahan Permian-Trias ini. Tetapi penyebab pasti dan urutan peristiwa yang menyebabkan kepunahan massal tersebut, masih diperdebatkan. 

Kini, tim ilmuwan internasional untuk pertama kalinya mampu merekonstruksi seluruh rangkaian peristiwa pada saat itu. Secara meyakinkan dengan menggunakan teknik analitik mutakhir dan pemodelan geokimia inovatif. Studi tersebut telah dipublikasikan  di jurnal internasional Nature Geoscience.




Untuk studi mereka, tim BASE-LiNE Earth menggunakan arsip lingkungan yang sebelumnya sering diabaikan: cangkang fosil brakiopoda –  hewan laut yang memiliki “katup” keras (cangkang) pada permukaan atas dan bawah.

“Ini adalah suatu organisme yang mirip dengan kerang yang telah ada di Bumi selama lebih dari 500 juta tahun. Kami dapat menggunakan fosil brakiopoda yang terawetkan dengan baik dari Pegunungan Alpen Selatan untuk analisis kami. Cangkang ini tersimpan di dasar lautan dangkal di Laut Tethys sejak 252 juta tahun lalu dan merekam setiap kondisi lingkungan sesaat sebelum dan di awal kepunahan,” jelas Dr. Hana Jurikova, penulis pertama studi tersebut.

Dengan mengukur berbagai isotop unsur boron di cangkang fosil, tim tersebut dapat melacak perkembangan nilai pH di lautan 252 juta tahun lalu. Karena pH air laut terkait erat dengan konsentrasi CO2 di atmosfer, rekonstruksi yang terakhir juga dimungkinkan. 

“Dengan teknik ini, kami tidak hanya dapat merekonstruksi evolusi konsentrasi CO2 di atmosfer, tetapi juga secara jelas melacaknya kembali hingga ke aktivitas vulkanik. Pelarutan hidrat metana, yang telah diperkirakan sebagai penyebab potensial selanjutnya, sangat tidak mungkin berdasarkan pada data-data kami,” jelas Dr. Marcus Gutjahr dari GEOMAR, salah satu penulis studi ini.




Sebagai langkah selanjutnya, tim memasukkan data-data boron mereka dan menginvestigasi berbasis isotop karbon tambahan ke dalam model geokimia berbasis komputer yang mensimulasikan proses Bumi pada saat itu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanasan dan pengasaman laut yang terkait dengan injeksi CO2 vulkanik yang sangat besar ke atmosfer sudah berakibat fatal dan menyebabkan kepunahan berbagai organisme pengalsifikasi lautan tepat pada awal kepunahan. Namun, pelepasan CO2 juga mengakibatkan konsekuensi lebih lanjut; Dengan meningkatnya temperatur global yang disebabkan oleh efek rumah kaca, pelapukan kimiawi di daratan juga meningkat.

Organisme pengalsifikasi di laut termasuk moluska, foraminifera, coccolithophores, krustasea, echinodermata seperti bulu babi, dan karang. Cangkang dan kerangka yang dihasilkan dari proses pengapuran memiliki fungsi penting bagi fisiologi dan ekologi organisme yang membuatnya. Pelapukan kimiawi mengubah struktur molekul batuan dan tanah. Misalnya, karbon dioksida dari udara atau tanah terkadang bergabung dengan air dalam proses yang disebut karbonasi. Ini menghasilkan asam lemah, yang disebut asam karbonat, yang dapat melarutkan batuan.

Selama ribuan tahun, peningkatan jumlah nutrisi mencapai lautan melalui sungai dan pantai, yang kemudian menjadi terlalu subur. Hasilnya adalah penipisan oksigen dalam skala besar dan perubahan seluruh siklus unsur. “Runtuhnya siklus dan proses penopang kehidupan yang saling berhubungan seperti efek domino ini pada akhirnya menyebabkan tingkat bencana yang teramati dari kepunahan massal di batas Permian-Trias,” Dr. Jurikova meyimpulkan.

“Tanpa teknik baru ini, akan sulit untuk merekonstruksi proses lingkungan lebih dari 250 juta tahun yang lalu dengan tingkat detail yang sama seperti yang kita lakukan sekarang,” tegas Prof. Dr. Anton Eisenhauer dari GEOMAR, mantan koordinator proyek BASE-LiNE Earth  dan rekan penulis studi terbaru ini, “selain itu, metode baru dapat diterapkan untuk aplikasi ilmiah lainnya.”