Bisakah kita melatih ternak menggunakan toilet? Apakah kita sanggup melakukannya?
Jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah ya — dan hal itu dapat membantu kita mengatasi masalahan pencemaran air dan perubahan iklim. Urin sapi mengandung nitrogen yang tinggi, dan ini berkontribusi pada berbagai masalah lingkungan.
Ketika sapi dipelihara terutama di luar ruangan, seperti di Selandia Baru dan Australia, nitrogen dari urin mereka terurai di dalam tanah. Ini menghasilkan dua zat bermasalah: nitrat dan dinitrogen oksida.
Nitrat dari bercak urin mengalir menuju danau, sungai, dan akuifer (air di bawah tanah yang ditampung oleh batuan) di mana ia mencemari air dan berkontribusi pada pertumbuhan gulma dan ganggang yang berlebihan.
Dinitrogen oksida adalah gas rumah kaca tahan lama yang 300 kali lebih kuat dari karbon dioksida. Ini menyumbang sekitar 12% dari emisi gas rumah kaca di Selandia Baru, dan sebagian besar berasal dari sektor peternakan.
Ketika sapi di peternakan terutama di lumbung ternak, seperti yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara, gas pencemar lainnya — amonia — dihasilkan ketika nitrogen dari urin bercampur dengan kotoran di lantai lumbung.
Namun, jika sebagian urin yang dihasilkan oleh ternak dapat ditampung dan diolah, nitrogen yang dikandungnya dapat dialihkan, dan dampak lingkungan berkurang. Tapi bagaimana caranya agar urin dapat dikumpulkan?
Kami menangani masalah ini dengan kolaborator dari Institut Penelitian Federal untuk Kesehatan Hewan dan Institut Penelitian untuk Biologi Hewan Ternak Jerman. Penelitian kami diterbitkan hari ini di jurnal Current Biology. Ini merupakan bagian dari tesis PhD rekan kami Neele Dirksen.
Pelatihan toilet (tetapi tanpa popok)
Dalam proyek penelitian kami, yang didanai oleh Volkswagen Foundation, kami menerapkan prinsip-prinsip dari psikologi perilaku untuk melatih sapi muda untuk buang air kecil di tempat tertentu — yaitu, menggunakan “toilet”
Psikologi perilaku memberi tahu kita bahwa suatu perilaku kemungkinan akan diulangi jika akan mendapatkan imbalan, atau “penyemangat”. Begitulah cara kita melatih anjing agar datang menghampiri saat dipanggil.
Jadi, jika kita ingin memicu suatu perilaku tertentu, seperti buang air kecil di tempat tertentu, kita harus menyemangati perilaku itu. Untuk proyek kami, kami menerapkan ide ini dengan cara yang hampir sama seperti untuk pelatihan toilet pada anak-anak, menggunakan sebuah prosedur yang disebut “backward chaining”.
Pertama, anak sapi dikurung di area toilet, semacam kakus untuk hewan ternak, dan diperkuat dengan makanan yang disukai saat mereka buang air kecil di tempat itu. Ini menetapkan jamban tersebut sebagai tempat yang ideal untuk buang air kecil.
Anak sapi itu kemudian ditempatkan di sebuah gang di luar kandang, dan kembali dipaksa untuk masuk kandang dan buang air kecil di sana. Jika mereka mulai membuang air kecil di gang, maka akan dipersulit oleh semprotan air yang agak tidak menyenangkan.
Setelah mengoptimalkan pelatihan, tujuh dari delapan anak sapi yang kami latih untuk belajar buang air kecil di kandang — dan mereka nanpu belajar secepat anak manusia.
Anak sapi hanya menerima 15 hari pelatihan dan sebagian besar mempelajari keterampilannya hingga selesai dalam 20 hingga 25 buang air kecil, di mana lebih cepat daripada waktu pelatihan toilet untuk anak-anak berusia tiga hingga empat tahun.
Ini menunjukkan kepada kita dua hal yang tidak diketahui sebelumnya.
- sapi mampu belajar untuk memperhatikan refleks buang air kecil mereka sendiri, karena mereka bergerak menuju jamban di kandang ketika siap untuk menggunakannya
- sapi sanggup belajar menahan buang air kecil sampai mereka berada di tempat yang tepat, jika mereka diberi imbalan karena melakukannya.
Tahapan selanjutnya
Penelitian kami adalah bukti dari konsep. Sapi dapat dilatih menggunakan toilet, dan tanpa banyak kesulitan. Tetapi meningkatkan metode untuk aplikasi praktis di bidang peternakan melibatkan dua tantangan lebih lanjut, yang akan menjadi fokus pada tahap berikutnya dari proyek kami.
Pertama, kita membutuhkan cara untuk mendeteksi buang air kecil di dalam jamban kandang dan memberikan penyemangat secara otomatis — tanpa campur tangan manusia.
Ini mungkin tidak lebih dari sekadar masalah teknis. Sebuah sensor elektronik untuk buang air kecil tidak akan sulit untuk dikembangkan, dan sejumlah kecil imbalan yang menarik dapat disediakan di dalam jamban.
Selain itu, kita juga perlu menentukan lokasi optimal dan jumlah jamban yang dibutuhkan. Ini adalah masalah yang sangat menantang di negara-negara seperti Selandia Baru, di mana ternak menghabiskan sebagian besar waktunya di padang terbuka daripada di lumbung ternak.
Bagian dari penelitian masa depan kami akan membutuhkan pemahaman seberapa jauh ternak bersedia mau berjalan menggunakan jamban kandang. Dan masih banyak yang harus dilakukan untuk memahami cara terbaik menggunakan teknik ini dengan hewan dalam konteks peternakan di dalam dan luar ruangan.
Apa yang kita ketahui adalah bahwa nitrogen dari urin sapi berkontribusi terhadap polusi air dan perubahan iklim, dan efek ini dapat dikurangi dengan melatih sapi menggunkan toilet.
Semakin banyak urin yang dapat kita tampung, semakin sedikit yang kita perlukan untuk mengurangi jumlah ternak untuk memenuhi target emisi — dan semakin sedikit kita harus berkompromi dengan ketersediaan susu, mentega, keju, dan daging dari ternak.
Douglas Elliffe, Professor of Psychology, University of Auckland, University of Auckland and Lindsay Matthews, Honorary Academic, Psychology Department, University of Auckland.