Manusia pernah tinggal di hutan belantara dan hidup berkelompok sebagai pemburu-pengumpul ratusan ribu tahun yang lalu. Dalam kondisi yang begitu keras, manusia seringkali menjadi santapan atau menemui kematian akibat hewan-hewan yang membahayakan.
Pada dasarnya, semua manusia yang hidup saat ini adalah keturunan dari orang-orang yang telah selamat dari segala mara bahaya. Namun, dengan konsekuensi sifat-sifat tertentu yang justru membawa keselamatan itu, mungkin masih terbawa hingga saat ini.
Kira-kira, apa saja? Mungkin berikut ini hanyalah sebagian darinya:
Takut akan kegelapan
Sebelum manusia mendomestikasi api, ia kerap kali keselamatan jiwanya terancam. Saat malam tiba, tanpa alat penerangan yang dimiliki, manusia purba sering menjadi santapan hewan buas. Manusia bukanlah nocturnal (hewan malam), di mana penglihatannya tidak dapat menembus kegelapan.
Kondisi ini, membuat sebagian manusia purba merasakan ketakutan yang luar biasa saat berada dalam kegelapan. Ia menjadi lebih awas, penuh kesiagaan, dan berupaya berlindung di tempat yang lebih aman.
Sementara itu, orang-orang yang lebih berani, kegelapan tidak akan menimbulkannya kekhawatiran. Akibatnya, mereka menjadi kurang peduli dengan mata yang tengah mengawasinya dari balik semak-semak dan kegelapan. Lalu akhirnya, diterkam dan dijadikan sebagai santapan.
Karena telah selamat, orang-orang yang takut kegelapan adalah orang-orang yang kemudian beranak pinak. Juga, lebih besar kemungkinanya sifat-sifat itu diteruskan kepada keturunan, dibandingkan dengan sifat-sifat orang yang cenderung pemberani terhadap kegelapan. Lalu terekam secara genetika hingga sekarang dan dimiliki setiap manusia sedari kecil.
Menciptakan khayalan tertentu
Kecenderungan untuk secara salah menghubungkan sebab akibat – takhayul – terkadang bermanfaat, kata Kevin Foster ahli biologi evolusi di Universitas Harvard.
Misalnya, manusia prasejarah mungkin mengasosiasikan gemerisik suara rerumputan atau semak belukar dengan predator yang mendekat dan bersembunyi. Suara ini memang pada umumnya disebabkan oleh hembusan angin. Namun, jika itu adalah kemunculan dari sekelompok singa, ada manfaat besar untuk tidak berada di sekitarnya, kata Foster.
Selama usaha untuk mempercayai takhayul lebih kecil daripada usaha untuk mengabaikan hubungan yang sebenarnya, kepercayaan takhayul akan disukai. Orang menangkap pola-pola yang paling mudah dan menghubungkannya dengan sesuatu yang dianggap penting, alih-alih berpikir secara kritis.
“Otak kita adalah mesin pengenalan pola, menghubungkan titik-titik dan menciptakan makna dari pola-pola yang kita pikir kita saksikan di alam,” kata Michael Shermer, seorang penerbit majalah Skeptic. “Terkadang A benar-benar terhubung dengan B, dan terkadang tidak,” katanya.
“Ketika tidak, kita salah dalam berpikir bahwa itu benar, tetapi sebagian besar proses ini tidak mungkin menghapus kita dari kumpulan gen, dan dengan demikian pemikiran magis akan selalu menjadi bagian dari kondisi manusia.”
Mungkin hal ini yang dapat menyebabkan sebagian orang, cenderung untuk mudah mempercayai berbagai berita hoax atau konspirasi. Di sisi lain, justru itu yang pada awalnya membuat manusia purba bisa bertahan hidup dan meneruskan keturunan.
Takut hewan berbisa
Nenek moyang kita mendapatkan manfaat dari kemampuannya dalam mendeteksi pemangsa yang senyap dan tersembunyi dari pandangan sekilas. Sistem khusus untuk membedakan pola-pola tertentu – teselasi – yang dapat membantu berkamuflase, seperti garis-garis, bintik-bintik, dan pola kompleks yang biasa dimiliki oleh reptil.
Penelitian menunjukkan bahwa kita memiliki sistem khusus untuk mendeteksinya. Pola teselasi jarang terjadi di alam tetapi umum di antara ular. Namun, sel-sel sistem visual mamalia sangat terstimulasi oleh pola-pola seperti itu.
Dalam sebuah percobaan, 48 bayi berusia enam bulan dianalisis ketika mereka bereaksi terhadap gambar-gambar yang menakutkan. Sambil duduk di pangkuan orang tuanya, bayi diperlihatkan gambar laba-laba dan ular. Untuk mencegah orang tua secara tidak sengaja mempengaruhi reaksi bayi mereka, mereka menggunakan kacamata hitam selama percobaan sehingga tidak dapat melihat gambar yang ditampilkan.
Ketika bayi melihat gambar ular dan laba-laba, mereka secara konsisten bereaksi dengan pupil yang membesar daripada ketika mereka diperlihatkan gambar bunga dan ikan. Temuan ini, yang diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Psychology, menunjukkan bahwa ketakutan terhadap makhluk ini bisa jadi bawaan. Atau, diwariskan secara genetis dari nenek moyang manusia.
“Ada respons stres yang pasti di otak,” kata pemimpin peneliti Stefanie Hoehl.
“Bayi memiliki mekanisme ketakutan khusus yang berarti bahwa mereka ‘siap’ untuk belajar dengan cepat bahwa ular dan laba-laba dikaitkan dengan respons emosional atau perilaku tertentu,” katanya.
“Ini adalah periode koevolusi yang sangat lama — hampir 40 hingga 60 juta tahun, nenek moyang manusia purba, laba-laba, dan ular telah berinteraksi,” jelas Hoehl. Gigitan berbisa dari salah satu makhluk yang bersembunyi di rerumputan ini bisa membuat nenek moyang manusia tidak berdaya atau mati. Oleh karena itu, studi Hoehl mengklaim, ketakutan bawaan manusia terhadap hewan ini dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan.