BAGIKAN
Credit: Ben Bishop/youtube.com

“Mad” Mike Hughes seorang Flat Earthers tengah bersiap mengangkasa dengan roket buatannya untuk membuktikan bahwa Bumi itu datar

Seorang Flat Earther yang menganggap dirinya seorang daredevil (berani mati), “Mad” Mike Hughes sedang mempersiapkan peluncuran roket buatannya sendiri, sebuah roket bertenaga uap air di sebuah padang pasir California. Tujuan akhirnya adalah untuk mencapai “ujung” dari angkasa, tetapi seberapa besar kemungkinan dirinya untuk berhasil dan akhirnya bisa melihat bahwa bumi itu sebenarnya bulat?

Roket pertama Hughes pertama kali diluncurkan pada tahun 2014 dan sejak itu dia terus melakukan beberapa kali peluncuran dengan mesin buatannya, rekor tertinggi yang bisa dicapai sejauh ini adalah 572 meter.

Walaupun telah mengalami beberapa kali kecelakaan ketika berusaha mengangkasa untuk membuktikan teorinya, tidak menyurutkan dirinya untuk terus berusaha. Peluncuran roket terakhir yang dijadwalkan tanggal 11 Agustus, ternyata dibatalkan setelah ditemukan beberapa kesalahan pada roket buatannya. Dan rencananya akan diluncurkan kembali tanggal 17 Agustus.

Hughes sangat yakin bahwa bumi itu datar dan dia bisa membuktikannya dengan melakukan perjalanan ke angkasa dengan roket miliknya (dia mengklaim telah menerima bantuan dana dari the Infinity Plane Society). Dan dia sangat bertekad untuk kembali mengangkasa walaupunn nyawa taruhannya demi membuktikan apa yang dia yakini.

Tetapi apakah dia akan tetap melakukannya atau tidak bukanlah hal yang penting.  Mari kita fokus pada roket miliknya untuk melihat seberapa besar potensi keberhasilan misi pembuktian bumi datar ini.

Perhitungan matematika yang melatari kecepatan dari peluncuran sebuah roket berhasil dirumuskan pada tahun 1890 oleh seorang guru sekolah Rusia pada bernama Konstantin Tsiolkovsky.

Persamaan matematika miliknya memperhitungkan perubahan kecepatan berdasarkan massa dari bahan bakar roket— semakin banyak bahan bakar yang dimiliki, maka roket akan semakin cepat— dan seberapa cepat roket bisa membakarnya. Dan faktanya, persamaan tersebut masih dipakai hingga kini.

Penerbangan orbital adalah sebuah kombinasi dari altitude (ketinggian vertikal) dan percepatan (velocity). Untuk mencapai orbit di sekitar bumi dibutuhkan dua hal, pertama adalah dengan melakukan perjalanan dengan sangat cepat secara horizontal hingga mencapai lengkungan bumi sebelum gaya gravitasi menarik anda kembali ke bawah.

Anda juga harus bisa mencapai ketinggian dimana atmosfer telah menipis, karena jika tidak, maka kekuatan yang sangat besar dari udara akan menarik anda kembali, sehingga akan mengurangi kecepatan roket serta meningkatkan suhu disekitarnya.

Pada tahun 1950, seorang insinyur penerbangan Theodore Von Karman memperhitungkan titik dimana atmosfer bumi akan sangat menipis sehingga sangat tidak mungkin dicapai oleh penerbangan aeronautical biasa (yang membutuhkan atmosfer untuk terbang) adalah pada ketinggian di atas 100 kilometer (62 mil).

Dia menyebut batas ini sebagai “ujung’ dari angkasa, atau garis Karman. Dan untuk bisa mengorbit pada ketinggian ini dibutuhkan kecepatan horizontal 7,8 kilometer perdetik, atau sekitar 17.500 mil perjam.

Untuk bisa mencapai kecepatan ini, anda harus menggunakan bahan bakar dan juga bentuk mesin yang spesifik, bergantung pada pembakaran padatan atau cairan. Dan ketika bahan bakar dipanaskan akan diubah menjadi bentuk gas sehingga volumenya membesar, dan kondisi ini akan menekan bagian belakang mesin, menghasilkan tenaga dorong. Semakin banyak gas yang dihasilkan pada temperatur yang lebih tinggi, semakin cepat roket anda bergerak.

