BAGIKAN
Credit : Dana Ackerfeld

Pada awalnya, manusia purba sering berburu hewan-hewan besar. Semakin lama, hewan buruan ini semakin berkurang hingga akhirnya mengalami kepunahan. Karena hewan besar semakin langka, manusia purba beradaptasi untuk berburu hewan yang lebih kecil dan lebih gesit. Pada saat inilah manusia mengembangkan kemampuan kognitif yang lebih tinggi, yang diikuti oleh pertumbuhan volume otak dari 650cc menjadi 1.500cc. Demikian menurut sebuah penelitian yang makalahnya telah diterbitkan di Quaternary Journal.

Temuan ini bisa menjelaskan berbagai simpang siur terkait evolusi fisiologis, perilaku dan budaya manusia. Terutama, sejak kemunculan pertamanya sekitar dua juta tahun yang lalu, hingga revolusi pertanian yang berkembang sekitar 10.000 tahun lalu.

Beberapa temuan terakhir semakin membuktikan bahwa manusia merupakan faktor utama dalam kepunahan hewan besar. Akibatnya manusia harus mengubah cara dan target hewan buruan yang lebih kecil sesuai dengan pasokan lingkungan. Awalnya di Afrika dan kemudian berlanjut di semua belahan dunia lainnya.

Mengapa otak kita enam kali lebih besar dari mamalia lain dengan ukuran tubuh yang sama? Hipotesis utamanya adalah bahwa ekspansi otak kita didorong oleh tekanan sosial, kebutuhan untuk bekerja sama atau bersaing dengan orang lain. Tetapi faktor kunci yang memungkinkannya adalah tantangan ekologis seperti bagaimana cara menemukan makanan dan menyalakan api.

Saat manusia pertama kali muncul di Afrika 2,6 juta tahun yang lalu, bobot rata-rata mamalia daratnya hampir mencapai 500kg. Namun, tepat sebelum munculnya era pertanian, ukuran berat hewan-hewannya menurun beberapa puluh kilogram. Diperkirakan hingga lebih dari 90%.

Menurut para peneliti, berkurangnya ukuran dari hewan buruan dan keharusan untuk berhasil dalam berburu hewan kecil dan gesit, telah memaksa manusia untuk mengembangkan kecerdikan dan keberanian. Sebuah proses evolusi yang memerlukan peningkatan dari volume otak manusia.

Manusia purba perlu strategi dan bekerja sama agar behasil menangkap hewan buruannya yang lebih lincah. Dengan demikian, in dapat memicu perkembangan bahasa yang memungkinkan pertukaran informasi tentang di mana mangsa dapat ditemukan. Pada akhirnya semua perkembangan yang dilalui, bermuara pada pengehematan energi dari tubuh manusia sendiri.

Para peneliti menunjukkan bahwa, selama sebagian besar evolusinya, manusia purba adalah predator puncak (atas), yang berspesialisasi dalam berburu hewan-hewan besar. Sebagaimana sebagian besar biomassa yang tersedia untuk berburu, hewan-hewan ini memberikan lemak kandungan tinggi pada manusia. Suatu sumber energi yang penting, daripada hewan buruan yang berukuran lebih kecil.

Enam spesies gajah berebeda pernah hidup di Afrika di masa lalu, telah mencakup lebih dari setengah biomassa semua herbivora yang diburu manusia. Bukti awal dari Afrika Timur menunjukkan bahwa homo sapiens hanya muncul di kawasan tersebut setelah terjadi penurunan jumlah spesies gajah yang signifikan di kawasan tertentu.

Para peneliti membandingkan berbagai ukuran hewan dari temuan arkeologis yang dapat menggambarkan berbagai spesies manusia berbeda di Afrika timur, Eropa selatan, dan Israel. Mereka menemukan bahwa terdapat penurunan yang signifikan dalam prevalensi hewan dengan berat lebih dari 200 kg, yang seiring dengan peningkatan volume otak manusia.

“Kami menghubungkan peningkatan volume otak manusia dengan kebutuhan untuk menjadi pemburu yang lebih cerdas,” kata arkeolog Dr. Miki Ben-Dor dari Universitas Tel Aviv.

“Misalnya, kebutuhan untuk berburu lusinan rusa dibandingkan dengan seekor gajah menghasilkan tekanan evolusioner yang berkepanjangan pada fungsi otak manusia, di mana saat itu menggunakan lebih banyak energi, baik dalam gerakan maupun proses berpikirnya.”

Perburuan hewan-hewan kecil yang terus menerus terancam oleh predator membuatnya menjadi sangat cepat untuk menghindar. Agar berhasil, manusia membutuhkan suatu fisiologi yang dapat menyesuaikan terhadap pengejaran serta peralatan berburu yang lebih canggih.

Aktivitas kognitif juga meningkat seiring semakin cepatnya hewan-hewan buruan yang terlacak, membutuhkan pengambilan keputusan yang cepat juga. Semua itu didasari oleh pengetahuan yang luar biasa dari manusia terkait perilaku hewan. Dan pengetahuan ini, merupakan informasi yang perlu disimpan dalam sebuah memori yang lebih besar.

“Adaptasi evolusioner manusia sangat berhasil,” kata Ben-Dor.

“Karena ukuran hewan semakin berkurang, penemuan busur dan anak panah serta penjinakan anjing memungkinkan perburuan yang lebih efisien terhadap hewan-hewan berukuran sedang dan kecil— sampai akhirnya populasi ini juga menyusut.

“Menjelang akhir Zaman Batu, ketika hewan berukuran semakin kecil, manusia harus mengerahkan lebih banyak energi untuk berburu daripada energi yang bisa mereka dapatkan kembali. Memang, di sinilah Revolusi Pertanian terjadi, yang melibatkan domestikasi hewan dan tanaman.”

“Ketika manusia pindah menuju ke pemukiman yang permanen dan menjadi petani, ukuran otak mereka menurun ke volume saat ini yaitu 1300-1400cc. Hal ini terjadi karena, dengan ketersediaan tanaman dan hewan peliharaan yang tidak dapat menghindar, tidak diperlukan lagi alokasi kemampuan kognitif yang luar biasa untuk tugas berburu.”

“Sementara otak simpanse, misalnya, tetap stabil selama 7 juta tahun, otak manusia bertambah besar tiga kali lipat, mencapai ukuran terbesarnya sekitar 300.000 tahun yang lalu,” kata Prof. Ran Barkai penulis penelitian dari dari Universitas Tel Aviv.

“Harus dipahami bahwa perspektif kita tidak deterministik. Manusia membawa masalah ini kepada diri mereka sendiri. Dengan berfokus pada perburuan hewan terbesar, mereka menyebabkan kepunahan.”

“Di mana pun manusia muncul — baik homo erectus atau homo sapiens, kita lihat, cepat atau lambat, kepunahan massal hewan besar. Ketergantungan pada hewan besar ada harganya. Manusia mengurangi mata pencaharian mereka sendiri. Tetapi sementara itu, spesies lain seperti sepupu kita Neanderthal, punah ketika mangsa besarnya lenyap, homo sapiens memutuskan untuk memulai kembali, kali ini dengan mengandalkan pertanian.”