Manusia purba menandai dinding gua dengan stensil tangan berwarna merah dan murbei dan melukis mamalia asli raksasa atau makhluk imajiner manusia-hewan di Pulau Sulawesi, Indonesia.
Ini merupakan situs seni gua tertua yang pernah diketahui, atau setidaknya yang tertua yang dikaitkan dengan spesies kita.
Salah satu lukisan yang menggambarkan citra babi kutil Sulawesi baru-baru ini ditemukan setidaknya berusia 45.500 tahun.
Sejak 1950-an, para arkeolog telah mengamati bahwa lukisan-lukisan purba ini tampak melepuh dan terkelupas dari dinding gua. Namun, sedikit yang berusaha untuk mencari tahu penyebabnya.
Penelitian terbaru kami mengeksplorasi mekanisme pembusukan yang memengaruhi panel seni cadas kuno di 11 situs di Maros-Pangkep, Sulawesi.
Kami menemukan kerusakan yang lebih parah dalam beberapa dekade terakhir, dan akan bertambah buruk akibat percepatan perubahan iklim.
Penemuan lukisan gua dari era Pleistosen (“Zaman Es”) di Indonesia ini baru mulai memberi tahu kita tentang kehidupan manusia purba yang tinggal di Australasia.
Namun, seni ini mulai menghilang sebelum kita sepenuhnya mulai memahami maknanya.
Seni cadas Australasia
Seni cadas memberikan sekilas gambaran tentang budaya kuno para seniman dan perburuan atau interaksi dengan hewan saat itu.
Selain itu, petunjuk sangat langka tentang kepercayaan akan hal-hal supernatural dari manusia purba juga diawetkan dalam seni ini.
Kami beranggapan bahwa manusia telah menciptakan seni di Australasia, yang meliputi Australia utara, Papua Nugini, dan Indonesia, untuk waktu yang sangat lama.
Temuan pigmen merupakan salah satu bukti paling awal yang menunjukkan manusia purba mendiami Australia lebih dari 60.000 tahun yang lalu.
Puluhan ribu situs seni cadas yang khas tersebar di seluruh Australasia. Orang Aborigin paling banyak menciptakan gaya seni cadas di seluruh Australia.
Hingga tahun 2014, para ilmuwan mengira seni gua pertama kali di Eropa, misalnya, di Gua Chauvet di Prancis atau El Castillo di Spanyol , yang berusia 30.000 hingga 40.000 tahun.
Kita mengetahui sekarang bahwa manusia purba melukis di dalam gua dan tempat berbatu lainnya di Indonesia pada masa yang sama dan bahkan lebih awal.
Survei-survei yang sedang berlangsung di seluruh Australasia menemukan situs seni cadas baru setiap tahun.
Hingga saat ini, lebih dari 300 situs telah didokumentasikan di Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan.
Lukisan gua di Sulawesi dan Kalimantan adalah beberapa bukti awal manusia purba tinggal di pulau-pulau ini.
Sayangnya, kami menemukan seni cadas dalam tahap pembusukan di hampir setiap situs di kawasan tersebut.
Dampak besar dari kristal kecil
Kami mempelajari beberapa seni cadas tertua, secara ilmiah berusia antara setidaknya 20.000 dan 40.000 tahun, dari Maros-Pangkep untuk mengetahui penyebab penurunan karya seni tersebut.
Mengingat karya seni ini telah bertahan sangat lama, kami ingin memahami mengapa permukaan lukisan gua batu tersebut bisa terkikis begitu cepat.
Kami menggunakan mikroskop berdaya tinggi, analisis kimiawi, dan identifikasi kristal untuk mengatasi masalah tersebut.
Ternyata, garam yang tumbuh di atas dan di belakang seni cadas kuno dapat menyebabkan pengelupasan.
Garam tersimpan pada permukaan batuan melalui serapan air.
Ketika larutan air menguap, maka kristal garam terbentuk. Kristal ini lalu mengembang dan menyusut saat lingkungan memanas dan mendingin, menghasilkan stres pada batuan.
Dalam beberapa kasus, hasilnya adalah permukaan batu hancur menjadi bubuk.
Kasus lain, kristal garam membentuk kolom di bawah cangkang luar, mengangkat panel seni dan memisahkannya dari sisa batuan, menghapus lukisan tersebut.
Saat hari-hari panas, garam geologi bisa tumbuh lebih dari tiga kali ukuran awalnya.
Pada satu panel, misalnya, serpihan setengah ukuran tangan terkelupas dalam waktu kurang dari lima bulan.
Iklim ekstrem karena pemanasan global
Australasia memiliki atmosfer yang sangat aktif, akibat pengaruh arus laut yang kuat, angin musiman, dan reservoir air laut yang hangat.
Meski demikian, beberapa seni cadas sejauh ini berhasil bertahan selama puluhan ribu tahun menghadapi variasi iklim, dari dinginnya zaman es terakhir hingga awal muson saat ini.
Sebaliknya, situs seni gua Eropa yang terkenal, seperti Altamira di Spanyol dan Lascaux di Prancis, berada di gua-gua yang dalam dengan iklim lebih stabil (sedang) sehingga ancaman terhadap seni cadas berbeda dan pelapukan kurang agresif.
Kini, gas rumah kaca memperkuat iklim yang ekstrem.
Pemanasan global mencapai tiga kali lebih tinggi di daerah tropis.
Ditambah lagi, fase muson basah-kering menjadi lebih kuat dalam beberapa dekade terakhir, bersamaan dengan meningkatnya La Niña dan El Niño.
Hal ini menimbulkan efek seperti suhu meningkat, lebih banyak hari-hari panas berturut-turut, kekeringan lebih lama, dan cuaca ekstrem lainnya seperti badai (dan banjir yang diakibatkannya) lebih parah dan sering terjadi.
Terlebih lagi, hujan muson sekarang banyak terjadi di sawah dan tambak.
Hal ini mendorong pertumbuhan kristal garam karena udara terlalu lembab, termasuk gua-gua di wilayah tersebut, memperpanjang siklus penyusutan dan pembengkakan garam.
Apa yang terjadi sekarang?
Terlepas dari ancaman langsung dari perkembangan industri, seperti meledakkan situs arkeologi untuk penambangan dan penggalian batu kapur, penelitian kami memperjelas bahwa pemanasan global adalah ancaman terbesar bagi pelestarian seni cadas kuno di daerah tropis.
Kita memerlukan penelitian lebih lanjut, pemantauan dan pekerjaan konservasi di Maros-Pangkep dan di seluruh Australasia, di mana situs warisan budaya terancam oleh dampak merusak dari perubahan iklim.
Secara khusus, kita perlu mendokumentasikan detail seni cadas yang (seperti menggunakan pemindaian 3D) dan mengungkapkan lebih banyak situs sebelum menghilang selamanya.
Apabila manusia penyebabnya, kita perlu memperbaikinya.
Yang terpenting, kita perlu menghentikan kenaikan suhu global dan mengurangi emisi secara drastis.
Meminimalkan dampak perubahan iklim akan membantu melestarikan karya seni luar biasa yang ditinggalkan manusia purba Australasia bagi kita.
Jillian Huntley, Research Fellow, Griffith University; Adam Brumm, Professor, Griffith University; Adhi Oktaviana, PhD Candidate, Griffith University; Basran Burhan, PhD candidate, Griffith University, dan Maxime Aubert, Professor, Griffith University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.