Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa jika saja perang nuklir antara AS dan Rusia terjadi, maka dapat mengakibatkan perubahan iklim yang disebut dengan “musim dingin nuklir”. Sekarang, para peneliti dari Rutgers University, the National Center for Atmospheric Research dan University of Colorado telah kembali memperkuat hipotesis ini menggunakan pemodelan iklim terbarunya. Mereka telah mempublikasikan temuannya di Journal of Geophysical Research: Atmospheres.
Gagasan “musim dingin nuklir” mulai populer di tahun 1983, ketika sebuah penelitian, yang ditulis oleh tim peneliti termasuk Carl Sagan, pertama kali memperkirakan bahwa jelaga dari kebakaran yang diakibatkan perang nuklir akan terbang dan terkumpul di atmosfer sehingga menghalangi sinar matahari untuk mencapai Bumi dan planet inipun akan menjadi lebih dingin.
Dalam upaya terbarunya ini, para peneliti menganalisis sejumlah besar variabel, seperti perkiraan jumlah bom, kekuatannya, di lokasi mana akan meledak, dan jumlah asap yang mungkin dihasilkan oleh setiap ledakan yang ditimbulkan oleh masing-masing bom. Dalam analisisnya, mereka memilih untuk menelaah lebih jauh dengan skenario terburuk, di mana semua senjata atom yang dimiliki oleh kedua negara digunakan dalam perang nuklir secara habis-habisan. Dalam skenario seperti itu, para peneliti berasumsi bahwa semua bom akan mendarat di AS atau Rusia.
Model baru yang digunakan oleh para peneliti disebut the Community Earth System Model-Whole Atmosphere Community Climate Model—version 4. Selanjutnya, semua hasil dari pemodelan terbaru ini dibandingkan dengan yang ditemukan oleh Goddard Institute for Space Studies ModelE di tahun 2007.
Para peneliti melaporkan bahwa kedua model menunjukkan musim dingin nuklir (dengan penurunan suhu global sekitar 9 Kelvin) dapat diakibatkan oleh perang seperti itu. Kedua model menghasilkan musim dingin nuklir yang berlangsung beberapa tahun. Mereka juga menunjukkan penurunan curah hujan sekitar 30 persen di seluruh dunia selama beberapa bulan pertama setelah peperangan.
Mereka lebih lanjut melaporkan bahwa ada juga perbedaan dalam prediksi — model sebelumnya meramalkan runtuhnya musim hujan dan perubahan besar pada peristiwa El Niño. Dan model baru meramalkan bahwa cakupan asap di seluruh dunia akan tertahan lebih lama di atmosfer dibandingkan dengan yang diprediksi model sebelumnya. Dan sementara ada beberapa perbedaan dalam waktu, keduanya menunjukkan bahwa perkembangan cakupan asap yang berawal di daerah yang terkena dampak, menyebar di belahan bumi utara, dan akhirnya menuju ke belahan bumi selatan.
Tidak ada model yang dirancang untuk memberikan prediksi tentang apa arti sebuah perang nuklir dahsyat bagi nasib manusia — teori-teori sebelumnya telah menyarankan perang semacam itu akan mengakibatkan kepunahan manusia, bersamaan dengan sebagian besar spesies lainnya. Prediksi terbaru menunjukkan bahwa mungkin saja tidak akan sampai terjadi seperti itu. Para peneliti dengan upaya terbarunya ini menemukan, misalnya, bahwa jumlah jelaga yang menuju atmosfer akan jauh lebih sedikit daripada yang dilepaskan ketika asteroid Chicxulub menghantam planet ini, memusnahkan dinosaurus 65 juta tahun yang lalu — meski tidak semua kehidupan di planet ini.