Rumah mobil Hughes yang bertindak sebagai peluncur roket pada November 2017. [Paul Buck/EPA]

Hughes menggunakan air sebagai bahan bakar roketnya. Masalah yang dihadapi jika menggunakan air sebagai bahan bakar adalah air tidak bisa mendidih dengan cepat—air memiliki kapasitas panas spesifik yang tinggi. Bisa diartikan, pada dasarnya, dibutuhkan energi yang sangat besar untuk mengubahnya menjadi uap air secara cepat agar bisa menghasilkan tenaga dorong yang besar.

Kita tidak tahu dengan pasti berapa dimensi dari roket buatan Hughes, tetapi berdasarkan deskripsinya, disebutkan roket tersebut berkapasitas “95-100 gallon air (360-379 liter), sangat panas, mempunyai kecepatan sama dengan kecepatan suara, dan mempunyai berat sekitar 1.800 pound, bisa kita perhitungkan berapa potensi ketinggian maksimum yang bisa dicapai dengan menggunakan persamaan roket Tsiolkovsky.

Perlu diketahui pula berapa velocity awal dari roket (yaitu 330 meter perdetik), massa awal roket (816 kilogram) dan massa akhir setelah semua air dan uap air lenyap ( 437 kilogram).

Persamaan ini menghasilkan perubahan kecepatan 206 meter perdetik. Yang berarti ketinggian maksimum yang bisa dicapai hanya sekitar 2 kilometer, dengan asumsi dia melakukan peluncuran secara horizontal ( berdasarkan persamaan dasar dari gerakan, dengan mengabaikan resistensi udara).

Pencapaian ketinggian tersebut sudah bisa dibilang hebat untuk sebuah roket buatan sendiri. Tetapi Mount Whitney, yang dekat dengan lokasi peluncuran di California, ketinggian puncaknya mencapai 4,5 kilometer ( 2,8 mil).

Ketinggian tersebut masih sangat jauh dari titik tepi angkasa. Bahkan tidak cukup untuk hanya melihat lengkungan bumi, dimana dibutuhkan ketinggian minimum sekitar 10 kilometer (6,2 mil).

Meskipun demikian, Hughes menyatakan bahwa dia membutuhkan dana bagi misinya untuk mencapai garis Karman pada peluncuran selanjutnya. Dengan membalikkan perhitungan, kita bisa memperkirakan bahwa dia membutuhkan perubahan percepatan minimum sekitar 1,4 kilometer per detik (0,9 mil per detik) untuk bisa melakukannya, dan untuk itu roket buatannya harus bisa membawa setidaknya 29.000 liter air.

Dan untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah, dibutuhkan sebuah tangki bahan bakar dengan volume 30 meter kubik, yang secara kasar sama dengan kapasitas untuk mebawa dua buah mobil van berukuran besar.

Penambahan ukuran dari tangki bahan bakar dan struktur yang mensupportnya akan menambah berat akhir dari roket, dan berakibat dibutuhkan lebih banyak lagi bahan bakar. Untuk bisa merancang mesin yang bisa menghasilkan tekanan dari air dan merubahnya seketika menjadi uap akan sangat sulit.

Dan kemungkinan sebuah roket dengan 30 meter kubik tangki bahan bakar untuk bisa meluncur keatas hampir tidak mungkin.

Setidaknya dia harus bisa menghindari bencana meledaknya tangki bahan bakar dilandasan pelucuran, masalah ini harus mendapat perhatian serius dalam setiap misi peluncuran roket. Perusahaan komersil semacam Falcon rockets dan Blue Origin telah menginvestasikan banyak uang untuk riset dan (secara logika) jika memang mereka bisa menggunakan material semurah air sebagai bahan bakar, pastilah mereka telah melakukannya.

Dan akhirnya, Hughes tidak akan berhasil mencapai ketinggian yang cukup untuk hanya melihat lengkungan bumi, tetapi saya menduga pacuan adrenalin di ketinggian sudah bisa mengganti segala usahanya.

Dan secara pribadi, saya mendoakan segala kebaikan bagi misi selanjutnya. Saya mungkin tidak sepaham dengan apa yang dia percaya, politisasi yang dia lakukan, dan ketidak percayaannya atas sains, tetapi saya memberi tepuktangan atas semangat dan juga sikapnya.


Ian Whittaker, dosen ilmu fisika di Nottingham Trent University 

The Conversation